Mohon tunggu...
Gutamining Saida
Gutamining Saida Mohon Tunggu... Guru - Guru SMPN 1 Kedungtuban Kab Blora

Jalan-jalan, membaca cerita, Seorang istri yang banyak mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Amplop Coklat yang Hilang

4 Desember 2024   17:12 Diperbarui: 4 Desember 2024   17:24 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Karya: Gutamining Saida

Suasana di ruang guru SMPN 1 Kedungtuban sedikit berbeda. Penilaian sumatif akhir semester siang ini, baru saja berakhir. Guru-guru yang bertugas mulai kembali ke ruang guru untuk istirahat. Ada yang sedang menyusun laporan, atau sekadar berbincang ringan. Namun, kedamaian itu seketika pecah oleh gerak-gerik salah satu guru, yang tampak sibuk dan gelisah.

Bu Mulyani adalah guru Pendidikan Agama Islam yang dikenal aktif dan penuh semangat. Siang itu, ia terlihat membolak balik, menghitung amplop coklat di ruang guru. Ia menghitung ulang jumlah amplop dengan ekspresi penuh kecemasan. Dari wajahnya yang penuh kekhawatiran, tampak jelas ada sesuatu yang tidak beres.

"Lho, kok kurang satu?" gumamnya, setengah berbicara kepada diri sendiri.

Ia mondar-mandir dari ruang guru ke ruang kurikulum dengan langkah tergesa-gesa. Ia kemudian kembali lagi ke ruang guru lagi. Ia berhenti di meja kerjanya, memeriksa tas serta setiap sudut meja dengan teliti. Namun, amplop yang dicarinya tetap tidak ditemukan.

"Eh, amplopnya isi apa sih, Bu Mul?" tanya bu Saida guru IPS.

"Lembar jawaban siswa, bu," jawab Bu Mul cepat. "Tadi saya sudah yakin semua amplopnya ada. Tapi sekarang kok kurang satu? Aduh, gimana ini..."

Pak Bambang terkekeh kecil. "Saya kira amplopnya berisi uang. Habis bu Mul panik banget begitu."

Mendengar percakapan ini, beberapa guru lain mulai tertarik dan ikut nimbrung. Sebagian merasa prihatin, sementara yang lain tak bisa menahan diri untuk berkomentar.

"Bu Mul, jangan terlalu panik. Coba diingat-ingat lagi, tadi taruh di mana?" kata Bu Yulis, guru seni budaya yang sedang menghitung uang iuran untuk kegiatan P5.

"Kalau bu Mul lupa-lupa begitu, biasanya bukan karena usia, tapi karena U... upyek! Hahaha!" sambungnya sambil tertawa lepas. Komentar Bu Yulis sontak membuat suasana menjadi riuh. Guru-guru lain yang mendengarnya ikut tertawa.

"Ya ampun, Bu Yulis, jangan bikin saya tambah stres!" kata Bu Mul, sambil mencoba tersenyum kecut. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.

Di tengah kegaduhan itu, hanya satu orang yang tetap tenang dan tak terganggu yaitu Bu Rini. Ia duduk di sebelah meja bu Yulis. Bu Rini, fokus menatap layar laptopnya. Jari-jarinya lincah mengetik sesuatu. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa ia peduli dengan keributan di sekitarnya. Bu Rini memang dikenal sebagai sosok yang pendiam, sangat disiplin dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

"Bu Rini, kok nggak komentar? Lagi sibuk banget ya?" celetuk bu Suryani, guru  IPS sambil mendekati mejanya. Bu Rini hanya mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. "Masih ada laporan yang harus selesai. Maaf ya, nggak bisa ikut heboh." Mendengar jawaban datar itu, bu Suryani hanya tersenyum kecil dan kembali ke tempatnya.

Sementara itu, Bu Mul terus mondar-mandir di ruang guru. Saking paniknya, ia bahkan tanpa sadar mengangkat sedikit bagian bawah bajunya. Entah untuk mengelap keringat atau sekadar gerakan refleks karena gelisah. Tentu saja, ini tidak luput dari perhatian rekan-rekannya.

"Lihat tuh, masih muda tapi udah pelupa. Jangan-jangan ini gara-gara faktor U," canda Bu Endang, guru Bahasa Inggris, sambil tertawa.

"Eh, jangan sembarangan! Kalau faktor U itu usia, Bu Mul masih jauh dari itu. Mungkin dia cuma lagi banyak pikiran," sahut Bu Iip.

"Kalau begitu, mungkin faktor U yang lain yaitu upyek! Hahaha!" kata Bu Yulis, mengulang candanya tadi. Kali ini, tawa guru-guru lain semakin kencang.

Sebelum teman guru beranjak membantu, Bu Mul tiba-tiba berseru. "Ketemu! Astaghfirullah, ternyata diatas buku!" katanya dengan nada lega.

Seketika suasana ruang guru dipenuhi gelak tawa. Semua orang merasa lega sekaligus geli melihat betapa paniknya Bu Mul beberapa menit yang lalu.

"Lain kali jangan sampai kejadian begini lagi ya, Bu Mul," kata bu Yulis. "Kalau amplop jawaban hilang beneran, bisa gawat!"

"Duh, iya bu. Peristiwa ini jadi pelajaran. Terima kasih ya, semuanya," ujar Bu Mul sambil tersenyum malu.

Meskipun masalahnya sudah selesai, suasana riuh di ruang guru terus berlanjut dengan gurauan dan cerita-cerita lain. Namun, satu orang tetap tidak terpengaruh oleh kegaduhan itu yaitu Bu Rini. Ia masih fokus pada laptopnya, menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikumpulkan siang itu.

Ketika suasana mulai tenang, Bu Yulis melirik ke arah Bu Rini dan bergumam pelan. "Kalau Bu Rini nggak lupa amplop atau tugas, itu bukan karena nggak pernah upyek. Tapi karena dia lebih serius daripada kita semua."

Komentar itu membuat beberapa guru yang mendengarnya mengangguk setuju. Memang, di balik keheningannya, Bu Rini adalah sosok yang menjadi panutan dalam hal profesionalisme.

Siang itu, ruang guru tidak hanya menjadi tempat bercengkerama.  Peristiwa itu memberikan pelajaran penting tentang kerja sama, humor, dan dedikasi. Sebuah kejadian sederhana seperti kehilangan amplop mampu membuat suasana ruang guru menjadi lebih hidup, penuh gelak tawa, sekaligus rasa saling mendukung.

Kedungtuban, 4 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun