Sebagai salah satu contoh tokoh Sastra ialah Sapardi Djoko Damono yang turut menyetujui model atau cara berpikir Plato bahwa sastra selalu bersinggungan dengan aspek sosial budaya. Menurut beliau sajak Hujan Bulan Juni ini sastra bukanlah semata suatu entitas mandiri, tetapi diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dihayati, dipahami, serta dimanfaatkan oleh pembaca.Â
Tak hanya Sapardi adapun seorang penyair muda berasal dari NTT yakni Felix K. Nesi dalam puisinya yang berjudul "Di Rumah Seorang Asing uang Tak Henti Membicarakan Rambut dan Warna Kulit" pada bukunya Kita Pernah Saling Mencintai (2021, h. 28), dalam penggalan bait ketiga puisinya ia menuliskan "Di negeri kami, orang bercerita tentang tanah yang hilang, tentang bangsa yang tak punya siapa-siapa selain ibukota." Puisinya ini mencoba menjelaskan bagaimana adanya rasisme yang ia rasakan dan bagaimana ia mencoba merangkainya dalam diksi yang tepat.Â
Dalam konteks ini komponen pengarang dan pembaca adalah anggota masyarakat yang terikat oleh kelompok sosial tertentu beserta pendidikan, agama, adat istiadat, suku dan ras serta lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ide pengarang yang dituangkan dalam karya sastra meskipun berupa fiksi sangat sulit dilepaskan dari pengalaman subjektifnya sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian sastra menjadi sebuah seni yang memanfaatkan bahasa sebagai media untuk meracaukan dan menuangkan segala isi kicauan di kepala dan benak, sastra menawarkan berbagai kesempatan untuk melangsungkan kritik terhadap oknum pemerintahan yang mungkin tidak berjalan sesuai dengan kemauan masyarakat dalam melaksanakan perubahan sosial. Hal ini dikarenakan sastra memiliki akses sosial yang secara potensial memungkinkan pengarang untuk menggulirkan gagasannya kepada khalayak demi perubahan sosial-budaya ke arah yang lebih baik.Â
Seperti contohnya penulisan Felix Nesi yang menyuarakan mengenai persoalan rasisme dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat timur dimana hal ini berbanding terbalik dengan apa yang diberikan pada wilayah Jawa. Secara tidak langsung beliau pun mengingatkan bahwa Indonesia tidak hanya terdiri atas ibukota namun adapun saudara kita yang berasal dari timur Indonesia. Melalui karya puisinya ini mampu membawa isu perubahan dalam konteks keadilan dan ras.Â
Tulisannya ini cukup menyampaikan bagaimana bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh masyarakat di luar Indonesia timur, dapat dilihat dari judulnya "Di rumah seorang Asing" yang terdiri atas makna kiasan dengan maksud pesan dibaliknya bahwa ia merantau ke luar daerah dan mendapatkan ketidakadilan seperti itu dan menuangkannya ke dalam karya sastra.
Oleh karena itu bisa kita pahami bersama bahwa sastra bukan hanya sekadar bacaan ringan, tetapi sastra merekam segala kompleksitas dan dinamika sosial-budaya yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga hal ini juga dapat dijadikan alasan dasar mengapa sastra ada di setiap zaman, yaitu karena sastra dibutuhkan oleh manusia.
Â
Daftar Pustaka:
Eagleton, Terry. (2010). Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. (Edisi Terjemahan Harfiah Widyawati dan Evy Setyarini). Yogyakarta: Jalasutra.Â
Nesi, K. Felix. (2021). Kita Pernah Saling Mencintai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.