Pada jaman saat ini, teknologi telah bertransformasi menjadi elemen yang telah menyatu dalam kehidupan kita. Walaupun teknologi memberikan kemudahan yang besar bagi kehidupan sehari hari, ada banyak tantangan yang harus dievaluasi. Terutama pada sektor ketahanan pangan dan energi. Kebutuhan atas teknologi ini semakin besar akibat pertumbuhan populasi yang pesat serta lahan pertanian yang berkurang seiring waktu.
Penggunaan internet di Indonesia telah meningkat beberapa tahun terakhir. Dari data yang diperoleh, diketahui akses internet mengalami peningkatan yang tajam dari 32,43% pengguna pada 2017 menjadi 53,73% pada tahun 2020[1]. Perningkatan ini menunjukkan minat Masyarakat yang tinggi terhadap teknologi digital. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai katalis untuk perkembangan sektor keberlanjutan pangan dan energi. Teknologi digital dapat dimanfaatkan para petani untuk mengakses layanan online seperti e-commerce, platform konsultan, dan solusi mekanisasi yang dapat membantu mereka untuk menjalankan usaha. Artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) Â dapat menjadi jawaban yang tepat dari permasalahan dalam produktivitas pangan dan efisiensi energi. Inovasi serta penelitian dapat membantu mewujudkan keberlanjutan pangan dan efisiensi energi.
Akan tetapi, penting untuk mengingat bahwa meningkatnya perkembangan teknologi menciptakan tantangan baru. contohnya, akses yang sulit di daerah yang sulit dijangkau memperlambat persebaran teknologi secara merata. Pengeluaran yang tinggi untuk mengimplementasi teknologi di wilayah-wilayah tertentu membuat masyarakat di daerah terpencil kesulitan untuk menggunakan inovasi yang ada. Sehingga investasi dalam infrastruktur digital yang lebih merata dan terjangkau sangat penting untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat merasakan efek dari kemajuan teknologi, baik yang tinggal di perkotaan maupun di daerah terpencil[2].
Tantangan ini dapat mengganggu keberlangsungan pangan nasional. Mengingat Indonesia berpopulasi 270 juta jiwa dan terus berkembang setiap tahunnya dengan Tingkat 1,25%. Kebutuhan akan pangan akan semakin sulit dengan berkurangnya lahan pertanian dengan Tingkat mencapai 12,9% per tahun. Hal ini diperparah dengan data bahwa 23,24 juta penduduk Indonesia mengalami kekurangan pangan pada tahun 2020, angka ini bertambah 1,5 juta jiwa dibandingkan tahun 2017[2]. Masalah ini diperburuk dengan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang amat menganggu industri pangan di Indonesia.
Smart agroforestry adalah salah satu Solusi untuk tantangan ini. Dengan memadukan pengelolaan lahan dan teknologi terkini seperti AI maupun Internet of Things(IOT), keseimbangan lingkungan dapat dijaga sehingga lahan untuk pangan tidak tergerus oleh kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Dengan AI dan IOT, penggunaan air dan energi dapat dipantau serta dikelola secara otomatis, Sensor pada IOT dapat mendeteksi kelembaban tanah  untuk pertanian, sementara AI membantu untuk memeriksa kualitas air yang digunakan dan memberikan prakiraan cuaca agar petani dapat mengantisipasi perubahan iklim yang tiba tiba. Untuk mewujudkan Solusi ini, pemerintah harus berkolaborasi dengan kementrian dan pemerintah daerah dalam menetapkan regulasi yang menguntungkan bagi seluruh pihak yang terkait.
Salah satu contoh teknologi yang sudah diterapkan di Indonesia adalah Integrated Cultivation Calendar Information System (ICCIS) yang dikembangkan ileh kementrian pertanian. Teknologi berbasis web ini memberikan berbagai macam informasi kepada petani untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian. Informasi yang dimuat dalam web ICCS antara lain estimasi waktu yang tepat untuk menanam komoditas tertentu, daerah rawan bencana, dan lain lain. Teknologi ini juga memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan machine learning untuk memetakan lahan pertanian dengan akurasi yang tinggi, sehingga membantu petani untuk mengoptimalisasikan hasil panen mereka. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia.[3]
Tantangan lain yang perlu dihadapi oleh sektor pertanian adalah fakta bahwa sektor ini berefek sangat besar terhadap perubahan iklim. Menurut laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO), sektor pertanian menggunakan 30% energi global dan menghasilkan 24% emisi gas rumah kaca secara global. Pada tahun 2050, diperkirakan populasi dunia mencapai 9 milliar jiwa, jumlah tersebut akan mengakibatkan lonjakan yang lebih tinggi lagi terhadap penggunaan energi dan produksi gas rumah kaca akibat dari permintaan pangan yang meningkat. Oleh karena itu, teknologi agrivoltaik menjadi masa depan sektor ini. Dengan memanfaatkan panel fotovoltaik yang terpasang pada lahan pertanian, penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca dapat ditekan.[4]
Pengeringan biomassa dan pompa air tenaga surya juga dapat menjawab permasalahan energi pada sektor pangan. Pengeringan biomassa menggunakan energi ramah lingkungan seperti sinar matahari dapat mengurangi kadar air dalam bahan pangan dari 20,90 % menjadi 13,30% dengan efisiensi biomassa sebesar 47,77%. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penyimpanan bahan panagan agar tahan lama serta mempermudah distribusi bahan pangan. Sedangkan pompa air tenaga surya membantu system irigasi pada daerah Dimana air sulit untuk ditemukan. Pompa ini terbukti memiliki efisiensi hingga 48,97% sehingga menunjukkan kemampuan energi surya untuk menggantikan bahan bakar fosil. Dengan kedua teknologi hijau ini, emisi gas rumah kaca pada sektor pangan dapat berkurang secara siginifikan serta dapat menambah Tingkat efisiensi penggunaan energi, terutama mengurangi penggunaan energi yang menghasilkan gas rumah kaca[4].
Untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi lahan, salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah aplikasi berbasis teknologi sistem perizinan lahan yang transparan. Aplikasi ini dapat memantau dan mengelola perizinan lahan yang membantu keberlanjutan pangan. Selain itu, aplikasi ini dapat mencgah penggunaan lahan illegal yang mengeksploitasi sumber daya alam. Solusi ini dapat membantu menignkatkan efisiensi energi dengan melindungi lingkungan dari penggunaan sumber daya alam yang berlebihan serta menjaga keberlanjutan pangan dengan melindungi lahan agar tidak mengalami kerusakan.[5]
Maka dari itu, teknologi dapat dipandang sebagai mitra dalam mencapai keberlanjutan pangan dan efisiensi energi. Dibantu dengan sinergi kebijakan antar sektor, inovasi teknologi, serta partisipasi masyarakat. Indonesia dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.
Referensi