Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... Penulis, Pedagang, Trainer -

[1] Manajer Marketing di PT Sapphire Travel Umroh Surabaya shappiretravel.blogspot.co.id [2] Trainer di Katadaya Communication Consulting [3] Pembelajar Al Quran [4] Pengusaha mikro (tokopagi.com) Utk silaturahim silahkan SMS ke 6018 0822 3378

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sikap Boros Menurunkan Daya Saing?

24 Oktober 2016   12:20 Diperbarui: 24 Oktober 2016   16:04 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di sidoarjo, saya tinggal di perumahan dengan hunian sekitar 1800 rumah. Cukup luas karena mencakup 3 desa. Jumat sore kemarin (21/10) ada peristiwa menarik. Di pintu gerbang jalan perumahan ramai penuh orang. Selidik punya selidik mereka adalah pengantri di satu gerai fastfood internasional. Hari itu perdana pembukaan atau launching.

Sebelumnya di group WA warga beredar surat dari developer. Disebutkan jika pada hari itu akan ada launching gerai fastfood dan berpotensi macetkan jalan Pasalnya jumlah kupon yang sudah terbeli mencapai 2000 lembar. Tersiar kabar bahwa kupon seharga Rp.50ribuan tersebut akan ditukar dengan paket makanan berikut hadiah yaitu bantal.

2000 lembar kupon terjual berarti untuk 2000 orang. Ini sebuah tanda menarik bagaimanakah respon masyarakat kita terhadap gerai fastfood. Ternyata, sangat antusias. Dari pihak gerai sendiri tentu sudah melakukan survey mengapa di suatu tempat didirikan. Inilah yang perlu kita selidiki.

Kita sepakat harga makanan di gerai fastfood internasional jauh lebih mahal dibanding nasi padang apalagi warteg. Kenyatannya, baru dibuka saja sudah 2000 orang mengantre. Mungkin motif dapat hadiah bantal, tetapi setidaknya menjadi tanda bahwa masyarakat kita tipikal masyarakat konsumeris alias suka belanja.

Kita masih seperti orang gagap yang mudah tertipu oleh iklan. Anggap saja seperti pengalaman kita diajak makan di depot atau restoran. Alasannya diundang teman. Atau ada jamuan makan. Teman kita bilang "kan cuma sekali waktu, gak tiap hari kan?". Kita pun mengangguk tanda setuju. Pada saat lihat nota/bil tagihan kita kaget. Makanan kita jika dihitung satu porsi bisa 3 kali lipat harganya dgn yang biasa kita makan.

Jika alasan sekali sekali, kita ternyata mengulang lagi. Mengulang lagi. Akhirnya sudah biasa makan di restoran atau depot. Salahkah? no..ini bukan perkaran salah menyalahkan. Hanya saja kita perlu evaluasi diri.
 saya pernah kerja sekantor dengan orang2 jepang. Mereka engineer dgn gaji puluhan juta. Meski demikian, makan siang, sore dan malam mereka tetap bersahaja. Tak malu makan di warteg, tak malu makan di depot biasa. Koleksi baju, sepatu, celana juga relatif sederhana.

Kita hidup bukan cari pahitnya, tetapi juga tidak bisa seenaknya. Kita butuh pengendalian diri. Yang sederhana saja. Tak perlu berlebihan. Ingat urusan food, fun and fashion, yang saat ini sudah jadi trend tak perlu kita ikut-ikutan. Apalagi memaksakan diri sehingga rela hutang demi gengsi.

Sejak krisis ekonomi tahun 1996 negara kita semakin unik diteliti. Meroketnya nilai tukar dollar yang sampai sekarang masih bertengger diatas Rp.13.000 cukup jadi bukti bahwa Negara kita kian krisis. Pada saat yang sama perdagangan asing kian menjamur hingga ke pelosok pedesaan.

Dalam potret budaya, kita yang semula tidak tahu akhirnya diberi tahu. Iklan sebagai perantaranya. Awalnya terpaksa karena mungkin harus beli, misal gula, akhirnya biasa.  Maksudnya, dulu biasa ke pasar tradisional sekarang pindah ke minimarket. Tidak puas ke supermarket.

Karena tayangan iklan 24 jam, kita kian terpikat. Jika biasa makan nasi pecel bungkus, sekarang sudah mulai ingin makan pizza, fried chicken, sphageti dan lain sebagainya. Lidah yang biasa akrab dengan soto ayam lamongan, penyet lele, atau lontongbalap, sekarang akrab dengan makanan fastfood internasional.

Entah darimana kita tidak mau disalahkan. Merasa sudah begitu jamanya. Kita tak mau disebut mewah meski makan di gerai-gerai tersebut. Saat anak-anak merengek minta diajak ke gerai-gerai tersebut, kita pun rela merogoh kocek meski dengan alasan pengeluaran tak terduga. Akhirnya jadi kebiasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun