Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil di Papua, dapat diutarakan dalam beberapa catatan kasus yang terjadi dan dianggap “berat” di Provinsi Papua dan Papua Barat yaitu: (1). Kasus Biak Berdarah, 6 Juli 1999, (2). Kasus Wasior Berdarah, Juni 2001. (3). Kasus Wamena Berdarah, April 2003[2], (4). Kerusuhan Universitas Cenderawasih, di Jayapura 16 Maret 2006, (5). Kasus Paniai Berdarah, di Enarotali, 8 Desember 2014, (6). Kasus Deiyai pada 1 Agustus 2017, (7). Kasus Nduga, 2 Desember 2018.
Saya melihat bahwa problem ini masih terus terjadi dan bahkan semakin masif sampai sekarang. Sebagaimana dilansir oleh Peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Arif Nur Fikri yang melaporkan bahwa catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua sepanjang tahun 2020 (Januari-November) mencapai 40 kasus baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat.
[3] Salah satu dari 40 kasus selama tahun 2020 itu juga melibatkan saudara saya Oktovianus Betera Warip (18 tahun) yang dipukul dan dianiaya oleh empat anggota Satgas Pamtas Yonif 516/Caraka Yudha, hingga meninggal di desa Asiki, Kabupaten Boven Digoel, pada tanggal 24 Juli 2020.[4]
Atas berbagai pelanggaran tersebut, para peneliti Kontras menemukan bahwa kasus-kasus yang terjadi lebih didominasi oleh kasus kekerasan berupa penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat militer terhadap warga sipil. Kontras mendokumentasikan bahwa dari 40 kasus tersebut setidaknya mengakibatkan 276 orang menjadi korban baik ditangkap, luka-luka maupun meninggal dunia.
“Rata-rata korbannya adalah warga sipil. Dan ini terus terjadi secara berulang setiap tahunnya”, ucap Arif. Oleh karena itu, ia menilai bahwa penanganan kekerasan di tanah Papua dengan melibatkan militerisme sangatlah tidak efektif. Pelanggaran pun terus terjadi sehingga perlu diadakan evaluasi kembali oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penanganan kasus-kasus ini. Sehubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, Jubi.co.id.,
Portal Berita Tanah Papua menegaskan bahwa sebagian besar kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua tak pernah tuntas diselesaikan. Bahkan ketika dibawa pada level Kejaksaan Agung terkesan dibiarkan dengan alasan kurang adanya bukti lapangan yang kuat.
Padahal banyak saksi yang masih ingat betul peristiwa tersebut dan terkadang suara korban tak didengar.[5] Media-media informasi di tanah Papua menunjukkan bahwa masih ada banyak kasus pelanggaran HAM yang perlu diselesaikan dengan solusi yang tepat tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang terkait, dalam hal ini para warga sipil.
Etika Komunikasi Løgstrup
Menurut Løgstrup, kehidupan adalah komunikasi. Apabila manusia tidak lagi berkomunikasi maka dapat dipastikan bahwa manusia tersebut sedang berada dalam proses menuju pada dunia kematian. Dengan kata lain, Løgstrup hendak menyatakan bahwa komunikasi ialah tanda akan adanya kehidupan.
Di dalam komunikasi sebagai kehidupan itu, Løgstrup melihat lebih mendalam dimana setiap individu bermakna pada dirinya (Per Se) dan memiliki kualitas fundamental yaitu tanggungjawab. Tanggungjawab dipahami sebagai hidup bagi orang lain. Dalam konteks ini perlu dibedakan arti “hidup bagi orang lain” dan “hidup dengan orang lain”.
Hidup dengan orang lain merupakan fakta eksistensial, dimana tak seorang pun dapat hidup seorang diri di tengah dunia karena sejak lahir ia sudah hidup berdampingan dengan orang lain baik di dalam keluarga maupun komunitas tertentu. Hal ini persis seperti yg dijelaskan oleh Heidegger (filsfuf Jerman) bahwa manusia adalah dasein, artinya manusia adalah “yang ada di sana” “yg terlempar ke dalam dunia”.