Karya: Gutamining Saida
Suasana di SMPN 1 Kedungtuban terasa sibuk. Hari ini adalah hari pembagian rapor, dan para guru sibuk dengan persiapan masing-masing. Saya sedang membereskan tumpukan map rapor di ruang guru ketika tiba-tiba Pak Tulas, guru olahraga yang terkenal ramah, mendekat ke meja saya.
"Bu, tadi saya baru keluar dari ruang Pak Kepala Sekolah. Beliau minta Ibu ke ruangannya sekarang," ujar Pak Tulas dengan nada serius.
Saya sempat tertegun. "Ada apa ya, Pak?" tanyaku pelan, mencoba mencari petunjuk dari wajahnya.
Pak Tulas hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. "Wah, saya tidak tahu, Bu. Tapi lebih baik Ibu segera ke sana," jawabnya singkat sebelum beranjak pergi.
Dalam hati, saya bertanya-tanya. "Ada apa ya saya dipanggil? Sekarang kan saya sudah jadi guru biasa, jarang masuk ke ruang kepala sekolah." Rasa penasaran bercampur sedikit cemas membuat langkah saya terasa berat.
Saya mengetuk pintu ruang kepala sekolah, lalu masuk setelah dipersilakan. Pak Kepala Sekolah sedang duduk di balik meja kerjanya. Beliau terlihat tenang seperti biasa.
"Silakan duduk, Bu," ujarnya sambil mengarahkan pandangan ke tumpukan dokumen di mejanya.
Saya duduk dengan hati-hati. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku pelan.
Beliau tersenyum tipis sebelum menyerahkan sebuah dokumen kepada saya. "Ini surat izin pulang mendahului yang tadi Ibu ajukan. Sudah saya tanda tangani." katanya sambil menyerahkan dokumen tersebut.
Saya menerima surat itu dengan perasaan lega. Namun, sebelum saya sempat berdiri, beliau menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna putih. "Bu, ini saya titip untuk buwuh mantenan. Tolong disampaikan ke yang bersangkutan, ya," ujarnya.
"Oh, baik, Pak. InsyaAllah saya sampaikan," jawabku sambil menerima amplop tersebut. Dalam hati, saya sedikit lega. Ternyata tidak ada hal serius yang membuat saya dipanggil.
Setelah selesai berbicara dengan kepala sekolah, saya kembali ke ruang guru. Amplop putih itu masih saya pegang sambil tersenyum kecil. Ternyata, sebuah amplop menarik perhatian beberapa guru perempuan di ruangan itu.
"Eh, senyum-senyum sendiri nih, " goda Bu Rini, salah satu teman dekat saya.
"Saya lihat tadi Ibu dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ada apa, Bu? Jangan-jangan ada kabar gembira?" sambung Bu Heny sambil menatap amplop di tangan saya.
Saya hanya tertawa kecil. "Wah, nggak ada apa-apa kok. Cuma dapat amplop dari Pak Kepala Sekolah," jawabku sambil mengangkat amplop itu sedikit, membuat mereka semakin penasaran.
"Amplop dari Pak Kepala Sekolah? Wah, istimewa sekali! Jangan-jangan bonus?" canda Bu Endang.
Saya tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Iya nih, saya dapat amplop dari Pak Kepala Sekolah. Jangan iri, ya!" jawabku singkat, setengah menggoda mereka.
Mendengar jawaban itu, ruang guru mendadak riuh. Bu Yulis dan Bu Suryani langsung menggoda saya dengan berbagai spekulasi kocak.
"Jangan-jangan Ibu jadi wali kelas favorit, ya? Habisnya kok dapat amplop khusus dari beliau," ucap Bu Iip sambil terkekeh.
"Tapi jangan lupa, Bu. Kalau itu bonus, traktir kami makan-makan ya," tambah Bu Heny dengan nada bercanda.
Dalam hati, saya menahan tawa. Amplop itu sebenarnya bukan untuk saya. Beliau melainkan titip untuk buwuh mantenan. Namun, melihat reaksi teman-teman yang begitu seru, saya memutuskan untuk tidak langsung membocorkan kebenarannya.
Setelah suasana kembali tenang, saya akhirnya menjelaskan. "Amplop ini sebenarnya titipan dari Pak Kepala Sekolah untuk buwuh mantenan. Saya cuma diminta menyampaikan. Jadi, jangan salah sangka, ya," ujarku sambil tertawa.
Mendengar itu, teman-teman di ruang guru langsung tertawa terbahak-bahak. "Aduh, Bu. Ternyata amplopnya cuma titipan. Tapi tadi kami benar-benar penasaran, lho!" kata Bu Suryani sambil mengusap perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Ya sudah. Walaupun cuma titipan, tetap saja Ibu spesial. Belum tentu semua guru diminta tolong seperti itu," tambah Bu Widya.
Saya hanya mengangguk sambil tersenyum. "Iya, iya. Tetap saja, tugas seperti ini adalah amanah. Jangan sampai salah menyampaikan," jawabku dengan nada bercanda.
Meskipun sederhana, kali ini memberikan pelajaran berharga bagi saya. Dalam setiap amanah, sekecil apapun, selalu ada tanggung jawab. Â Amanah harus dijalankan dengan baik. Amplop kecil yang sempat mengundang kehebohan ternyata membawa kebahagiaan tersendiri bagi saya dan rekan-rekan di ruang guru.
Kisah ini akan selalu saya kenang sebagai momen lucu namun penuh makna. Kisah di tengah kesibukan sebagai seorang guru. Mungkin, inilah salah satu keindahan profesi guru setiap hari selalu ada cerita baru yang bisa dikenang.
Kedungtuban, 21 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H