Mohon tunggu...
Gugi Yogaswara
Gugi Yogaswara Mohon Tunggu... profesional -

Assalamu’alaikum… Hai, saya Gugi Yogaswara. Saat ini saya bekerja di salah satu BUMN yang bergerak di bidang sertifikasi. Minat saya besar di Lingkungan. Disamping saya bekerja di bidang lingkungan dan memiliki latar belakang pendidikan teknik lingkungan, saya merasa dengan berkontribusi di bidang lingkungan saya bisa bermanfaat buat banyak orang. Selain lingkungan, hal kedua yang saya minati adalah tentang manajemen dan kepemimpinan. Hal ini menjadi menarik karena saya memiliki banyak keuntungan dan kelebihan dengan menguasai ilmu ini. Maka, dengan memperdalam ilmu manajemen dan kepemimpinan saya akan banyak mendapatkan manfaat di masa depan. Selamat berbagi ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia Jurnalisme sebagai Refleksi 71 Tahun Kemerdekaan

18 Agustus 2016   09:24 Diperbarui: 18 Agustus 2016   09:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran; dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.

Demikian bunyi ayat 1, 2, dan 3 pada Pasal 4 Bab II Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini mencerminkan suatu sistem dimana pers memiliki kebebasan dalam menjalankan fungsinya. Yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya. Kendati demikian, kebebasan pers bukanlah sesuatu yang absolut dan dapat dilakukan secara liberal, melainkan sesuatu yang harus disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan norma etika, profesionalisme, dan supremasi hukum. (Wibowo, 2009).

Usia 71 tahun merdeka, menjadi sebuah realita yang membuat kita dapat bercermin akan keberlangsungan negeri ini akan gap yang terjadi dari harapan dan kenyataan. Harapan dan kenyataan ini tersaji di muka masyarakat dengan gamblang dan jelas, sehingga masyarakat dengan mudah mendefinisikan sejauh apa gap yang ada. Definisi masyarakat terhadap gap ini lah yang menyimpulkan opini bangsa. Definisi yang di stimulus dan 'diatur' oleh media.

Opini masyarakat dalam kesehariannya sangatlah bergantung pada sesuatuyang mencuat di media. Baik atau buruknya dapat memiliki ketergantunganterhadap aspek ‘sesuatu’ tersebut. Dalam kasus ini, peran pers dalam profesinya yakni merangkum seluruh peristiwa yang ada sangatlah besar. Contoh sederhananya, apabila masyarakat melihat atlit bulu tangkis, Susi Susanti menjuarai Olimpiade Barcelona pada 1992, maka bisa dipastikan semangat nasionalisme bangsa Indonesia kala itu tengah membara karena mereka mendapati seorang putri bangsa telah mengharumkan negerinya di dunia.

 Tetapi, sangat jauh berbeda dampak yang ditimbulkan apabila yang terlihat adalah pemerkosaan gadis berumur belasan tahun yang dilakukan oleh 14 orang di Bengkulu. Kekecewaan, sikap apatis, dendam, merasa tidak aman, dan kekhawatiran yang berlebih sontak terbentuk di benak masyarakat. Masiv, dan gegap gempita.

Secara langsung atau tidak langsung pola pikir masyarakat dapat ‘diatur’ oleh fenomena-fenomena yang terjadi dan mencuat di media. Dengan kemudahan mengakses informasi, opini-opini publik dapat terbentuk begitu saja bahkan tanpa terencana oleh ‘si pembuat opini’ itu sendiri. Ini merupakan dilema bagi dunia jurnalistik Indonesia dalam perannya sebagai mediator informasi publik. Idiom bad news is good news saat ini banyak dianut oleh kebanyakan jurnalis dalam meliput peristiwa yang ada. Betapa tidak, 550 kasus perkara korupsi pada tahun 2015 (Data rilis ICW 2015) diborong oleh berbagai media dan menyajikannya pada halaman ut. Potensi kerugian negara, mencapai Rp 3,1 Triliun menbuat geram ratusan juta masyarakat yang membayar pajak.

Sulit mencari media yang menjadikan prestasi Indonesia sebagai headline dalam liputan periodiknya. Berita seperti Musa Laode Abu Hanafi yang menjadi juara ketiga Musabaqah Tilawatil Qur'an Internasional di Mesir atau seperti berita Nasha Dematra yang meraih penghargaan sebagai Sutradara Pendata Terbaru Terbaik 2016 dalam ajang American Movie Awards. Berita-berita itu kalah booming dibanding hebohnya sidang kopi sianida yang disiarkan langsung di seluruh penjuru negeri. 

Ironi inilah yang secara tidak langsung mengerdilkan opini masyarakat Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Banyaknya profil koruptor yang diliput di media membuat masyarakat rentan terhadap problema berbau politik dan kepemerintahan. Atau lebih parah lagi, akibat dari sajian-sasajian sisi negatif bangsa, tidak menutup kemungkinan perlahan membuat legitimasi bahwa itu semua sah untuk dilakukan.

Jika pada masa orde baru pers kita lebih disibukkan dengan usaha menjamin eksistensi diri di tengah tekanan pemerintah yang otoriter, maka pers kita saat ini tengah disibukan dengan usaha memaknai dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya arti ‘kebebasan pers’ yang termaktub dalam UU No 40 tahun 1999 di atas. Kebebasan pers merupakan penopang dari kehidupan pers itu sendiri. Telah kita rasakan bagaimana pahitnya media yang dibungkam selama orde baru. Masyarakat di-cekoki oleh asupan-asupan manipulasi fakta.

Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata konsep kebebasan pers ini telah melenakan kita. Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menjelaskan, bahwa kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare headline).

Jika ditelisik lebih lanjut, kebebasan pers bukanlah sesuatu yang absolut dan dapat dilakukan secara liberal, melainkan sesuatu yang harus disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakkan norma etika, profesionalisme, dan supremasi hukum. (Wibowo, 2009). Hal ini dipertegas dalam Bab II Pasal 2 undang-undang No. 40 tahun 1999: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.

Konsep jurnalisme kemanusiaan merupakan rekomendasi terkuat atas permasalahan dan ironi diatas. Mengacu kepada pengertian kemanusiaan itu sendiri yakni, sebuah gerakan yang tujuannya adalah mempromosikan harkat, martabat, dan nilai manusia. kemanusiaan menekankan harkat, peranan, dan tanggung jawab manusia. Menurut paham kemanusiaan, manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan istimewa dan berkemampuan lebih dari makhluk-makhluk lain di dunia karena bersifat rohani. (Mangunhardjana, 1997). 

Maka, Jurnalisme kemanusiaan yang kiranya suitable untuk ironi ini adalah kegiatan jurnalisme yang menjunjung tinggi harkat dan peranan serta keinginan rakyat Indonesia yang ingin keluar dari segala keterpurukan dan problema yang melanda. Membantu membentuk pola pikir masyarakat dengan mencoba untuk selalu mempertimbangkan fakta yang diliput secara adil, seimbang dan memperhatikan dampak yang ditimbulkannya.

Terlalu banyak artikel keburukan Indonesia akan menjerumuskan masyarakat pada paradigma pesimisme kolektif terhadap bangsanya sendiri. Harus diseimbangkan dengan membuat prestasi dan keunggulan bangsa menjadi main topic dalam setiap media. Memanusiakan manusia dengan mengapresiasi segala bentuk prestasi merupakan salah satu cara yang ampuh untuk dapat memancing semangat nasionalis masyarakat yang mulai memudar. Memunculkan sisi kemanusiaan dapat menjadi obat bagi golongan penderita alergi media yang menganggap isinya hanya keterpurukan bangsa belaka.

Mengutamakan berita positif bukan berarti mengada-ngada dan menutup fakta-fakta negatif yang terjadi. Bukan pula berarti memangkas berita kontroversial yang perlu dilihat publik sebagai sarana antisipasi masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan adalah selalu memerhatikan proporsi antara keduanya, dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.

Kesimpulan dari premis-premis peliknya masalah indonesia dapat diambil berdasarkan fakta yang terjadi. Apakah kesimpulan itu buruk atau baik? Menginspirasi atau membuat depresi? Itu semua tergantung dari apa yang mencuat dalam ranah publik. Sesuatu yang masyarakat lihat, sesuatu yang masyarakat dengar, dan sesuatu yang masyarakat rasakan. Dan sesuatu itu menjadi tanggung jawab pers sepenuhnya. Bentuk dari tanggung jawab itu dapat diwujudkan dengan jurnalisme kemanusiaan. Memanusiakan manusia Indonesia yang ingin keluar dari konstelasi keterpurukan negeri menuju suasana penuh semangat dan optimistis Indonesia akan lebih baik lagi. Selamat Hari Kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun