Actus reus dan mens rea merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Edward Coke, seorang ahli hukum Inggris pada abad ke-17. Kedua konsep ini menjadi pilar utama dalam memahami unsur-unsur tindak pidana. Actus reus mengacu pada perbuatan fisik atau tindakan yang melanggar hukum, sementara mens rea mencerminkan niat atau sikap mental pelaku ketika melakukan perbuatan tersebut. Kombinasi dari kedua unsur ini digunakan untuk menentukan tanggung jawab pidana seseorang.
Dalam konteks korupsi di Indonesia, konsep actus reus dan mens rea tetap relevan. Kasus korupsi, yang sering kali melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, mengharuskan pembuktian bahwa pelaku melakukan tindakan melawan hukum (actus reus) dengan niat atau kesadaran yang melanggar hukum (mens rea). Misalnya, dalam kasus penyuapan atau penggelapan dana publik, pengadilan harus menunjukkan bahwa tindakan pelaku memiliki unsur fisik dan niat jahat yang melanggar undang-undang.
Pendekatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana tidak hanya menjerat pelaku atas dasar perbuatan mereka, tetapi juga memperhitungkan niat di balik tindakan tersebut. Dalam kasus korupsi di Indonesia, analisis terhadap actus reus dan mens rea membantu memahami sejauh mana tanggung jawab hukum dapat dibebankan kepada pelaku, serta memberikan landasan untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai.
Apa Hubungan antara actus reus dan mens rea dalam Menentukan Kesalahan Seseorang Pidana?
Actus reus dan mens rea adalah dua unsur utama yang harus dipenuhi untuk menetapkan seseorang bersalah atas tindak pidana, termasuk korupsi. Dalam konteks hukum pidana, hubungan antara keduanya bersifat saling melengkapi. Adapun hubungan keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Kesatuan Perbuatan dan Niat
- Actus reus mengacu pada tindakan nyata atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Dalam kasus korupsi, misalnya, menerima suap, memalsukan dokumen anggaran, atau menyalahgunakan dana publik adalah bentuk konkret dari actus reus.
- Mens rea mencerminkan kondisi mental atau niat pelaku saat melakukan tindakan tersebut. Dalam korupsi, hal ini meliputi kesengajaan atau pengetahuan bahwa tindakan tersebut melanggar hukum dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok.
Keduanya harus bersatu untuk membentuk tindak pidana korupsi. Misalnya, jika seseorang menerima uang tanpa mengetahui bahwa itu adalah suap, maka mens rea tidak terpenuhi, meskipun actus reus-nya ada. Sebaliknya, jika seseorang memiliki niat untuk korupsi tetapi belum melakukan tindakan nyata, tindak pidana belum lengkap.
2. Memastikan Keadilan
Kombinasi actus reus dan mens rea bertujuan memastikan keadilan dalam proses hukum. Tanpa bukti mens rea, seseorang tidak dapat dianggap sepenuhnya bertanggung jawab, terutama jika perbuatan dilakukan karena tekanan, ketidaktahuan, atau kelalaian tanpa niat jahat. Sebaliknya, tanpa actus reus, niat saja tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman karena belum ada dampak nyata dari niat tersebut.
3. Efek pada Penentuan Sanksi
Dalam beberapa kasus korupsi, tingkat kesengajaan atau niat (mens rea) dapat memengaruhi beratnya hukuman. Pelaku yang bertindak dengan kesadaran penuh dan motif jahat dapat dijatuhi hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan pelaku yang bertindak karena kelalaian.
Dengan demikian, hubungan antara actus reus dan mens rea adalah sinergis dan saling melengkapi. Kedua unsur ini menjadi dasar untuk memastikan bahwa seorang pelaku korupsi tidak hanya dihukum atas tindakan yang dilakukan, tetapi juga atas niat atau kesadaran yang melatarbelakanginya.
Mengapa Pengadilan harus Mengkaji actus reus dan mens rea secara Bersamaan dalam Memutus Kasus Korupsi?
Dalam sistem hukum pidana, termasuk yang berlaku di Indonesia, pengadilan harus mengkaji actus reus (perbuatan melawan hukum) dan mens rea (niat atau kesengajaan) secara bersamaan untuk memastikan keadilan dan akurasi dalam menentukan kesalahan pelaku tindak pidana. Dalam kasus korupsi, hal ini menjadi sangat penting karena sifat kompleks tindak pidana ini yang sering kali melibatkan perencanaan, kolaborasi, dan penyamaran niat jahat. Berikut adalah alasan mengapa kedua unsur ini harus dikaji secara bersamaan:
1. Memastikan Tindak Pidana Terbukti Secara Utuh
Actus reus dan mens rea adalah dua elemen yang membentuk tindak pidana. Dalam kasus korupsi, actus reus mencakup perbuatan fisik seperti menerima suap, memalsukan dokumen, atau menyalahgunakan anggaran negara. Namun, tanpa mens rea (niat atau kesadaran bahwa tindakan tersebut melanggar hukum) tindak pidana dianggap belum lengkap. Kajian terhadap keduanya memastikan bahwa pengadilan memiliki dasar hukum yang kuat untuk memutus perkara.
2. Mengidentifikasi Tingkat Kesalahan Pelaku
Analisis terhadap actus reus dan mens rea memungkinkan pengadilan menilai tingkat kesalahan pelaku. Seseorang yang melakukan tindakan korupsi dengan niat jahat yang jelas, seperti menerima suap secara sadar untuk memenangkan kontrak proyek, menunjukkan tingkat kesalahan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku yang bertindak karena kelalaian. Kajian ini juga membantu menentukan berat ringannya hukuman.
3. Menjamin Akuntabilitas yang Tepat
Korupsi sering melibatkan beberapa pihak dengan peran yang berbeda, seperti pemberi suap, penerima suap, dan perantara. Pengadilan harus mengkaji peran masing-masing pihak untuk menentukan sejauh mana mereka terlibat secara fisik (actus reus) dan apakah mereka memiliki niat yang sama (mens rea). Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap pihak bertanggung jawab sesuai dengan tingkat keterlibatannya.
4. Mencegah Penyalahgunaan Hukum
Tanpa pengkajian yang menyeluruh terhadap actus reus dan mens rea, ada potensi penyalahgunaan hukum. Misalnya, seseorang dapat dituduh melakukan korupsi hanya karena keterlibatan administratif tanpa adanya niat untuk melakukan pelanggaran. Kajian bersama ini memberikan perlindungan hukum bagi individu yang tidak bersalah.
5. Memenuhi Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan pidana mengharuskan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika tindakan mereka memenuhi kedua elemen tersebut. Mengabaikan salah satu elemen dapat mengakibatkan keputusan yang tidak adil, baik itu menghukum orang yang tidak bersalah atau membebaskan pelaku yang sebenarnya bersalah.
Dalam kasus korupsi di Indonesia, pengkajian actus reus dan mens rea secara bersamaan adalah kunci untuk memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar bersalah dihukum, dengan mempertimbangkan tindakan mereka dan niat di baliknya. Pendekatan ini juga membantu menjaga integritas sistem peradilan dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Contoh Kasus Korupsi di Indonesia
Pada tulisan ini penulis mengambil contoh kasus korupsi yang terjadi pada PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE). Kasus kali ini menandai tonggak sejarah dalam penegakan hukum di Indonesia karena menjadi korporasi pertama yang divonis bersalah dalam kasus korupsi.
Pada 24 Juli 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) PT Duta Graha Indah (DGI) yang telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE). Kasus ini bermula dari Dudung Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI meminta kesepakatan dengan Nazaruddin selaku mantan anggota DPR periode 2009-2014, untuk mendapat proyek pembangunan tahun anggaran 2009 sebagai gantinya PT DGI akan memberikan sejumlah imbalan. Nazaruddin pun mengabulkan permintaan tersebut dan PT DGI memenangkan lelang proyek RS Khusus Infeksi dan Parawisata Universitas Udayana.
Kemudian PT DGI membagikan commitment fee kepada Nazaruddin dan perusahaan lain. PT DGI memberikan fee kepada Nazaruddin melalui PT Anak Negeri sejumlah Rp 1,1 miliar, PT Anugerah Nusantara sejumlah Rp 2,6 miliar dan Grup Permai sejumlah Rp 5,4 miliar, dengan cara seolah-olah perusahaan-perusahaan itu merupakan subkon terdakwa ataupun menerima pembayaran atas material yang dibeli terdakwa. Atas perbuatannya, jaksa menuntut hak PT NKE mengikuti lelang proyek pemerintah dicabut selama dua tahun. Jaksa KPK menuntut PT NKE membayar pidana denda sebesar Rp 1 miliar dan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 85 miliar.Â
Bagaimana Penerapan Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE)?
Actus reus sebagaimana telah dijelaskan, merujuk kepada tindakan fisik atau perbuatan melawan hukum yang dalam pada kasus ini di lakukan oleh PT NKE dan pelaku terkait. Adapun bentuk-bentuk actus Reus yang ditemukan dalam kasus ini adalah:
1. Manipulasi Tender: PT NKE terlibat dalam pengaturan tender proyek pemerintah sehingga perusahaan tersebut dapat memenangkan kontrak secara tidak sah.
2. Pemberian Suap: Ada bukti bahwa pihak-pihak tertentu memberikan suap kepada pejabat negara untuk mendapatkan proyek pembangunan.
3. Pemalsuan Dokumen: Dokumen proyek dimanipulasi untuk menyamarkan perbuatan melawan hukum, seperti menaikkan nilai proyek atau melaporkan hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Mens rea sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merujuk pada kondisi mental atau niat pelaku saat melakukan tindakan tersebut. Dalam kasus ini, mens rea dapat dilihat dari niat atau kesengajaan pihak PT NKE untuk melakukan tindakan korupsi. Adapun beberapa indikator mens rea yang ditemukan meliputi.
1. Kesengajaan untuk Mendapatkan Keuntungan: Pihak PT NKE secara sadar merancang strategi untuk memenangkan proyek melalui cara-cara melawan hukum, menunjukkan adanya niat jahat.
2. Pengetahuan tentang Pelanggaran Hukum: Pimpinan PT NKE dan pejabat yang terlibat memiliki kesadaran penuh bahwa tindakan mereka melanggar aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
3. Motif untuk Meningkatkan Keuntungan Perusahaan: Niat ini terbukti dari adanya kesepakatan rahasia dengan pejabat pemerintah, termasuk pemberian suap sebagai imbalan atas proyek-proyek yang diberikan.
Unsur mens rea ini menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi juga memiliki niat atau kesadaran bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk keuntungan pribadi atau perusahaan.
Dalam proses hukum, pengadilan memeriksa keterpaduan antara actus reus dan mens rea. Pada kasus PT NKE, tindakan manipulasi tender dan pemberian suap (actus reus) diiringi dengan niat untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum (mens rea). Kombinasi ini menjadi dasar untuk menetapkan kesalahan perusahaan dan pihak-pihak yang terlibat.
Kombinasi ini juga memungkinkan pengadilan untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan pelaku. Dalam kasus PT NKE, pengadilan memutuskan bahwa tindakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu tertentu tetapi juga melibatkan korporasi sebagai entitas yang diuntungkan. Dapat dilihat dalam putusannya yang menenai PT NKE sebagai korporasi, pidana denda sebesar Rp 700 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 85 miliar, serta dicabutnya hak PT NKE untuk mengikuti lelang proyek pemerintahan selama dua tahun.
Kesimpulan
Penerapan konsep actus reus dan mens rea dalam sistem hukum Indonesia memberikan dasar yang kuat untuk memastikan bahwa penegakan hukum terhadap kasus korupsi dilakukan secara adil dan proporsional. Pembuktian actus reus memastikan bahwa pelaku benar-benar melakukan tindakan yang dilarang oleh hukum, sementara pembuktian mens rea mengungkapkan motivasi, kesengajaan, atau kesadaran pelaku dalam melanggar aturan. Kombinasi keduanya membantu memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan mencerminkan tingkat kesalahan pelaku secara menyeluruh. Penerapan yang konsisten terhadap prinsip ini juga berkontribusi pada upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh, mendorong akuntabilitas, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Daftar Pustaka
Alhakim, A., & Soponyono, E. (2019). KEBIJAKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(3), 322-336
Prasetyo, Aji. (11 Oktober 2018). PT NKE sebagai Korporasi DIdakwa Korupsi Puluhan Miliar Rupiah. Hukumonline.com
Rachman, Dylan Aprialdo. (4 Januari 2019). Perjalanan Kasus PT NKE, Korporasi Pertama yang Divonis Korupsi. Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H