Mohon tunggu...
Gysella Ayu Wanditha
Gysella Ayu Wanditha Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010162

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Gaya Kepemimpinan Aristoteles

25 Oktober 2024   01:35 Diperbarui: 25 Oktober 2024   04:37 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi dan berkumpul. Hal ini berarti, manusia sebagai individu tidak dapat hidup secara terpisah dari interaksi dengan orang lain. Dalam masyarakat, manusia membangun hubungan, saling bergantung, dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga, kebutuhan akan pemimpin muncul karena masyarakat memerlukan seseorang yang dapat mengarahkan, memotivasi, dan mengorganisasi individu-individu untuk mencapai visi kolektif.

Adapun dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar. Seringkali dihadapkan terhadap masalah mengenai perbedaan pandangan maupun kepentingan. Hal ini dapat menimbulkan perpecahan dan pertengkaran yang berkelanjutan antar individu maupun kelompok, apabila tidak kunjung ditemukannya titik temu atau mufakat. Hal ini menunjukan pentingnya peran pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat. Pemimpin inilah yang akan menyatukan beragam perspektif dan memfasilitasi dialog untuk mencapai mufakat, serta berperan sebagai penghubung antara aspirasi individu dengan tujuan bersama, serta menciptakan iklim sosial yang harmonis. Selain itu, pemimpin juga berperan dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Mereka tidak hanya memberikan arahan, tetapi juga menjadi contoh bagi anggotanya dalam menegakkan nilai-nilai sosial dan etika.

Sehingga kepemimpinan yang baik dan efektif sangat dibutuhkan untuk menciptakan komunitas, kelompok, maupun organisasi yang baik dan stabil. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan memiliki arti terkait cara memimpin. Secara harfiah, kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang memiliki arti mengarahkan, membina, mengatur, menuntun, menunjukkan, atau memengaruhi.  Secara umum, kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan, dan bila perlu memaksa orang lain atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya tujuan tertentu yang telah ditetapkan. berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan, dan bila perlu memaksa orang lain atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya tujuan tertentu yang telah ditetapkan.  

Hoyt (dalam Kartono, 1998) memaparkan kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang lain dalam mencapai tujuan--tujuan yang di inginkan kelompok. Selanjutnya lebih mendalam kepemimpinan menurut Young (dalam Kartono, 1998) yang berpendapat bahwa kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.

Moejiono (2002) menganggap bahwa kepemimpinan tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (dalam Moejiono 2002) menganggap bahwa kepemimpinan sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.

Sehingga berdasarkan definisi-definisi yang telah disampaikan, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin (leader) sehingga dapat menggerakan bawahan, pengikut, maupun orang-orang lainnya sesuai dengan jalur maupun jalan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pandangan Aristoteles

Aristoteles merupakan seorang filsuf dan ilmuan Yunani kuno, salah satu tokoh intelektual terbesar pada zaman klasik dan sejarah barat. Lahir pada tahun 384/3 SM di Stageria, Trakia. Ia merupakan putra seorang tabib raja Makedonia, Amyntas II. Pada usia 17, Aristoteles pergi ke Akademi Plato di Athena, kemudian menjadi murid Plato selama 20 tahun hingga Plato meninggal pada 347 SM. Lalu pada 342 SM, Aristoteles dipanggil ke Makedonia dan menjadi guru bagi Alexander The Great atau Alexander Agung.

Kemudian pada 335 SM, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolahnya sendiri yang bernama Lyceum, di mana ia mengembangkan dan menyusun sebagian besar dari karyanya mengenai berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu fisika, anatomi, geologi, meteorologi, biologi, zoologi, filsafat, ilmu pemerintahan, metafisika, ilmu politik, retorika, teologi, dan psikologi. Aristoteles merupakan penemu teori logika atau logika formal, yang berbicara tentang peran fisik manusia dengan etika. Ia menekankan bahwa berpikir secara rasional adalah peran utama manusia dan pemikiran yang bijaksana untuk tujuan kebajikan adalah pemikiran rasional yang paling baik.

Apa itu gaya kepemimpinan menurut Aristoteles?

Gaya kepemimpinan menurut Aristoteles merujuk pada pandangannya dalam prinsip etika dan politik yang ia kembangkan. Dalam pandangannya, kepemimpinan tidak hanya mengenai kekuasaan, tetapi juga mengenai tanggung jawab moral dan kemampuan untuk memandu orang lain menuju tujuan bersama yang baik. Menurutnya kepemimpinan yang baik harus berlandaskan pada kebajikan (virtue) dan kebijaksanaan praktis (phronesis). Aristoteles berpendapat bahwa pemimpin yang baik harus memiliki arete (kebajikan atau keunggulan moral) dan memandang kebajikan sebagai kualitas moral yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Sehingga mereka (pemimpin) dapat mengambil keputusan berdasarkan apa yang benar dan baik untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi. Mereka mampu menghindari tindakan yang melanggar etika atau prinsip moral karena kebajikan menjadi pedoman dalam setiap tindakan mereka.

Adapun pemimpin yang baik juga harus mampu menjalankan phronesis (kebijaksanaan praktis), yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dalam situasi tertentu. Dalam kepemimpinan, phronesis melibatkan penilaian yang cermat tentang situasi yang dihadapi, mengutamakan tindakan yang terbaik dalam jangka panjang, serta menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan prinsip moral dengan pragmatisme. Phronesis juga merujuk pada pengambilan keputusan yang tidak hanya didasarkan pada prinsip moral atau teori, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang situasi yang dihadapi, dan solusi yang realistis serta efektif.

