Mohon tunggu...
Qorry Ein Wawa
Qorry Ein Wawa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Aku? Aku hanyalah pemudi yang berusaha untuk menjadi lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Payung Pelangi

25 Desember 2023   19:32 Diperbarui: 25 Desember 2023   19:43 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengangkat tanganku, mencoba merasakan sensasi titik air hujan.

Akhirnya, hujan yang membuatku tidak bisa pulang telah reda setelah sekian lama. Plastik Cilok yang tadi ku pesan sudah habis tanpa sisa. Tidak ada bekas bahkan untuk beberapa tetes bumbu sambal-kecap.

"Terima kasih ya Mas." Ucapku. "Diandra Pulang dulu, sudah ditunggu mama."

"Nggih Neng, kapan-kapan datang lagi ya!" Ucap abang pedagang kaki empat favoritku, Mas Dara.

Aku melambaikan tangan, menatap wajah Mas Dara yang ketampanannya tidak bisa dilukiskan. Tersenyum, Ia balas melambaikan tangan, mulai membereskan gerobak putihnya. Payung warna-warni, yang biasanya kusebut payung pelangi, sudah tertata rapi di pinggir gerobak. Basah kuyup, namun tetap mencolok. Sepertinya, aku memanglah pelanggan terakhirnya hari ini. 

Semuanya berawal sejak musim hujan tahun ini. Aku adalah murid kelas 7, yang jarang sekali ingat untuk membawa payung. Hujan turun begitu deras saat itu, dan perutku sudah mengeluh ingin makan. Apa boleh buat? Aku merogoh sakuku, mencari sisa uang jajan hari ini. 

Ketemu. Memang hanya 5.000, tapi itu sudah cukup untuk mengganjal perutku. Aku memutuskan untuk membeli cilok. Dan beruntungnya, tepat di depan pagar sekolah ada pedagang cilok baru, yang yampangnya cukup menawan. Aku berlari kecil, menghindari genangan air, hingga sampai di depan toko cilok tersebut. 

Hari itu adalah hari pertama aku mengenal Mas Dara. Orangnya ramah, rendah hati, dan, apalagi? Tampan. Kejutannya, umurnya tidak jauh berbeda denganku. Hanya berjarak 1-2 tahun. 

Aku terkesan. Muncul di pikiranku, kenapa anak semuda ini sudah bekerja, menjual cilok? Apa itu masalah keluarga? Masalah ekonomi? Atau itu keinginannya sendiri? Entahlah. Tidak perlu ikut campur, pikirku kala itu.

Semenjak hari itu, setiap kali hujan turun, aku akan membeli cilok super sedap yang dijual oleh Mas Dara. Kami menjadi dekat.

***

Aku berteduh di sini lagi. Di bawah Payung Pelangi, entah sudah yang ke berapa kalinya. Mas Dara di sebelahku sedang menuangkan saos dan kecap, kemudian menyerahkan cilok enak itu untukku. Aku tersenyum, berterima kasih.

"Setial kali hujan turun, Neng selalu datang kesini, ya?"

"Iya, Mas. Cilok jualan Mas enak. Tiada tandingannya." Jawabanku membuat Mas Dara tersenyum cerah.

"Jadi, besok-besok Neng juga bakal ke sini?"

"Tentu saja, pakai tanya." Aku menjawabnya dengan candaan. Hanya saja, tawa bukanlah jawaban yang di berikan Mas Dara. Ia hanya tersenyum. Tidak berbicara lebih lanjut.

 Payung pelangi sudah tertata di samping gerobak. Tentu saja, karena hujan sudah reda, aku pergi menuju rumah. Tanpa tahu apa yang bisa saja terjadi esok hari.

***

Hujan turun lagi keesokan harinya. Seperti biasa, uang yang sengaja aku sisihkan akan kubelanjakan di toko Mas Dara.

Aku berlari kecil, menghindari genangan air dan menuju depan gerbang sekolah. Di sana, gerobak putih dengan payung pelangi sudah menungguku untuk datang. Seperti biasanya.

Tapi, yang menungguku di sana bukanlah Mas Dara. Itu orang lain, dengan kumis yang sama sekali bukanlah ciri khas Mas Dara.

"Permisi, Pak. Bapak kenal Mas Dara?"

"Mas Dara siapa ya Nak?"

"Yang sebelumnya jualan di sini. Wajahnya tampan, jualan cilok dia Pak."

"Ah, Darana. Dia..."

***

Aku berteduh di bawah payung pelangi. Tapi, ini adalah payung pelangi yang berbeda dari biasanya. Payung pelangi ini sudah bukan milik Mas Dara lagi. Ini milik Pak Nanang, pedagang Maklor yang aku temui hari itu. Katanya, Mas Dara sudah memulai bisnis baru di luar kota sana. Cilok buatannya sudah terkenal, bahkan sampai masuk acara tv kuliner. Memang hebat, Mas Dara itu. Aku harus senang akan keberhasilannya.

Di bawah payung pelangi itu, aku melahap cilok yang masih hangat-hangatnya. Mungkin... mungkin, jika aku selalu mananti di sini, Mas Dara akan kembali? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun