Mohon tunggu...
Gusty RestuPangesti
Gusty RestuPangesti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, saya Gusty Restu Pangesti. Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemiskinan Global, Analisis Kemiskinan di Sub Sahara Africa

4 Juni 2023   21:50 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:57 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: World Development Indicators-Bank Dunia, 2018. Grafik 1.1 Persentase Penduduk Miskin Di Ethiopia Tahun 1995-2015

Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang atau sekelompok dari sisi ekonomi kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan selama hidupnya. Berbagai penyebab kemiskinan yaitu terjadi karena sifat manusia yang tertentu yang tidak mau berusaha untuk memenuhi kehidupannya yang memang merupakan sebuah kesengajaan. 

Kemiskinan juga sampai saat ini masih sering terjadi dalam dunia hubungan internasional dan menjadi masalah klasik di semua negara. Kemiskinan global menjadi topik utama dan diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun internasional, walaupun masalah kemiskinan tersebut sudah ada sejak dulu namun sampai sekarang belum bisa untuk diselesaikan. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyak pembangunan yang terhambat karena meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya pada negara yang sudah berkembang.

Kemiskinan sering disangkutkan dengan dimensi ekonomi dan dimensi lainnya seperti sosial, budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan budi pekerti. Strategi untuk memberantas masalah kemiskinan memang tidak lepas dari strategi pembangunan yang dilakukan dalam setiap negara. Banyak para ilmuwan yang membuat perspektif tentang sulitnya dalam menanggulangi kemiskinan global. Beberapa pemikiran maupun konsep-konsep yang berkaitan tentang pembahasan kemiskinan yang sudah ditelusuri di berbagai negara berkembang juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan, contohnya Indonesia sebagai negara berkembang masih diselimuti oleh masalah kemiskinan dimana 14% rakyat Indonesia kurang lebih terdapat 240 juta jiwa saat ini masih dikategorikan sebagai rakyat miskin.

Dalam hubungan internasional banyak sekali dunia yang anarkis dimana masing-masing negara bersaing untuk meraih kepentingannya sendiri. Maka dari itu, sampai sekarang yang menjadi masalah paling sulit untuk diatasi adalah masalah kemiskinan, karena isu kemiskinan tidak berhubungan langsung dengan negara maju yang menyebabkan kemiskinan menjadi pusat perhatian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kurang dukungan. 

Setiap negara ditunjuk sebagai peran yang bertanggung jawab atas terjadinya kemiskinan rakyatnya, karena negara seharusnya mampu untuk membangun sebuah regulasi yang berkaitan dengan subsidi, kuota dan daya tahan terhadap pemanfaatan eksternal. Langkah-langkah yang dilakukan oleh negara-negara untuk mengatasi masalah kemiskinan yang melanda rakyatnya, pada umumnya dilakukan pembangunan yang dibantu oleh lembaga-lembaga internasional seperti United Nations Development Program. Berbagai program yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan bertujuan untuk diimplementasikan terutama dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pembatasan kelahiran dan peningkatan investasi asing.

Terdapat ilmuwan yang memiliki perspektif dalam mengatasi kemiskinan yaitu Amartya Kumar Sen. Menurut Sen, kemiskinan dan kelaparan tidak hanya diakibatkan oleh bencana alam tetapi juga terjadi karena kediktatoran dalam sistem politik suatu negara. Sen tidak hanya menekankan bahwa pembangunan sebatas pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengutamakan pembangunan sebagai penciptaan ruang kebebasan yang lebih luas, dalam arti lain bahwa pembangunan tersebut dapat dinikmati oleh semua rakyat. Sehubungan dengan pembangunan sebagai perluasan kebebasan adapun peran konstitutif dalam pembangunan mengacu pada pentingnya kebebasan sesungguhnya dalam meningkatkan kehidupan manusia. 

Pada tahun 1958, The United Nations Special Fund dibentuk oleh PBB yang bertujuan untuk memberi bantuan berupa modal bagi negara-negara yang sedang berkembang. Tujuan utamanya adalah untuk mengintegrasikan bantuan sumber dana dan sumber daya, menghubungkan negara-negara yang sedang berkembang dengan negara donor, memberikan advokasi dan rekomendasi kepada negara-negara terkait dengan pembangunan, terutama melalui pemberantasan kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Salah satu contoh kemiskinan global yaitu kemiskinan di Sub Sahara : pertumbuhan ekonomi di Ethiopia. Ethiopia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1993, yaitu setelah penggulingannya Derg rezim komunis pada pada tahun 1991. Pada masa itu kerangka strategi pembangunan Ethiopia ditetapkan tentang Pembangunan Pertanian yang Dipimpin Industrialisasi (ADLI). 

ADLI sendiri telah menjadi arah pembangunan pemerintah Ethiopia sejak periode 1980-an. Hal ini tidak mengherankan mengingat saat itu sektor pertanian menguasai hingga 80% penyerapan tenaga kerja di Ethiopia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Ethiopia untuk meningkatkan produktivitas Sektor pertanian adalah melalui kegiatan intensifikasi, antara lain melalui: Penyediaan pupuk, meningkatkan kualitas bibit tanaman dan kegiatan penyuluhan, terutama untuk kelompok tani kecil. Namun, berbagai peristiwa besar mulai dari bencana alam, kekeringan berkepanjangan hingga perang dengan Eritrea menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi Ethiopia.

        

Pertumbuhan ekonomi Ethiopia Telah berakselerasi lagi sejak tahun 2004. Pertumbuhan PDB rata-rata Ethiopia selama tahun 2004 hingga 2017 mencapai 10,62%. Bahkan, dengan mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk Ethiopia yang mencapai 2,4% per tahun, lalu Nilai pertumbuhan ekonomi masih di atas 8%. Angka tersebut merupakan sebuah prestasi besar bagi bangsa ini, bahkan pencapaiannya melebihi rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi di masa Kaisar Haile Selassie I (1951-1973: 1,5%), pemerintahan komunis Derg (1974-1991: -1%) dan masa perubahan haluan politik dan transisi ke ekonomi pasar (1992-2003: 3,73%)

Indikator lain yang dapat dilihat untuk menilai dampak di balik pesatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Ethiopia adalah jumlah orang miskin. Berdasarkan oleh kriteria kemiskinan dari Bank Dunia, 26, 7% dari populasi Ethiopia hidup dengan penghasilan di bawah USD 1.9 (Paritas Daya Beli, PPP) per hari. Dengan kata lain, hampir tentang 26 juta orang dari total 99,8 juta orang. penduduk Ethiopia di tahun 2015 tergolong sebagai miskin. Angka tersebut mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan tahun 1995 yang sempat mencapai hingga 67,1 %.

Sektor pertanian masih menjadi penggerak utama ekonomi di Ethiopia. Hingga tahun 2013, sektor pertanian merupakan kontributor terbesar terhadap PDB Ethiopia, mencapai 41%. Jika dilihat dalam Grafik 1.2, angka ini terus mengalami tren penurunan dari puncaknya pada tahun 1992 yang mencapai 63% dari ekonomi Ethiopia. Di sisi lain, perkembangan infrastruktur yang pesat di Ethiopia telah berkontribusi pada peningkatan kontribusi sektor industri (termasuk konstruksi) yang hingga tahun 2017 mencapai 23% dari PDB. Sektor baru yang kini menjadi tulang punggung ekonomi Ethiopia adalah sektor jasa. Sektor jasa melampaui sektor pertanian sebagai yang terbesar dalam pembentukan PDB Ethiopia sejak tahun 2014. Hingga tahun 2017, nilai sektor jasa adalah 37% dari PDB. Dominasi sektor pertanian di Ethiopia juga terlihat dari komponen pertanian yang besar dalam ekspor negara tersebut

Penduduk Ethiopia juga dikenal sebagai penikmat kopi, sehingga tidak mengherankan jika 50% produksi kopi mereka dikonsumsi di dalam negeri. Produk pertanian lain yang memiliki bagian yang cukup besar dalam ekspor Ethiopia adalah bunga potong. Menurut data OEC, pada tahun 2016, bunga potong berkontribusi sebesar 173 juta dolar AS atau 5,5% dari total ekspor Ethiopia. Jumlah ini terus meningkat, dan pada tahun 2014, terdapat 120 perusahaan bunga, dan luas penanaman meningkat pesat dari 40 hektar pada tahun 2002 menjadi 1.618 hektar pada tahun 2014 (Nour, 2012). Pada tahun 2016, jumlah perusahaan berkurang menjadi 84, dengan komposisi 52 perusahaan asing, 26 perusahaan domestik, dan 6 perusahaan patungan. Walaupun jumlahnya menurun, akan tetapi luas wilayah yang digunakan meningkat dari 1.618 ha menjadi 2.000 ha pada tahun 2016. Kondisi ini memperlihatkan ekspansi industri bunga berskala besar yang luar biasa di Ethiopia yang telah membuatnya menjadi pengekspor bunga potong kedua setelah Kenya dan menjadi supplier bunga urutan keempat di pasar bunga internasional.

Pendekatan teori yang dipakai dalam pembahasan ini adalah menggunakan teori realisme. Karena, teori realisme merupakan salah satu teori yang berpengaruh dalam Hubungan Internasional karena pada teori ini menempatkan konsep power sebagai pusat dari semua perilaku bangsa-bangsa. Teori ini berasumsi bahwa negara-negara bertindak untuk memaksimalkan power mereka, dan untuk mencapai tujuan negara itu sendiri dengan hasil yang lebih baik. Aktor utama dalam teori ini adalah negara itu sendiri dimana mereka menentukan diri mereka sendiri dengan segala resiko yang akan terjadi dalam dunia internasional.

Kesimpulannya, kemiskinan sampai saat ini masih sering terjadi dalam dunia hubungan internasional dan menjadi masalah klasik di semua negara. Kemiskinan global menjadi topik utama dan diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun internasional, walaupun masalah kemiskinan tersebut sudah ada sejak dulu namun sampai sekarang belum bisa untuk diselesaikan. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyak pembangunan yang terhambat karena meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya pada negara yang sudah berkembang. 

Dalam hubungan internasional banyak sekali dunia yang anarkis dimana masing-masing negara bersaing untuk meraih kepentingannya sendiri. Maka dari itu, sampai sekarang yang menjadi masalah paling sulit untuk diatasi adalah masalah kemiskinan, karena isu kemiskinan tidak berhubungan langsung dengan negara maju yang menyebabkan kemiskinan menjadi pusat perhatian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kurang dukungan. Salah satu contoh kemiskinan global yaitu kemiskinan di Sub Sahara: pertumbuhan ekonomi di Ethiopia. Ethiopia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1993, yaitu setelah penggulingannya Derg rezim komunis pada pada tahun 1991. Pendekatan teori yang dipakai dalam pembahasan ini adalah menggunakan teori realisme. Karena, teori realisme merupakan salah satu teori yang berpengaruh dalam Hubungan Internasional karena pada teori ini menempatkan konsep power sebagai pusat dari semua perilaku bangsa-bangsa.

Penulis: Fanny Deo; Gusty Restu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun