Cepatnya aliran informasi di era media sosial telah memungkinkan khalayak dunia untuk menjadi saksi terhadap konflik dan bencana di berbagai belahan dunia. Suara yang berkobar dalam seruan "All Eyes on Rafah" setelah serangan udara oleh Israel di Kota Rafah, Palestina, menggema tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Namun, di tengah sorotan kecaman internasional terhadap Israel dan simpati masyarakat Indonesia terhadap Palestina, sebuah fenomena terabaikan sedang berlangsung di tanah air, khususnya di Papua. Fenomena tersebut merupakan konflik lahan yang sedang terjadi di wilayah timur Indonesia.
SERUAN "ALL EYES ON PAPUA"
Seruan "All Eyes on Papua" membangkitkan kesadaran akan konflik lahan yang melanda wilayah timur Indonesia. Di balik perhatian yang diberikan pada konflik di Palestina, ratusan ribu hektar hutan adat Papua terancam oleh rencana pembabatan untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT. IAL. Ini bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga penjajahan tanah yang mengancam mata pencaharian dan budaya masyarakat adat Papua, seperti Suku Awyu dan Suku Moi.
Tindakan solidaritas dan dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat umum, influencer, dan selebriti, dalam seruan "All Eyes on Papua" menunjukkan pentingnya kesadaran akan isu-isu lokal yang sering terlupakan. Perampasan hak akibat rencana pembabatan hutan adat seluas 36 ribu hektar ini mendapat penolakan keras oleh masyarakat adat Papua lantaran hutan adat menjadi sumber penghidupan utama bagi mereka.
Jika berkaca dari sejumlah kasus yang terjadi di Indonesia, kasus yang sering dibicarakan oleh warganet di media sosial hingga menjadi viral akan lebih cepat diusut dan dituntaskan permasalahannya.
KASUS GUGATAN MASYARAKAT ADAT
Kasus gugatan masyarakat adat Papua terhadap PT. IAL dan proyek-proyek yang merusak lingkungan seperti Proyek Tanah Merah mencerminkan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan tanah dan sumber daya alam. Meskipun telah berjuang melalui jalur hukum, Suku Awyu dan Suku Moi masih terus berhadapan dengan tantangan besar dalam melindungi hak-hak mereka.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dam Kehutanan per awal Juni 2024, hutan adat di Papua yang diakui oleh pemerintah seluas 39.507 hektar, yang terdiri dari 23.208 hektar di wilayah Papua dan 16.299 hektar di Papua Barat.
Awalnya, pemerintah daerah setempat memberikan persetujuan lingkungan untuk PT. IAL, yang sebagian besar operasinya berada di wilayah hutan adat yang dimiliki oleh Suku Awyu. Namun, upaya hukum mereka untuk menggugat keputusan ini ditolak oleh pengadilan tingkat awal dan banding. Sebagai hasilnya, Suku Awyu mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung terkait keputusan tersebut.
Dikutip dari laman Greenpeace, "Kami sebagai pemilik wilayah adat tidak mendapatkan informasi tentang rencana aktivitas perusahaan. Kami juga tidak dilibatkan saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan," ucap Hendrikus Franky Woro, seorang pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu. Ia sudah meminta pemerintah untuk mencabut izin PT. IAL dengan mengirimkan gugatan lingkugan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura agar pemerintah mencabut izin PT. IAL. Hal ini dilakukan atas dasar tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat hukum adat, khususnya Suku Awyu.