Mohon tunggu...
Gylda Nampasnea
Gylda Nampasnea Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teologi Feminisme Sebuah Rujukan bagi Gerakan Emansipasi Wanita Masa Kini

23 November 2018   19:56 Diperbarui: 24 November 2018   14:42 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Persoalan kesetaraan gender merupakan isu yang selalu menarik untuk dibahas. Dalam perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat sekarang ini, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa masih banyak masyarakat dalam lingkungan tertentu yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah dari laki-laki bahkan membatasi perempuan untuk melakukan segala yang biasa ada dalam zona maskulinitas.  Alasan itu pula yang tentu menjadi motivasi utama yang mendorong R.A Kartini untuk memperjuangkan Emansipasi wanita di masanya. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa paradigma yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat inilah yang menjadi embrio bagi munculnya teologi feminisme, sebagai sebuah gerakan yang mencoba menerobos tradisi patriakhal yang sudah mendarah daging untuk menentukan posisi perempuan dalam aras yang sama dengan laki-laki. Di dalam kaitan dengan hal itu, maka di sini akan dibahas tentang teologi feminisme sebagai sebuah rujukan bagi gerakan emansipasi masa kini.

Pemahaman Istilah

Istilah Feminin dalam pemikiran Barat bertujuan untuk melengkapi konstruksi maskulinitas. Dengan menambah tema-tema feminin ke dalam tema-tema maskulin dalam berteologi, maka dapat memperkuat paradigma keberimbangan dalam dominansi gender tertentu. Dengan kata lain feminisme adalah sebuah kritik terhadap paradigma Patriakhat/patriakhal, yang menempatkan laki-laki atau maskulinitas sebagai yang paling dominan atau superior. Kaum feminis berusaha merumuskan sebuah pemahaman baru terhadap paradigma maskulinitas, dengan memasukkan perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan yang utuh dan sejajar dengan kaum laki-laki.

 Contohnya: dengan mengubah Doa Bapa Kami menjadi Doa Ibu Kami, yang menunjukkan adanya upaya untuk membangun sebuah paradigma baru yang berbeda dari apa yang tertulis dalam Alkitab, bahwa Allah dalam pandangan kaum feminisme bukan tampil dalam gender laki-laki tapi justru perempuan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dari pemahaman kaum Feminisme di sini dapat dikatakan bahwa para penganut paham ini, menganggap Alkitab telah mendiskreditkan gender feminin, di mana Alkitab lebih menonjolkan sisi maskulinitas semata, karena latar belakang penulisan Alkitab memang dipengaruhi oleh budaya Yahudi yang sangat memberikan tempat istimewa pada peran seorang laki-laki.

Selain itu, ada juga sebagian penganut feminisme yang tidak hanya mengubah paradigma dimana perempuan ditampilkan sejajar dengan laki-laki, namun secara moral juga mereka memposisikan perempuan sebagai yang superior dan gender laki-laki yang lekat dengan maskulinitas kepada kejahatan.

Berkaitan dengan perdebatan panjang secara historis mengenai istilah feminis, maka feminisme dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara dan sama berharganya. Berangkat dari pemahaman di atas ada empat hal yang dapat dikatakan tentang Feminisme yaitu:

  • Equal Worth dan bukan Equality Worth. Istilah Equal Worth menegaskan secara berimbang dan menghargai tugas-tugas tradisional perempuan seperti melahirkan dan merawat anak sebagai pekerjaan mulia yang secara historis dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki.
  • Istilah Privilege, ditujukan kepada hak-hak politis formal seperti hak pilih dan hak menduduki jabatan. Hal ini berkaitan dengan budaya suku bangsa tertentu yang menempatkan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan.
  • Social Movements, memberikan keseimbangan penamaan tanpa maksud merendahkan satu sama lain. Ketika perempuan berjuang dalam memperhatikan isu-isu keadilan, perempuan justru diberi label feminis, sedanngkan laki-laki yang menegaskan otoritas Patriakhat tidak diberikan istilah khusus yang bersifat menyindir.
  • Hirakhi Sosial. Di tengah realitas sosial yang memberikan tempat istimewa bagi kaum laki-laki untuk hal-hal spesial yang hanya bisa dikerjakan atau dimiliki seorang laki-laki, maka Feminisme mau menegaskan bahwa seorang perempuan pun bisa melakukannya. Misalnya: sekarang ada banyak perempuan yang menjadi pilot, tentara dll, pekerjaan yang dulunya dipandang hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki.

 Latar Belakang Lahirnya Teologi        Feminisme

  • Teologi Feminisme lahir di tengah masa kekacauan tahun 1960-an di mana pada tahun itu muncul berbagai pertanyaan tentang aturan dan moral. Pada tahun-tahun itu, kaum perempuan bangkit untuk memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Gerakan feminisme memiliki akar sejarah yang kuat dengan kondisi dan situasi politik serta perdagangan pada masa itu, di mana banyak perempuan muda yang terlibat dalam gerakan anti perang dan perjuangan hak-hak sipil. Keterlibatan perempuan di sini adalah untuk membuktikan kemandirian diri mereka yang seringkali dipandang rendah.

Pada tahun 1966, para perempuan muda yang adalah kaum profesional dan pebisnis mendirikan NOW (National Organization for Woman). Di banyak denominasi gereja, organisasi perempuan Kristen juga menuntut peran yang lebih besar dalam persoalan gereja, karena faktanya pandangan yang merendahkan perempuan bukan hanya ada di luar gereja/dunia sekuler, namun hal itu juga berlaku di dalam gereja.

Menurut kaum feminis, perempuan dalam persepsi umum masyarakat, seringkali dipandang sebagai sebagai harta milik (barang), dan harus tunduk kepada laki-laki. Ketundukkan perempuan terhadap laki-laki karena adanya anggapan bahwa perempuan itu menyandang gambar Allah bukan dalam kapasitas primer (yang utama), namun sekunder, karena diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Akibatnya dalam beberapa gereja, perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah, pengajar dalam ibadah maupun pelayan di gereja.

Aspek definitif feminisme di atas menegaskan bahwa bahwa ada suatu upaya baru dalam berteologi untuk menyusun kerangka teologi dalam paradigma gender yang setara. Kesadaran ini lahir karena adanya pengamatan bahwa selama ini teologi hanya tersusun dalam kerangka paradigma laki-laki, bahkan bahasa teologi juga sangat bersifat eksklusif laki-laki, khuususnya dalam kaitan dengan mempresentasikan Tuhan (Doa Bapa Kami).

Secara historis, akar perjuangan feminisme dapat dirujuk ke belakang dalam Reformasi Protestan pada abad ke-16, di mana Luther dan Calvin menolak pemikiran gereja Katolik, yang menganggap perempuan itu najis, kaki tangan si jahat yang menggoda laki-laki untuk berdosa (band: kisah taman Eden). Para reformator mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan juga dalam gambar dan rupa Allah, karena itu mereka berdiri di hadapan Allah sebagai pribadi yang setara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun