Mohon tunggu...
Gito Depok
Gito Depok Mohon Tunggu... -

Warga Depok anti kemunafikan partai berkedok agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Idris Birokrat Sejati, Saat Debat Kandidat pun Bertele-tele

25 November 2015   23:46 Diperbarui: 25 November 2015   23:46 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu kesempatan, seorang blogger menuliskan pengalamannya mendampingi delegasi pengusaha Jerman, yang menghadiri pembukaan pameran Trade Expo Indonesia, di PRJ Kemayoran. Saat itu, SBY yang masih menjadi Presiden menyampaikan pidatonya. Peserta pameran dengan seksama mendengarkan pidatonya. Setelah usai, delegasi Jerman itu berbisik kepada sang blogger, "kenapa pidatonya panjang sekali?". Ia jawab, "karena ini momen yang sakral, jadi perlu dipertegas dengan muatan pidato yang berbobot".

Delegasi Jerman kembali berbisik, "Isi pidato memang bagus, tapi pembukaannya terlampau panjang". Maksudnya? "Peserta seremoni kan banyak, jadi tidak perlu disebutkan satu per satu". Blogger itu jawab, "yah, tadi kan yang disapa hanya pejabat-pejabat penting saja".  Yang segera dipotong oleh delegasi Jerman tersebut, "itu maksud saya, cukup pejabat tertinggi saja. Sehingga tidak mengabaikan peserta lainnya".

Mulanya, ia berpikir, apa urusannya delegasi Jerman itu mencampuri urusan gaya pidato SBY?. Namun, setelah dipikir-pikir, memang jauh berbeda dibandingkan pejabat Jerman menyampaikan pidatonya. Pidato mereka lebih singkat, padat dan berisi. Sedangkan, pejabat kita lebih suka berlama-lama dengan kata sambutannya. Kemudian tumpul di bagian isinya. Sehingga terkesan basa-basi, namun kurang berisi.

Sebagai contoh, kita lihat pemaparan calon Walikota Depok Idris Abdul Shomad yang di Kartu Suara 9 Desember 2015 nanti namanya berubah menjadi Muhammad Idris, pada acara Debat Kandidat Pilkada Depok 2015, Kamis, 19 November 2015, "Yang saya hormati Walikota Depok Bapak Nurmahmudi Ismail, yang saya hormati Ketua DPRD Depok Bapak Hendrik Tangke Allo, yang saya hormati Ketua KPU Ibu Titik. Yang saya hormati Kapolres, Kodim, Muspida.” Bla…bla…bla…Masih panjang lagi.

Bagi yang disebutkan namanya, tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, bagi yang tidak disebutkan namanya, akan mengeluh karena terlalu panjang dan membuang waktu. Mengingat acara ini diliput oleh media televisi, tentunya jutaan rakyat Depok juga turut menyaksikan. Itu juga kalau nonton semua. Dan, mereka inilah yang merasa jemu dengan kata sambutan yang bertele-tele.

Ini bukan sambutan pidato di kelurahan. Ini debat kandidat Pilkada Depok. Dari 3 menit waktu yang diberikan, sekitar 40-an detik dihabiskan untuk basa-basi. Biar terkesan hormat, santun, dan meraih simpati. Namun kenyataannya malah tak bisa menuntaskan pemaparan visi-misi.

Selain itu, saya menilai Idris terkesan melanggengkan kultur masyarakat yang berkelas-kelas. Masyarakat kita terbelah menjadi rakyat biasa dan penguasa. Pejabat bukan lagi sebagai pengayom rakyatnya. Pejabat menduduki kelas yang tinggi. Sehingga layak untuk diistimewakan. Termasuk, musti disebutkan namanya dalam naskah pidato. Pejabat dengan mental seperti ini, akan semakin menjauhkan diri dari rakyatnya. Mereka lebih suka menetap di menara gading daripada harus berkeringat dan berkotor-kotor untuk datang menyapa rakyatnya.

Sebagai anak keturunan Ayah dari Jogja dan lama di Solo, saya kenal betul dengan mental "priyayi" seperti ini. Saya juga yakin, Dimas muak melihat kelakuan mental pejabat yang kayak "priyayi". Yaitu, mental yang ingin selalu diistimewakan, bukan karena pengabdiannya kepada masyarakat. Namun, hanya karena gelar yang disandangnya.

Untuk itu, saya mengapresiasi CCalon Walikota Nomor Urut 1 Dimas Oky Nugroho yang tidak bertele-tele seperti Idris. Dimas lebih egaliter. Keluarga dari ayahnya berasal dari Jawa Timur. Ibunya dari Melayu, Sumatera Utara. Dimas besar di Pematang Siantar dan Medan, kota metropolitan dengan kultur masyarakatnya yang tanpa basa-basi. Dimas pun kuliah di Surabaya, kota yang karakter masyarakatnya sama dengan Medan: keras, egaliter, apa adanya.

Tradisi birokrasi di Indonesia yang masih berpatron ke patrialisme dan kental dengan mental priyayi, telah menjauhkan harapan rakyat: Pejabat itu dibayar negara untuk melayani, bukan untuk dilayani. Apalagi, kalau mudah tersinggung, jika namanya tidak disebutkan. Dari situ, kita sudah punya gambaran, bagaimana mental pejabat-pejabat di rezim yang berkuasa selama 10 tahun ini di Depok. So, pilih mana, pemimpin yang egaliter, bersahaja, tanpa jarak dengan rakyatnya, atau yang bermental priyayi? Salam PERUBAHAN, pilih Dimas Babai untuk Depok lebih baik. Bukan TERBALIK!

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun