Saat muda, cinta di timor bisa berarti langkah 2-1 dalam ayunan pinggul dan langkah-langkah kecil mengikuti irama lagu country dengan tangan saling tergenggam erat dalam dansa malam menuju pagi. Timor, diawal tahun 90an adalah kota yang romantis.Untuk mereka yang belum kehilangan kepolosannnya. Ada banyak hujan. Dan kadang ada pelangi yang menghias di ujung langit. Seindah itu senja disana.
Kampung yang dinaungi pohon-pohon besar. Yang basah pada dingin malam. Tak mudah untuk tak terhanyut dalam cinta. Pada ujung sekolah, ada sekumpulan pohon randu dan beringin yang besar. Ada masa dimana angin menerbangkan kapasnya. Lalu terlihat bagai salju.
 Dan mungkin karena saya datang dari generasi yang berbeda. Kami tidak bergumul di kamar-kamar kos yang pengap untuk cinta.
Kami datang membawa surat cinta berisi puisi dan kata-kata berbalut mutiara. Untuk beroleh sedikit kecup dibibir. Lalu merasa sangat bahagia. Dari titik itu, cerita cinta memang jadi berbeda. Lebih sering berakhir pada kamar-kamar asing ditengah kota. Pada malam-malam telanjang yang dihangatkan oleh desahan napas tak berkesudahan. Kemana kepolosan itu pergi? Mengapa sentuhan tak lagi mengalirkan getar ke jantung hati? Pelukan bukan lagi tentang keindahan atau kerinduan.
Waktu berjalan. Perempuan demi perempuan singgah. Membuat hidup terasa berharga. Lalu meninggalkan luka dan luka. Saya telah lewati semua. Terpaan badai dan jebakan batu karang kehidupan. Yang saya tahu, saya masih hidup. Romansa? Saya tak ingat lagi kapan terakhir bersua.
Pada getirnya hari tua, saya pesankan ini buat kamu, wahai anak muda. Bentangkanlah masa polosmu sejauh kamu bisa. Hargai saat-saat dimana kamu masih bisa bahagia hanya karena pesona suatu senyuman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H