Mohon tunggu...
Gwen StanyclausMandagie
Gwen StanyclausMandagie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Komunikasi Dengan Prodi Hubungan Internasional Di Universitas Kristen Satya Wacana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebijakan RED II Membuat Indonesia Bergerak

9 Oktober 2023   22:55 Diperbarui: 10 Oktober 2023   10:31 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi penghasil minyak kelapa sawit atau crude palm oil terbesar didunia, hal ini menjadikan minyak sawit sebagai hal yang penting untuk perekonomian Indonesia. Minyak kelapa sawit ini adalah minyak nabati yang dihasilkan dari buah kelapa sawit yang memiliki kandungan lemak yang tinggi dan tahan terhadap oksidasi sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan baku dalam industry makanan dan kosmetik. Perindustrian kelapa sawit membawa manfaat besar bagi indonesia karena bisa menampung secara langsung 4,2 juta orang dan tidak langsung 12 juta orang sebagai tenaga kerja, menyumbang 3,5% ke PDB negara tiap tahunnya. Melihat ketersediaan yang melimpah di Indonesia dan peluang yang begitu besar membuat minyak ini menjadi komoditas unggulan ekspor Indonesia.

 Berdasarkan data Statistik Pusat nilai ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil ini ditahun 2022 menyentuh US $29.62 miliar, meningkat 3.56% dibanding tahun sebelumnya. Ini merupakan pencapaian tertinggi dalam dekade terakhir, walaupun tiga tahun belakangan ini volume ekspor CPO ini sempat menurun tapi nilai ekspor CPO Indonesia meningkat secara konsisten semenjak tahun 2020, hal ini membuktikan kalau kenaikan nilai ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia bukan disebabkan oleh peningkatan produksi, melainkan memang kenaikan harga CPO yang ada dipasar global.

 Produktivitas CPO dan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tiap tahunnya terus meningkat mendorong pemerintah untuk mampu mengekspor ke berbagai negara, termasuk Uni Eropa. Uni Eropa merupakan satu negara tujuan ekspor utama untuk produk minyak kelapa sawit. Di tahun 2017, ekspor minyak kelapa sawit ke Uni Eropa mencapai 5,1 juta ton yang menghasilkan nila 48,1 triliun. Hal ini menunjukan adanya ketergantungan Uni Eropa dengan Indonesia tentang minyak kelapa sawit sebagai sumber energi utamanya, yang tentunya menguntungkan Indonesia. Namun dibeberapa tahun belakangan ini Indonesia mengalami masalah dari Uni Eropa tentang minyak kelapa sawit karena kepentingan nasional Indonesia terancam oleh kebijakan Uni Eropa yang disebut sebagai RED yang membatasi Pembangunan minyak nabati, khususnya minyak kelapa sawit,

 Sebenarnya Uni Eropa sudah menetapkan berbagai kebijakan yang berdasarkan standar lingkungan diberbagai sektor dan salah satu yang mengalami revisi adalah RED (Renewable Energy Directive) merupakan kebijakan Uni Eropa yang awalnya betujuan untuk mendorong penggunaan biofuel dalam negeri (2009). Kemudian kebijakan ini diubah menjadi RED II (2018) yang tujuannya sudah untuk mengurangi dampak penggunaan energi dari bahan bakar fosil yang mempengaruhi perubahan iklim global atau merusak lingkungan. 

Dalam kebijakan ini penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku produksi biofuel dikategorikan sebagai bahan bakar yang tingkat emisi karbon yang tinggi dan diasumsikan bahwa perkebunan kelapa sawit bisa memicu deforestasi. Akibatnya kebijakan ini akan menetapkan standar baru yang membatasi akses eksportir asing ke pasar Uni Eropa

 Kebijakan ini membawa Indonesia ke posisi yang tidak menguntungkan karena memberi dampak ke penurunan volume ekspor CPO dari Indonesia ke Uni Eropa, penurunan harga CPO dan adanya resiko diskriminasi ke industri kelapa sawit indonesia. Pembatasan produk ekspor minyak kelapa sawit ini nantinya bisa berdampak juga ke internal Indonesia seperti pada kinerja, ekspor, saldo perdagangan, dan masalah ketenagakerjaan. 

Berlakunya kebijakan ini memberikan efek domino untuk negara anggota Uni Eropa karena negara-negara anggotanya pasti akan mengikuti tindakan yang diambil oleh Uni Eropa dan bersatu untuk membatasi penggunaan minyak kelapa sawit.

 Yang dikhawatirkan adalah jika Indonesia akan kehilangan konsumen ekspor minyak kelapa sawit ke beberapa mitra diwilayah itu yang pastinya mengurangi pendapatan negara, permintaan pasar,dan mengancam industri kelapa sawit Indonesia.

 Melihat keadaan Indonesia yang dirugikan membuat Indonesia bergerak dengan berbagai upaya. Awalnya dengan upaya diplomasi publik, melalui penyelenggaraan pertemuan pertama Joint Working Grup (JWG) on Palm Oil antara ASEAN dan Uni Eropa (2021) dan Indonesia aktif menghadiri beberapa pertemuan lainnya untuk memperjuangkan industri kelapa sawitnya. Melalui organisasi WTO dengan Indonesia menyampaikan keberatannya dengan kebijakan Uni Eropa di bermacam forum bilateral dan menggugatnya. Diplomasi sawit yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan Uni Eropa yang menunda larangan impor minyak kelapa sawit dari Indonesia sampai dengan 2030 dan terakhir dengan Indonesia menerapkan standar sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan (ISPO).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun