FotoF
Foto suasana PSAS ( Sumber : Dokpri)
Karya: Gutamining Saida
Suasana ruang XII terasa sunyi, hanya sesekali terdengar bunyi gesekan pulpen di atas lembar jawaban. Sebagai pengawas, saya menjalankan tugas berkeliling untuk memastikan semuanya berjalan tertib. Pandangan saya terhenti pada seorang siswa laki-laki di barisanke dua. Kepalanya terletak di atas meja.
Rasa penasaran mendorong saya untuk mendekatinya. Saya melihat lembar jawabannya. Saya bolak balik LJK sudah selesai dikerjakan. Semua kolom terisi rapi. "Wah, dia cepat sekali menyelesaikan," pikir saya. Tidak ingin mengganggu, saya melanjutkan berkeliling. Lalu mengecek kartu nomor peserta di setiap meja. Namun, saat selesai keliling, anak itu masih saja tertidur. Dia tidak berubah posisi sama sekali.
Mulai khawatir, saya mencoba membangunkannya. Dengan hati-hati, saya menyenggol kakinya. Tidak ada respons. Saya menyenggol lagi, hingga tiga kali, tapi tetap tidak bergerak. Dalam hati, saya mulai bertanya-tanya, "Apa dia benar-benar tidur atau......?"
Tidak mau menyerah, saya mencoba cara lain. Saya menyentuh tangannya dan menggoyangkannya pelan-pelan. Kali ini, perlahan ia mulai mengangkat wajah. Matanya yang merah dan sembab terlihat jelas saat ia menguceknya dengan punggung tangan. Dia benar-benar tidur pulas!
Sambil setengah sadar, dia menatap saya dengan wajah bingung. Saya tersenyum kecil, lalu berkata pelan, "Kamu kok bisa tidur di sini? Semalam ngapa?"
Dia menjawab singkat dengan suara serak, "Saya tanggapan, Bu." Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi cukup untuk membuat saya tersenyum.
Wajah siswa itu masih setengah sadar saat saya bertanya lagi, mencoba menggali cerita di balik kantuknya. "Kamu tanggapan apa?" saya melanjutkan dengan nada penasaran.
Dia mengucek matanya sekali lagi, menatap saya dengan ekspresi polos, lalu menjawab, "Tanggapan hadroh, Bu."
"Oh, bagian apa kamu?" tanya saya lagi, tak bisa menahan rasa ingin tahu.
"Terbang, Bu," jawabnya singkat, tapi cukup membuat saya tersenyum.
"Ooooh," komentar saya spontan, sedikit memperpanjang nada seolah memberi penekanan. Siswa-siswa lain yang mendengar mulai tersenyum, tertarik pada percakapan kecil kami.
Rasa penasaran saya belum habis. "Dimana kamu tanggapan?" tanya saya lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai. Â
"Di orang punya hajat nikahan, Bu," jawabnya sambil mengangkat kepala sedikit lebih tegak, mungkin mulai sadar sepenuhnya.
"Oh, gitu. Dapat bayaran berapa sehari?" tanya saya lagi.
"Lima puluh ribu, Bu," jawabnya, kali ini lebih lancar.
Saya tersenyum lebar. "Cocok sekali dengan bagian musik hadrohmu, yaitu terbang. Seperti siang ini, kamu juga terbang..... ke alam mimpi!"
Kelas pun meledak dalam tawa. Suara cekikikan terdengar dari berbagai sudut ruangan, mencairkan suasana tegang ujian. Bahkan beberapa siswa yang tadinya serius mengerjakan lembar jawaban ikut tersenyum. Siswa yang tadi tertidur hanya bisa menggaruk-garuk kepala sambil ikut tersenyum malu.
Melihat situasi yang mulai santai, saya kembali mengingatkan siswa-siswa lain untuk tetap fokus pada ujian mereka. "Ayo, kembali kerjakan soal-soalnya. Jangan sampai waktu habis, ya!" ujar saya sambil melangkah menjauh dari siswa yang tadi tertidur. Tapi dalam hati, saya masih tersenyum .
Saat waktu ujian hampir habis, saya kembali berkeliling untuk memastikan semuanya sudah mengisi lembar jawaban dengan lengkap. Siswa yang tadi tertidur kini tampak segar, meski matanya masih sedikit merah. Ia tersenyum malu-malu ketika saya melewati mejanya.
Ketika waktu ujian akhirnya selesai, dan siswa-siswa mulai menyerahkan lembar jawaban, saya tersenyum puas. Meski ada kejadian unik di ruang ini, semuanya tetap berjalan lancar. Dan cerita tentang siswa yang "terbang" siang itu mungkin akan terus saya ingat, menjadi pengingat bahwa di balik setiap anak ada perjuangan dan cerita yang tak selalu terlihat.
Kedungtuban, 5 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H