Sebagian kita merasa yakin terhadap pendapat diri. Misal saat kita mendapat pekerjaan kantoran dengan gaji RP.10 juta perbulan, kita mengatakan bahwa semua itu karena kompetensi diri. Paling buruk kita berkata “emang nasib baik”. Begitulah, saat kita memperoleh berbagai keberuntungan. Entah bisa beli mobil, pergi wisata ke luar negeri, beli smartphone mahal, atau hal lain.
Seakan-akan kita melupakan doa. Apa untung dan apa pentingnya kita abaikan. Salah satunya karena dominasi fikiran secara lahir. Kita baru terdesak mengakui dan mengamalkan doa pada saat kepepet. Misal kehilangan pekerjaan, mobil, handphone, atau ada keluarga yang meninggal dunia dan lain sebagainya.
Itulah sifat lemah manusia. Cari enaknya gak ingin susahnya. Padahal disuruh berdoa terus-menerus sedang Tuhan sangat suka kalau dimintai oleh hamba-Nya. Doa menjadi interaksi intim antara hamba dengan Tuhannya. Semua agama selalu mengajarkan doa. Di dalam Islam sejak bangun tidur hingga mau tidur diajarkan doa demi doa.
Mengapa kita perlu doa? Sebab manusia secara mutlak tidak bisa hidup sendiri. Tidak memenuhi keperluannya sendiri. Manusia butuh tempat bergantung yaitu pada Tuhan yang berkuasa mengabulkan keinginan hamba-Nya. Dialah Allahu subhanahu wa ta’ala. Tuhan semesta alam mengatur dan menjamin semua urusan makhluk.
Karena itu jangan remehkan doa. Bahkan, untuk urusan sepele saja kita dianjurkan berdoa. APalagi untuk urusan besar menyangkut kehidupan dunia dan akhirat. Jangan meniru Qorun, orang terkaya di jaman Firaun yang menganggap diri memiliki harta melimpah karena kepandaian yang dimilikinya. Ia tidak menganggap semua itu dari Allah.
Berdoalah. Berdoalah. Kuasai doa-doa yang diajarkan Nabi kita. Sebab hidup ini tak akan lepas dari yang namanya masalah. Meskipun baik ataupun buruk itu datangnya dari Allah, tetapi kita sebagai hamba berhak meminta diberi kebaikan dunia akhirat. Doa yang dipanjatkan akan naik ke langit dan bertarung dengan takdir kita. Inilah misteri yang kita tidak tahu karena semua bersifat ghaib.
Tentang apa yang akan terjadi besok sungguh tak ada yang bisa meramal. Gempa di subang, malang tak satupun bisa memperkirakan. Demikian juga banjir bandang di Garut, erupsi sinabung dan lain sebagainya. Kejadian mengenaskan sebagai musibah silih berganti datang menghampiri kita.
Maka doa akan jadi senjata kita sebagai hamba yang sangat lemah, rapuh dan pasti punah dengan kematiannya. Kita bukan supermen yang bisa memprediksi apa yang terjadi, kalau bisa memprediksi belum tentu kita bisa mengantisipasi. Itulah kelemahan demi kelemahan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H