Contoh kasusnya dapat kita lihat dalam tokoh Lee Kuan Yew, pendiri Singapura modern yang memimpin negaranya dari keterbelakangan menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Ia terkenal sebagai individu dengan integritasnya yang tinggi, serta tidak mentolerir korupsi di bawah kepemimpinannya. Ia juga sangat memperhatikan pembangunan sosial dan ekonomi yang adil, memprioritaskan pendidikan dan perumahan yang layak bagi rakyat (virtue/arete). Lee Kuan Yew juga sering mengambil keputusan yang pragmatis, termasuk menarik investasi asing, membangun pendidikan berkualitas tinggi, dan memperketat aturan hukum. Lee memahami bahwa pembangunan ekonomi dan stabilitas politik tidak bisa dicapai dengan ideologi yang kaku. Dia juga menegakkan kebijakan multi-rasial yang ketat untuk memastikan harmoni sosial. Keputusan-keputusannya sering kali sulit, tetapi ia mampu menimbang jangka pendek dan jangka panjang dengan sangat bijaksana (Phronesis).

Sehingga dalam pandangannya, seorang pemimpin yang ideal adalah individu yang memiliki kebajikan moral (arete) yang tinggi dan mampu menggunakan kebijaksanaannya untuk mencapai kebaikan bersama atau kepentingan umum (common good).

Dalam karyanya berjudul politics, Aristoteles membedakan tiga bentuk kepemimpinan atau pemerintahan yang baik dan yang menyimpang, yaitu.

1. Monarki (Kepemimpinan oleh satu orang) dengan bentuk idealnya adalah pemerintahan oleh satu orang yang bijaksana dan adil. Bentuk buruknya adalah terjadinya tirani dengan pemimpin yang memerintah untuk kepentingan pribadi.

2. Aristokrasi (Kepemimpinan sekelompok orang terbaik) dengan bentuk idealnya adalah pemerintahan dipimpin oleh segelintir individu yang bijaksana dan memilki kebajikan. bentuk buruknya adalah terjadinya oligarki, dimana kekuasaan berada di tangan orang-orang yang memerintah untuk keuntungan pribadi.

3. Politeia (Pemerintahan konstitusional atau demokrasi moderat) dengan bentuk idealnya adalah pemerintahan melibatkan banyak orang dengan fokus kepentingan umum. bentuk buruknya adalah terjadinya demokrasi radikal atau mobokrasi, dimana keputusan didasarkan pada hasrat dan emosi massa, tanpa pertimbangan rasional.

Menurutnya kepemimpinan atau pemerintahan yang paling ideal merupakan dalam bentuk aristokrasi, hal ini dikarenakan pemerintahan tersebut dipimpin oleh pemimpin atau orang-orang yang telah diketahui kemampuannya. Sedangkan pemerintahan yang paling tidak ideal menurutnya adalah politeia atau demokrasi, ia berpendapat bahwa demokrasi memberikan kesempatan pada orang yang kurang berpengalaman dan memumpuni untuk memimpin.

Sehingga dapat diketahui bahwa selain kebajikan (virtue) dan kebijaksanaan praktis (phronesis), Aristoteles juga menekankan bahwa seorang pemimpin yang baik juga harus memiliki pengetahuan, pengalaman, serta keterampilan yang mendukung segala aspek yang dibutuhkan dalam menjalankan kepemimpinan yang baik.

Aristoteles dalam konsepnya mengenai Zoon Politikon yang berarti "makhluk sosial" atau "makhluk politik," berpendapat bahwa manusia secara alami adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dalam komunitas dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Hal ini dapat diartikan juga bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan hidup dalam komunitas yang diatur oleh prinsip-prinsip politik. Sehingga kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan yang baik dan efektif diperlukan dalam mengarahkan organisasi, komunitas, maupun masyarakat untuk mengembangkan kebajikan demi mencapai eudaimonia (kebahagiaan atau kehidupan yang baik) dan potensi penuh mereka sebagai makhluk rasional yang berbudi luhur, melalui keterlibatan dalam polis (negara, kota, bermasyarakat) dan partisipasi dalam kehidupan politik. Selain itu, pemimpin yang baik harus memahami dan menghargai sifat sosial manusia, mendorong partisipasi aktif, dan menegakkan kebajikan serta keadilan untuk mencapai kebaikan bersama.

Contoh kasus ini adalah ketika suatu organisasi sedang merencakan suatu acara maupun event, maka ketua organisasi tersebut akan mengadakan rapat dimana semua anggota dapat hadir dan memberikan pendapat maupun pertanyaan terkait acara tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendorong partisipasi anggotanya dalam diskusi dan keterlibatan dalam rencana maupun acara yang akan dibuat.

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

Gaya kepemimpianan dalam pandangan Aristoteles menekankan pada karakter, keseimbangan antara kebajikan moral dengan kebajikan praktis serta bagaimana pemimpin tersebut dapat memandu masyarakat menuju kehidupan yang baik dan adil. Berikut beberapa ciri-ciri gaya kepemimpinan yang baik menurut Aristoteles.

1. Kepemimpinan Berdasarkan Kebajikan (Virtue)

Kepemimpinan menurut Aristoteles harus didasarkan pada kebajikan (arete), yaitu sifat-sifat moral yang unggul yang mengarahkan pemimpin untuk selalu bertindak sesuai dengan prinsip moral yang tinggi. Aristoteles percaya bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki kebajikan utama seperti:

  • Kebijaksanaan (Prudance): Pemimpin harus bijaksana dalam membuat keputusan yang tidak hanya berdasarkan pengetahuan, tetapi juga pemahaman yang mendalam tentang situasi dan akibat dari tindakannya. 
  • Moderasi (Moderation): Pemimpin harus bertindak dengan keseimbangan, tidak bertindak ekstrem, tetapi mencari jalan tengah yang proporsional dan masuk akal.
  • Keberanian (Courage): Pemimpin harus memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan dan membuat keputusan yang sulit demi kebaikan bersama.
  • Keadilan: Pemimpin harus bertindak adil, memastikan bahwa setiap individu mendapatkan apa yang pantas dan berhak mereka terima, serta menghindari diskriminasi atau ketidakadilan.

Contohnya adalah ketika seorang pemimpin organisasi non-profit yang berkomitmen untuk memberdayakan komunitas lokal. Dia berupaya untuk selalu bertindak dengan integritas dan kejujuran, menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam semua interaksinya. Pemimpin ini mengedepankan transparansi dalam laporan keuangan organisasi dan melibatkan anggota komunitas dalam proses pengambilan keputusan. Dengan melakukan hal ini, dia menunjukkan kebajikan dalam kepemimpinan yang tidak hanya mengutamakan hasil, tetapi juga cara mencapai hasil tersebut.

2. Kebijaksanaan Praktis (Phronesis)

Selain kebajikan moral, Aristoteles menekankan pentingnya phronesis, yaitu kebijaksanaan praktis. Phronesis adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dalam situasi nyata, di mana pemimpin mempertimbangkan banyak faktor, termasuk moral, konteks, dan kesejahteraan jangka panjang. Dalam gaya kepemimpinan, phronesis berperan sebagai panduan bagi pemimpin untuk menavigasi tantangan kompleks, seperti konflik sosial, politik, atau krisis ekonomi, dengan sikap yang bijak dan penuh pertimbangan. Pemimpin tidak hanya berpegang pada teori atau prinsip yang umum, tetapi fleksibel dalam mencari solusi yang paling efektif, etis dan realistis untuk mencapai kebaikan yang lebih besar.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang kepala daerah yang menghadapi krisis kesehatan masyarakat, seperti pandemi. Dia harus membuat keputusan yang kompleks tentang penutupan sekolah, pembatasan sosial, dan alokasi sumber daya. Dengan mengumpulkan data dari para ahli kesehatan, mendengarkan masukan dari warga, dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang, kepala daerah tersebut mampu membuat keputusan yang seimbang dan berdasarkan pada kebijaksanaan praktis.

3. Orientasi pada Kepentingan Umum (Common Good)

Gaya kepemimpinan yang ideal menurut Aristoteles selalu berorientasi pada kepentingan umum atau kebaikan bersama (common good). Aristoteles percaya bahwa pemimpin yang baik harus menempatkan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan kecil. Setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin harus berfokus pada bagaimana meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk keuntungan pribadi, kelompok kecil, atau elite tertentu. Aristoteles juga mengkritik pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, yang menurutnya adalah tanda dari kepemimpinan tirani. Pemimpin yang baik harus menjadi pelayan masyarakat, bukan penguasa yang otoriter atau egois.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang wali kota yang merancang program pembangunan infrastruktur yang mencakup semua elemen masyarakat, termasuk mereka yang kurang mampu. Wali kota ini mengadakan forum komunitas untuk mendiskusikan kebutuhan infrastruktur, memastikan bahwa semua suara didengar, dan keputusan yang diambil mengedepankan kepentingan umum, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.

4. Kepemimpinan yang Memberi Teladan (Leading by Example)

Salah satu aspek penting dari gaya kepemimpinan menurut Aristoteles adalah bahwa pemimpin harus memberi teladan kepada pengikutnya. Pemimpin yang baik tidak hanya memerintahkan atau mengarahkan, tetapi juga menunjukkan kebajikan melalui tindakan nyata. Dengan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjungnya, pemimpin dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk mengikuti jejaknya dalam menjalani kehidupan yang berbudi luhur. Pemimpin yang memberi teladan juga membantu menciptakan budaya kebajikan dalam masyarakat, di mana setiap orang merasa terdorong untuk menjalani hidup yang etis dan bertanggung jawab. Kepemimpinan seperti ini membuat masyarakat lebih mudah diatur dan lebih kooperatif.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang CEO perusahaan yang secara aktif terlibat dalam kegiatan sukarela dan mengajak karyawan untuk berpartisipasi. Dengan menunjukkan komitmen pribadi terhadap tanggung jawab sosial perusahaan, CEO ini memberikan teladan yang kuat kepada karyawan tentang pentingnya keterlibatan dalam masyarakat dan menciptakan budaya perusahaan yang peduli terhadap isu sosial.

5. Kepemimpinan yang Mengutamakan Keadilan

Dalam filsafat Aristoteles, keadilan merupakan kebajikan yang paling utama dalam kepemimpinan. Pemimpin yang baik harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan atau diperlakukan secara tidak adil. Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, baik dalam hal kebijakan, distribusi sumber daya, maupun penegakan hukum. Seorang pemimpin harus peka terhadap ketidakadilan sosial dan bekerja keras untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kepemimpinan yang adil menciptakan stabilitas dan harmoni sosial.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang kepala sekolah yang berusaha menciptakan lingkungan belajar yang inklusif untuk semua siswa, terlepas dari latar belakang mereka. Dia mengimplementasikan kebijakan disiplin yang adil, menawarkan dukungan tambahan untuk siswa yang membutuhkan, dan mengupayakan representasi yang adil di dalam pengambilan keputusan di sekolah.

6. Kepemimpinan yang Menjaga Stabilitas dan Moderasi

Aristoteles menekankan pentingnya moderasi (golden mean) dalam kepemimpinan. Pemimpin yang baik harus mampu menjaga keseimbangan dalam pengambilan keputusan, menghindari tindakan yang berlebihan atau ekstrem, baik dalam kebijakan maupun dalam penggunaan kekuasaan. Moderasi juga penting dalam mengelola konflik, di mana pemimpin harus mencari solusi yang adil dan seimbang, bukan hanya menyenangkan satu pihak saja. Pemimpin yang terlalu otoriter atau terlalu pasif, misalnya, tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara efektif. Pemimpin yang baik harus berada di tengah, mampu menunjukkan ketegasan tetapi juga fleksibilitas yang diperlukan.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang pemimpin komunitas yang menghadapi konflik antara dua kelompok dengan kepentingan yang berbeda. Alih-alih memilih sisi, pemimpin ini memfasilitasi dialog antara kedua belah pihak untuk mencari solusi yang dapat diterima semua pihak, menjaga stabilitas komunitas dan menghindari polarisasi yang lebih besar.

7. Mengutamakan Kebahagiaan dan Kehidupan yang Baik (Eudaimonia)

Dalam ajaran Aristoteles, tujuan hidup manusia adalah mencapai eudaimonia, atau kebahagiaan yang didasarkan pada kehidupan yang berbudi luhur. Pemimpin yang baik harus berfokus pada bagaimana menciptakan kondisi di mana masyarakat bisa mencapai eudaimonia ini. Artinya, seorang pemimpin tidak hanya fokus pada hal-hal materi atau kemakmuran ekonomi, tetapi juga pada kualitas moral dan spiritual masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti pemimpin harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mendukung perkembangan moral dan etis individu, serta menciptakan lingkungan sosial di mana orang bisa hidup dengan baik.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang manajer di sebuah perusahaan yang memperhatikan kesejahteraan karyawan. Dia menerapkan program keseimbangan kerja-hidup, memberikan fleksibilitas jam kerja, dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan profesional, dengan tujuan meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan karyawan.

8. Kepemimpinan yang Fleksibel dan Adaptif

Aristoteles juga menekankan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki fleksibilitas dalam menghadapi situasi yang berbeda-beda. Setiap keadaan mungkin membutuhkan pendekatan yang berbeda, dan pemimpin harus mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan kebutuhan konteks. Misalnya, dalam situasi krisis, pemimpin mungkin perlu lebih tegas, sementara dalam situasi damai, kepemimpinan yang kolaboratif dan konsultatif lebih efektif. Pemimpin yang adaptif menunjukkan bahwa mereka memiliki phronesis, atau kebijaksanaan praktis, yang memungkinkan mereka menyesuaikan pendekatan mereka demi kebaikan bersama.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang pemimpin tim proyek yang harus menghadapi perubahan mendadak dalam persyaratan proyek. Pemimpin ini segera mengadakan pertemuan untuk mengevaluasi dampak perubahan tersebut, mendorong tim untuk memberikan masukan, dan merancang ulang rencana proyek dengan cepat agar sesuai dengan kebutuhan yang baru.

9. Kemampuan untuk Mendengarkan dan Bersikap Terbuka 

Aristoteles percaya bahwa kepemimpinan yang baik harus bersikap terbuka terhadap kritik dan masukan dari orang lain. Seorang pemimpin tidak boleh merasa bahwa dia selalu tahu yang terbaik. Sebaliknya, mereka harus siap belajar dari pengalaman dan pandangan orang lain, serta mau memperbaiki diri ketika diperlukan. Sikap rendah hati dan keterbukaan ini memungkinkan pemimpin untuk tumbuh dan membuat keputusan yang lebih baik.

Contoh kasus ini adalah ketika seorang pemimpin organisasi yang mengadakan sesi umpan balik rutin dengan karyawan. Dia tidak hanya mendengarkan keluhan dan saran, tetapi juga mengimplementasikan perubahan berdasarkan masukan tersebut, menunjukkan bahwa dia menghargai suara karyawan dan bersedia untuk memperbaiki kondisi kerja.

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

Adapun terdapat lima jalan untuk menjadi pemimpin dan melahirkan practical wisdom menurut Aristoteles, yaitu

1. Mengetahui tujuan dengan baik, memiliki visi dan misi yang jelas, dan implementasi yang efektif

2. Mengejar kebenaran yang sejati dan konsisten

3. Memahami situasi yang tengah, dan menerapkan kebenaran umum pada masyarakat (common sense), serta tetap melakukan kritisi untuk mencapai inovasi

4. Belajar dari berbagai macam pengalaman

5. Memiliki kemampuan Devil Advocate (memiliki banyak alternatif) dan dapat mengambil keputusan yang tepat

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

Selain itu, dalam pandangan Aristoteles. terdapat empat proses utama untuk menjadi manusia yang baik, yaitu.

1. Imitasi, Replikasi, Meniru

Menurut Aristoteles, imitasi (mimesis) adalah cara alami manusia untuk belajar, terutama pada masa kanak-kanak. Manusia cenderung belajar melalui peniruan tindakan atau perilaku orang lain. Dalam konteks pembentukan karakter dan kebajikan, imitasi adalah tahap awal di mana seseorang meniru tindakan orang-orang yang dianggap baik dan beretika, seperti role model atau mentor.

Contoh: Anak-anak yang meniru perilaku orang tua mereka dalam hal moralitas atau etika, seperti meniru kejujuran atau tanggung jawab, yang pada akhirnya menginternalisasi kebajikan tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Internalisasi

Dalam pandangan Aristoteles, internalisasi berkaitan dengan proses di mana kebajikan yang awalnya berasal dari tindakan eksternal atau pengaruh dari orang lain, secara bertahap diserap dan menjadi bagian dari karakter individu itu sendiri. Ini adalah proses mendalam di mana kebajikan yang dipraktikkan secara konsisten berubah menjadi bagian dari diri seseorang, bukan hanya tindakan yang dilakukan karena pengaruh eksternal. Dengan kata lain, internalisasi terjadi ketika seseorang benar-benar memahami dan merasakan pentingnya kebajikan tersebut, sehingga tindakan baik muncul secara alami dari dalam dirinya.

Contoh: Setelah berulang kali berlatih kejujuran, seseorang mulai menginternalisasi nilai tersebut sehingga kejujuran menjadi bagian dari karakter pribadinya. Orang tersebut tidak hanya jujur karena tekanan eksternal, tetapi karena dia percaya pada nilai kejujuran sebagai prinsip hidup.

3. Aksi

Dalam pandangannya, aksi (praxis) adalah pusat dari perkembangan kebajikan. Kebajikan tidak hanya diperoleh melalui pemikiran atau niat baik, tetapi melalui tindakan nyata. Untuk menjadi manusia yang baik, seseorang harus secara aktif bertindak sesuai dengan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga aksi merupakan realisasi dari kebajikan melalui perilaku dan keputusan yang diambil dalam kehidupan nyata.

Aristoteles menekankan bahwa tindakan baik harus dilakukan secara konsisten dan sesuai dengan prinsip jalan tengah (golden mean), yaitu tidak berlebihan atau kekurangan, tetapi dalam keseimbangan yang tepat.

Contoh: Jika seseorang ingin menjadi dermawan, dia harus mulai melakukan tindakan dermawan, seperti memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan, tetapi tanpa bersikap boros atau berlebihan.

4. Habit

Aristoteles menganggap habit (hexis), atau kebiasaan, sebagai komponen penting untuk menciptakan kebajikan. Dia berpendapat bahwa kebajikan tidak datang secara bawaan, tetapi berkembang melalui kebiasaan. Dengan melakukan hal-hal baik berulang kali, hal-hal baik akan menjadi kebiasaan, dan kebajikan akan menjadi sifat alami seseorang.

Aristoteles berpendapat bahwa kebiasaanlah yang membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu, untuk menjadi manusia yang baik, seseorang harus selalu melakukan tindakan baik hingga menjadi kebiasaan.

Contoh: Seseorang yang ingin menjadi sabar harus secara terus-menerus berlatih bersikap tenang dan tidak terburu-buru dalam berbagai situasi. Setelah dilakukan berulang kali, kesabaran ini akan menjadi kebiasaan dan menjadi bagian dari karakter individu tersebut.


Mengapa gaya kepemimpinan menurut Aristoteles masih relevan apabila diterapkan dalam konteks modern atau saat ini?

 PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
 PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si
PPT Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si

Gaya kepemimpinan menurut Aristoteles tetap relevan dalam konteks modern karena prinsip-prinsip yang diajukan sangat mendasar dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi serta konteks sosial yang berbeda.  Terlebih dalam konteks kepemimpinan masa kini atau modern, masalah mengenai kurangnya etika, moral dan integritas serta kebajikan dan kebijaksanaan pada para pemimpin tak lagi asing dan telah menjadi rahasia umum dalam kalangan masyarakat. Adapun masalah-masalah seperti ini dapat menyebabkan masalah internal dalam organisasi maupun komunitas, hingga berujung pada kehancuran organisasi maupun komunitas itu sendiri. Maka gaya kepemimpinan menurut pandangan Aristoteles, masih sangatlah relevan dalam memberikan panduan maupun sebagai acuan bagi para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya dengan baik. Meskipun terpaut jarak yang sangat jauh, pandangan Aristoteles mengenai gaya kepemimpinan dan dasar-dasar bagaimana seorang pemimpin harus bertindak, masih memiliki pengaruh besar dalam implementasi pada masyarakat, komunitas, maupun organisasi saat ini. Berikut ini beberapa alasan-alasan mengapa gaya kepemimpinan Aristoteles masih relevan untuk diterapkan pada zaman modern atau saat ini.

1. Fokus Kepada Kebajikan Moral

Aristoteles menekankan pentingnya kebajikan moral dalam kepemimpinan. Dalam pandangannya kebajikan (virtue) atau keunggulan moral (arete) seperti nilai keadilan, keberanian, kebijaksanaan dan moderasi adalah nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin. Pada dunia saat ini yang sering kali menghadapi dilema etika, dimana pelanggaran-pelanggaran etika seringkali dilakukan oleh para pemimpin. Dalam konteks modern, dimana kecurangan dan korupsi tidak asing lagi dan isu-isu seperti transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial semakin penting. Sehingga, pemimpin yang menempatkan nilai-nilai moral dan etika di depan akan lebih mampu membangun kepercayaan dan kredibilitas di antara pengikut mereka, serta pendekatan berbasis kebajikan menjadi sangat relevan dan pemimpin yang memiliki kebajikan moral dianggap dapat lebih dipercaya dalam sebuah organisasi maupun komunitas.

2. Kebijakan Praktis (Phronesis)

Dalam era yang kompleks dan penuh ketidakpastian ini, pemimpin perlu memiliki kebijaksanaan praktis untuk membuat keputusan yang tepat. Phronesis mencakup kemampuan untuk menilai situasi dengan baik dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan. Dalam dunia bisnis dan pemerintahan yang cepat berubah, sehingga seorang pemimpin harus mampu dalam membuat keputusan berdasarkan pengalaman dan analisis kritis terhadap situasi  dengan mempertimbangkan visi jangka panjang dan dampak yang ditimbulkan dari keputusan tersebut. Seorang pemimpin yang mampu menerapkan kebijakan praktis (phronesis) dalam kehidupan berorganiasinya cenderung akan lebih berhasil.

3. Orientasi pada Kebaikan Besama (Common Good)

Aristoteles beranggapan bahwa gaya kepemimpinan yang ideal selalu berorientasi pada kepentingan umum atau kebaikan bersama. Dalam dunia saat ini, dimana egoism dan keberpihakan sering terjadi dalam sebuah kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Prinsip ini dapat menjadi acuan bagi para pemimpin saat ini. Pemimpin modern diharapkan untuk mempertimbangkan kepentingan umum daripada hanya fokus pada keuntungan individu atau kelompok. Dalam konteks globalisasi dan tantangan sosial, seperti perubahan iklim dan ketidakadilan sosial, pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat luas akan lebih dihargai dan mendapatkan dukungan yang lebih besar.

4. Kepemimpinan yang Memberikan Teladan (Leading by Example)

Dalam dunia yang mengedepankan autentisitas, pemimpin yang menunjukkan komitmen nyata terhadap nilai-nilai yang mereka anjurkan akan lebih efektif dalam menginspirasi orang lain. Dengan adanya teladan maupun contoh tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjunganya dalam kehidupan sehari-hari, dapat memberikan dorongan yang kuat bagi para pengikutnya untuk mengikuti jejak kehidupan pemimpinnya dan menjalani kehidupan yang etis dan bertanggung jawab. Pemimpin yang memberi teladan akan menciptakan budaya yang lebih baik dalam organisasi atau komunitas mereka.

5. Kepemimpinan yang Mengutamakan Keadilan

Dalam masyarakat yang semakin beragam, keadilan dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Dalam berorganisasi maupun bermasyarakat, tak jarang masalah perbedaan pandangan dan pendapat maupun kepentingan seringkali terjadi. Maka, Pemimpin yang mampu mempertimbangkan semua sudut pandang dan bertindak adil akan membangun hubungan yang lebih baik dan mengurangi konflik. Terlebih dalam suatu organisasi, pemimpin yang bertindak adil sangat mempengaruhi dalam kondusivitas lingkungan organisasi tersebut.

6. Fleksibilitas dan Adaptilitas

Aristoteles menekankan pentingnya kemampuan seorang pemimpin dalam menyesuaikan diri dengan situasi. Dalam lingkungan kerja yang cepat berubah, pemimpin yang fleksibel dan dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan akan lebih mampu mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang baru. Kemampuan beradaptasi ini sangat penting untuk dimiliki seorang pemimpin. Pemimpin yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan situasi memiliki kecenderungan untuk terjebak tanpa jalan keluar atau buntu, ketika menghadapi masalah yang muncul secara tiba-tiba.

7. Kemampuan untuk Mendengarkan dan Bersikap Terbuka

Pendekatan Aristoteles terhadap kepemimpinan yang melibatkan mendengarkan dan bersikap terbuka terhadap umpan balik sangat penting di era komunikasi terbuka saat ini. Pemimpin yang bersedia mendengarkan pengikut mereka dan menerima kritik membangun akan lebih efektif dalam menciptakan suasana kerja yang positif dan inovatif. Terlebih sikap terbuka terhadap kritik dapat membuat hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya menjadi lebih erat. Pengikut akan merasa lebih dihargai dan merasa lebih terlibat dalam sebuah organisasi maupun komunitas.

8. Kesejahteraan dan Kebahagiaan (Eudaimonia)

Aristoteles mengaitkan kepemimpinan dengan pencapaian eudaimonia, atau kehidupan yang baik. Dalam konteks modern, pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan mental dan emosional karyawan atau pengikut mereka cenderung menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan harmonis. Seorang pemimpinn juga harus mampu dalam membantu pengikut mereka dalam mencapai potensi penuhnya sebagai manusia baik dalam kualitas maupun kuantitas sehingga mereka dapat mencapai pemenuhan eudaimonianya.

Berdasarkan penjelasan yang telah dijelaskan, nilai dan prinsip yang terkandung dalam gaya kepemimpinan menurut aristoteles masih sangatlah relevan bagi pemimpin saat ini dalam berorganisasi, bermasyarakat, dan berkomunitas. Seorang pemimpin harus memiliki keunggulan moral yang mmebuatnya dapat berintegritas dalam kegiatan sehari-harinya, penerapan keunggulan moral dalam kehidupan sehari-hari seorang pemimpin ini juga penting dalam konteks memberikan contoh dan teladan bagi para pengikut maupun bawahan. Seorang pemimpin juga harus mampu dalam berpikir kritis, beradaptasi dan mengambil keputusan dengan cepat dengan mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan keputusan tersebut. Pemimpin jugaharus bersikap adil dan tidak melakukan keberpihakan pada satu sisi, dan selalu mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.  Sehingga membuktikan bahwa prinsip yang terkandung dalam gaya kepemimpinan dalam pandangan Aristoteles, masih relevan dengan keadaan berorganisasi maupun berkomunitas pada masa kini, meskipun dasar dan acuan dalam prinsip ini terpaut jarak yang sangat jauh-Yunani Kuno.

Bagaimana Cara Menerapkan Gaya Kepemimpinan Menurut Aristoteles pada Masa Kini?

Aristoteles dalam pemikiran filsafatnya tidak merumuskan gaya kepemimpinan secara spesifik seperti yang kita kenal sekarang, tetapi ia memberikan dasar-dasar penting tentang kebajikan (virtue), etika, dan politik yang bisa diterapkan dalam gaya kepemimpinan. Pemikiran Aristoteles tentang kepemimpinan sangat berfokus pada etos, pathos, dan logos, yang juga relevan dalam konteks kepemimpinan modern. Berikut adalah cara menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan Aristotelian di era sekarang:

1. Kepemimpinan Berbasis Kebajikan (Virtue Ethics)
Aristoteles menekankan bahwa pemimpin yang baik adalah orang yang memiliki arete (kebajikan) dan phronesis (kebijaksanaan praktis). Dalam konteks modern, seorang pemimpin harus memiliki karakter moral yang kuat, seperti kejujuran, keberanian, keadilan, dan integritas. Langkah yang dapat dilakukan:
   - Integritas dan Etika dalam Pengambilan Keputusan: Pemimpin harus memastikan bahwa semua keputusan yang diambil didasarkan pada prinsip moral yang baik, bukan hanya keuntungan jangka pendek.
   - Menciptakan Lingkungan yang Beretika: Pemimpin harus menciptakan budaya organisasi yang berlandaskan etika, di mana perilaku yang adil dan hormat ditanamkan dan dipraktikkan oleh seluruh tim.

Contoh: Seorang CEO perusahaan teknologi, dalam menghadapi godaan untuk mengurangi standar privasi demi keuntungan finansial, menolak tawaran tersebut meskipun bisa mendatangkan laba yang besar. Dia lebih memilih menjaga privasi pengguna dan mempertahankan reputasi perusahaan sebagai perusahaan yang etis.

 2. Keseimbangan dalam Kepemimpinan (Golden Mean)
Aristoteles mengajarkan prinsip jalan tengah (the golden mean), yaitu keseimbangan antara dua ekstrem. Dalam konteks kepemimpinan, pemimpin perlu menemukan keseimbangan antara berbagai aspek kepemimpinan, seperti:
   - Tegas tetapi Fleksibel: Pemimpin harus tegas dalam mengambil keputusan, tetapi juga terbuka terhadap masukan dan fleksibel saat situasi berubah.
   - Berfokus pada Tujuan tetapi Peduli pada Karyawan: Pemimpin yang sukses harus bisa memprioritaskan pencapaian tujuan organisasi, sambil tetap memperhatikan kesejahteraan dan kebutuhan individu dalam tim.
Contoh: Seorang manajer proyek yang menghadapi tenggat waktu ketat tetap mempertahankan keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesejahteraan timnya. Dia memberikan arahan yang tegas untuk menyelesaikan proyek tepat waktu, tetapi juga memberi fleksibilitas seperti remote working atau waktu istirahat ekstra untuk menjaga keseimbangan hidup kerja tim. 


3. Kepemimpinan Berbasis Nalar (Logos)
Aristoteles menekankan pentingnya logos atau nalar dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu berpikir logis, memiliki pengetahuan yang mendalam, dan membuat keputusan berdasarkan fakta serta bukti.
   - Pengambilan Keputusan yang Rasional: Pemimpin modern perlu mengandalkan data, analisis, dan pemikiran kritis dalam pengambilan keputusan.
   - Komunikasi yang Jelas dan Berdasarkan Fakta: Pemimpin harus mampu berkomunikasi secara efektif dengan argumen yang didukung oleh logika dan fakta, bukan emosi atau asumsi yang tidak terbukti.

Contoh: Seorang pemimpin pemasaran perusahaan menggunakan data analitik untuk mengidentifikasi pola pembelian pelanggan. Dengan menggunakan data tersebut, dia mengubah strategi pemasaran perusahaan untuk menargetkan segmen pelanggan yang tepat, sehingga meningkatkan penjualan secara signifikan.

4. Memahami Emosi dan Hubungan Sosial (Pathos)
Aristoteles juga menyoroti pentingnya pathos, yaitu kemampuan untuk memahami dan merespons emosi orang lain. Dalam kepemimpinan modern, aspek ini dapat diterapkan dalam bentuk kepemimpinan yang berempati dan peduli terhadap anggota tim.
   - Empati dan Keterhubungan Emosional: Pemimpin harus mampu memahami dan merespons kebutuhan emosional tim mereka. Mereka harus menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan anggota tim, baik secara profesional maupun personal.
   - Membangun Hubungan yang Kuat: Kepemimpinan yang sukses di era sekarang menuntut kemampuan membangun hubungan yang didasarkan pada kepercayaan dan saling pengertian.
Contoh: Seorang pemimpin HR di sebuah perusahaan mengetahui bahwa beberapa karyawan merasa stres akibat pandemi. Untuk membantu mereka, dia memperkenalkan program kesehatan mental di tempat kerja, termasuk konseling gratis dan fleksibilitas kerja yang lebih besar, agar karyawan merasa didukung secara emosional. 


5. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)
Salah satu pemikiran politik Aristoteles adalah bahwa pemimpin harus melayani masyarakat dan berkontribusi pada kesejahteraan umum. Dalam konteks modern, hal ini mirip dengan konsep servant leadership, di mana pemimpin berfokus pada kebutuhan orang lain, terutama anggota tim, sebelum memperhatikan kepentingan pribadi.
   - Berfokus pada Kebutuhan Tim: Pemimpin harus selalu memastikan bahwa kesejahteraan anggota tim terjaga, dan mereka memiliki dukungan yang diperlukan untuk berkembang.
   - Mendengarkan dan Melibatkan Semua Pihak: Pemimpin yang baik tidak hanya mendikte tetapi juga mendengarkan dan melibatkan anggota tim dalam pengambilan keputusan.

Contoh: Seorang kepala sekolah yang menerapkan gaya kepemimpinan melayani mendengarkan kekhawatiran guru-gurunya mengenai beban kerja yang tinggi. Dia kemudian bekerja sama dengan staf untuk menyusun jadwal yang lebih fleksibel dan memberikan sumber daya tambahan agar guru dapat fokus pada pengajaran dengan lebih efektif, serta merasa lebih dihargai.

6. Pendidikan dan Pengembangan Diri
Aristoteles menekankan pentingnya pendidikan dan pembelajaran sepanjang hayat sebagai dasar bagi kepemimpinan yang baik. Pemimpin harus terus berkembang, belajar, dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya.
   - Pelatihan dan Pengembangan Keterampilan: Pemimpin harus berkomitmen pada pengembangan keterampilan diri dan timnya melalui pelatihan, mentoring, dan pembelajaran berkelanjutan.
   - Mendorong Inovasi dan Kreativitas: Pemimpin yang efektif harus mendorong anggota tim untuk terus belajar dan berinovasi, serta menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan ide-ide baru.

Contoh: Seorang direktur keuangan memastikan bahwa semua stafnya mendapatkan akses ke pelatihan terbaru tentang tren keuangan digital. Dia juga menyesuaikan waktu kerja dengan pelatihan agar mereka bisa mengikuti program pembelajaran online, sehingga meningkatkan kompetensi timnya dan membuat mereka lebih siap menghadapi perubahan industri.

7. Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab
Aristoteles juga berbicara tentang tanggung jawab moral pemimpin terhadap masyarakat. Pemimpin harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka, serta dampaknya terhadap masyarakat atau organisasi.
   - Akuntabilitas dalam Kepemimpinan: Pemimpin modern harus terbuka terhadap kritik, bertanggung jawab atas kesalahan, dan memastikan transparansi dalam semua keputusan dan tindakan mereka.
   -Menjaga Kepercayaan Publik: Terutama dalam konteks bisnis atau politik, menjaga kepercayaan publik sangat penting. Pemimpin harus selalu bertindak dengan integritas dan profesionalisme.

Contoh: Ketika sebuah proyek besar gagal memenuhi targetnya, seorang direktur proyek tidak menyalahkan timnya. Sebaliknya, dia mengakui bahwa perencanaan proyek kurang matang dan dia yang bertanggung jawab. Kemudian dia akan bekerja sama dengan timnya untuk melakukan evaluasi dan perbaikan di masa depan.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, gaya kepemimpinan yang diinspirasi oleh Aristoteles dapat menghasilkan pemimpin yang bijaksana, beretika, empatik, dan efektif dalam era modern. Dengan menerapkan gaya kepemimpinan menurut Aristoteles, para pemimpin dapat menciptakan kepemimpinan yang baik bagi organisasi maupun komunitasnya.

Tantangan dalam Menerapkan Gaya Kepemimpinan Aristoteles pada Era Modern.

1. Tekanan untuk hasil cepat dan jangka pendek

Aristoteles menekankan bahwa kebajikan dan proses jangka panjang sangat penting untuk membangun karakter dan kepemimpinan yang baik, tetapi di era modern, terutama dalam dunia bisnis, seringkali ada tekanan untuk mencapai hasil yang cepat dan tujuan jangka pendek, yang dapat mengorbankan etika dan nilai kebajikan. Pemimpin mungkin terpaksa mengambil keputusan yang hanya mengutamakan keuntungan finansial atau produktivitas dalam waktu singkat, bahkan jika keputusan tersebut tidak etis atau mempertimbangkan kesejahteraan karyawan. 

2. Kebutuhan untuk Menyeimbangkan Kepentingan Beragam Pemangku Kepentingan

Aristoteles menekankan pentingnya keseimbangan (golden mean) dalam setiap tindakan pemimpin, yang berarti keputusan harus adil dan tidak ekstrem. Namun demikian, pemimpin di era kontemporer sering dihadapkan pada banyak pemangku kepentingan yang berbeda-beda, seperti investor, karyawan, pelanggan, dan masyarakat umum. Dapat menjadi sangat sulit untuk menyeimbangkan kebutuhan dan kepentingan berbagai pemangku kepentingan. Dalam situasi ini, kepemimpinan yang adil menuntut persetujuan yang sulit dan pemimpin seringkali terpaksa membuat keputusan yang tidak menyenangkan bagi sebagian kelompok.

3. Dinamika Global dan Kompleksitas Moral

Pemimpin di era globalisasi, selain harus menangani masalah lokal juga harus mempertimbangkan nilai, norma, dan etika dari berbagai budaya. Meskipun Aristoteles menekankan bahwa kebajikan universal. Dalam praktiknya di era modern, pemimpin sering menghadapi dilema moral yang tidak mudah dipecahkan karena perbedaan norma budaya saat ini. Salah satu tantangan terbesar adalah mencoba menerapkan satu standar kebajikan universal di dunia yang sangat beragam.

4. Kecepatan Perubahan Teknologi dan Inovasi

Meskipun Aristoteles menekankan pentingnya pertimbangan rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan inovasi teknologi yang bergerak sangat cepat, pemimpin di era modern sering kali harus membuat keputusan dalam kondisi yang tidak stabil atau tidak pasti, dan mereka sering kali harus membuat keputusan dengan cepat, yang tidak selalu memberikan cukup waktu untuk refleksi etis atau analisis rasional yang mendalam. Dengan kecepatan ini, prinsip kepemimpinan Aristotelian dapat menjadi sulit untuk diterapkan, terutama dalam lingkungan bisnis startup atau teknologi tinggi.  

5. Kepemimpinan di Era Individualisme

Aristoteles melihat manusia sebagai makhluk sosial yang mencapai kebahagiaan sejati (eudaimonia) melalui interaksi sosial yang bermakna dan kesejahteraan bersama. Namun, kepentingan individu sering kali lebih penting daripada kepentingan kolektif dalam budaya individualisme yang kuat. Jika lingkungan kerja lebih fokus pada kesuksesan pribadi atau kesuksesan individu, pemimpin yang mengutamakan kebaikan bersama dan kebajikan mungkin sulit untuk menyelaraskan tim atau organisasi mereka dalam budaya yang sangat kompetitif dan individualistik.

Kesimpulan

Gaya kepemimpinan dalam pandangan Aristoteles merujuk pada etika kebajikan (virtue) dan kebijaksanaan prkatis (phronesis). Aristoteles menekankan bahwa seorang pemimpin harus memiliki keunggulan moral (arete) dan dapat menerapkan nilai-nilai kebajikan seperti keadilan, keberanian, kebijaksanaan dan moderasi (gold mean) dalam kepemimpinannya, serta mengimplementasikan kebijaksanaan praktis dalam menghadapi masalah yang ada. dalam pandangannya, kepemimpinan tidak hanya mengenai kekuasaan, tetapi juga mengenai tanggung jawab moral dan kemampuan untuk memandu orang lain menuju tujuan bersama yang baik. sehingga pemimpin juga bertanggung jawab dalam membantu pengikutnya dalam mencapai potensi penuhnya sebagai manusia. 

Adapun tantangan-tantangan dalam menerapkan gaya kepemimpinan menurut Aristoteles di era modern. Tantangan-tantangan ini dapat dilalui dengan adanya penyesuaian dan analisis mendalam pada setiap aspek masalah, sehingga pemimpin dapat menemukan solusi maupun cara yang tepat dalam mengatasi tantangan yang ada. Para pemimpin era modern juga diharapkan terus mengimprovisasi diri baik dari segi pengetahuan, pengalaman maupun pemahaman moral, sehingga para pemimpin dapat lebih efektif dalam mengimplementasikan gaya kepemimpinan Aristoteles dan kepemimpinan terbaik bagi masalah era modern organisasi maupun komunitasnya.

Daftar Pusataka

Sunarso, Budi. (2022). Teori Kepemimpinan. Salatiga : CV. Madani Berkah Abadi

Nas, J. (2015). Diskursus Kepemimpinan Pemerintahan Kontemporer. GOVERNMENT: Jurnal Ilmu Pemerintahan 

Copleston, Frederick. (1993). A History of Philosophy (Volume 1)

Suseno, Magnis. Franz. (2016). Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. Sleman: PT KANISIUS

Jose G, Alejo Jose. Sison. Leadership, Character, and Virtues from an Aristotelian Viewpoint 

Clayton, Edward. Aristotle: Politics. Internet Encyclopedia of Philosophy: https://iep.utm.edu/aristotle-politics/

Nelson, Michael. (2015). Aristotele and Leadership. University of the Cumberlands

Aristotle, Ross, W. D., & Brown, L. (2009). The Nicomachean ethics. Oxford University Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun