Mohon tunggu...
Hasrul Hadi
Hasrul Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Geographical Education, Hamzanwadi University

Tak perlu menjadi ahli untuk memulai, tapi memulailah agar menjadi ahli.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Petaka Pohon Pepaya

27 Agustus 2015   11:42 Diperbarui: 27 Agustus 2015   11:54 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah sebuah kisah saya saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Banyak hal-hal menarik pada waktu itu. Seingat saya, pada waktu itu saya dan teman-teman biasanya menghabiskan waktu dengan bermain. Berbagai macam permainan sering kami mainkan. Terutama permainan tradisional seperti bermain kelereng, karet gelang, layangan, gangsingan sampai kejar-kejaran. Beda dengan anak sekarang yang kebanyakan bermain game online. Selain bermain, saya juga sering terlibat perkelahian dengan teman. Biasanya dipicu oleh hal-hal sepele, seperti diadu dan diprovokasi oleh kakak kelas untuk duel. Juga terkadang disebabkan oleh gengsi, tak ingin dianggap lemah ketika ditantang berkelahi.

Suatu ketika, saya dan dua orang teman yaitu Surya dan Anto (masih ada hubungan keluarga) pulang sekolah bersama. Cuaca pada waktu itu tak bersahabat, panas matahari seolah menusuk kulit kami. Sekitar seratus meter dari sekolah, kami sampai di sebuah gang kecil yang kadang kami lewati sebagai jalur alternatif untuk pulang maupun pergi ke sekolah. Kami sempat berunding untuk memilih jalan pulang. Sebelum kami putuskan, sempat pula terjadi perbedaan pendapat. Saya dan Surya sependapat untuk melewati gang kecil itu. Sementara Anto ingin melanjutkan perjalanan melalui jalan utama. Namun pada akhirnya Anto legowo juga ikut dengan kami melalui gang kecil itu.

Perjalanan melewati gang kecil itu kami isi dengan obrolan dan canda tawa. Di tengah keasyikan bercanda, kami sampai pada salah satu rumah warga yang terletak dipinggir jalan gang itu. Rumah itu terlihat bersih, tertata rapi, banyak pohon rindang dengan halaman cukup luas untuk ukuran rumah pedesaan. Namun uniknya, rumah itu tidak memiliki pagar depan. Di pojok depan halaman rumah itu terdapat sebatang pohon pepaya yang buahnya berwarna kuning (biasa disebut gedang emas atau pepaya emas). Ketinggian pohon pepaya itu kira-kira dua kali lipat tinggi badan kami. Daunnya terlihat hijau dan menjuntai.

Melihat pohon pepaya unik itu, tiba-tiba ide iseng kami muncul. Kami berlomba saling mengadu tinggi tendangan dengan daun pepaya sebagai sasarannya. Surya mengawali menendang daun pepaya yang paling bawah, Saya mengikuti dan dilanjutkan oleh Anto. Selanjutnya tendangan kami lebih meninggi dengan sasaran daun ke dua, tentunya dengan menunjukkan kehebatan tendangan masing-masing. Serta mengolok-olok teman yang tendangannya tidak setinggi tendangan teman yang lain.

Tendangan demi tendangan terus kami lancarkan, sampai sesuatu tak terduga terjadi. Anto ternyata gelap mata dan melancarkan serangan kaki dan tangannya ke arah pohon pepaya itu. Dan tentu saja daun dan dahan pohon pepaya itu jatuh berguguran dan berserakan di atas tanah. Dengan bangga dan tanpa rasa berdosa, Anto mengakui kehebatannya. Dalam hati saya membatin, ini alamat akan muncul masalah dan semua kami akan menanggung akibatnya.

Mendengar gaduh yang kami perbuat, pemilik rumah keluar dengan wajah penasaran. Seorang ibu berumur sekitar 40 - an, dengan badan lumayan kekar --untuk ukuran seorang ibu-- melihat hasil perbuatan kami, ibu itu geram dan marah. Kejengkelannya memuncak, dan sebilah kayu secara refleks diambil sebagai reaksi dari perbuatan kami yang dilihatnya. Dengan teriakan yang keras serta rasa amarahnya yang membuncah kami dikejarnya.

Hanya satu kata yang serempak kami ucapkan tanpa ada kesepakatan. kabuuuurrrr...!!! kami berusaha berlari sekencang-kencangnya. Perasaan di hati kami bergejolak, bercampur aduk menjadi satu. Entah takut, cemas, bingung dan apapun itu bercampur aduk menjadi satu. Dalam pelarian kami, beberapa kali sempat terjatuh dan saling menindih. Sedikit goresan luka akibat kerikil tajam menambah seru suasana buron. Kami terus saja berlari, karena hanya itu yang bisa kami lakukan.

Sementara itu, ibu tua itu dengan wajah garangnya terus mengejar kami. Tak lama kemudian kami sampai pada persimpangan jalan. Kami terpaksa harus berpisah dengan Surya, karena rumahnya berseberangan arah dengan kami. Saya dan Anto bersama melanjutkan perjalanan pulang, mengingat kami tinggal dalam satu rumah.

Sesampainya di rumah, kami pun langsung menyalami bunda dengan sedikit memaksa wajah menunjukkan ekspresi tanpa masalah. Sebentuk senyuman pun terukir diwajahnya, tanpa curiga sedikit pun dengan apa yang sedang kami alami. Seperti kebanyakan ibu yang perhatian dengan anaknya perintah bersuara lembutpun keluar dari mulutnya, “seragamnya di lepas dulu trus langsung makan”. Tanpa menghiraukan perintah itu kami berdua langsung masuk ke dalam kamar dan segera menguncinya rapat-rapat. Sudah kami pastikan bahwa pintu kamar dalam keadaan benar-benar tertutup rapat. Dengan rasa cemas dan takut sambil terlihat di tubuh kami yang bergetar karena perasaan takut yang berkecamuk. Pikiran saya semakin berkecamuk dan membuat saya menjadi tambah khawatir.

Ternyata apa yang menjadi kekhawatiran kami terjadi juga. Pemilik pepaya yang telah kami rusak itu muncul dan tanpa salam masuk kedalam rumah dengan beberapa kata sumpah serapah. Dengan tenaga yang cukup kuat, pintu kamar kami digedor. Introgasi tidak bisa dielakkan, dengan garang dia menanyai kami sambil marah-marah dari luar, dia menanyakan siapa nama salah seorang teman kami yang ikut terlibat itu. Dengan perasaan takut, seluruh badan gemetar, bermandikan keringat kami berdua menjawab dengan suara agak berat “Surya” jawab kami serempak. Setelah bebearapa waktu lamanya berbicara panjang lebar di luar dengan kemarahannya, orang itu akhirnya berlalu. Terdengar beberapa kalimat dialog dengan bunda, mungkin sebuah anjuran atau kalimat penekanan agar kami betul-betul diajari tentang kebaikan.

Kami berdua merasa sedikit lega setelah kepergian orang itu dari rumah. Namun tidak hanya final sampai di situ, karena masih harus menerima keputusan dari persidangan yang dipimpin oleh bunda terhadap ulah kami berdua. Setelah cukup lama memberikan pandangan dan nasehatnya oleh bunda, akhirnya semua itu berakhir damai. Kami berdua akhirnya taubat (kata orang sih taubat sambel, karena beberapa waktu berikutnya terjadi kasus lagi meskipun berbeda, hehe tidak disarankan untuk ditiru).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun