Sejak saat itu, hubunganku dengan Nara mulai jauh. Chattingan saja tidak. Benar-
benar jauh. Hingga suatu sore sepulang sekolah, Nara mengajakku bertemu di sebuah warung
dekat sekolah.
“Gimana, Ra?” tanyaku.
Nara tidak mengucapkan sepatah kata pun.Sampai pada akhirnya dia mengatakan
bahwa dia ingin sembuh dari traumanya.Ia bercerita panjang lebar sambil sesekali menghapus
air matanya. Ya, seperti biasa, aku hanya bisa mendengarkan.
“Aku pengin ke psikolog,” katanya tiba-tiba.
Sore itu juga, aku mengajaknya ke psikolog kenalanku. Bu Nana namanya.
Sesampainya di rumah sang psikolog, Nara langsung diajak masuk ke sebuah ruangan
untuk wawanhati berdua. Aku diminta untuk tetap di luar. Satu jam berlalu. Dua jam berlalu.
Akhirnya mereka berdua keluar juga. Tampak ekspresi Nara berubah sekali.Dari yang
sebelumnya murung, setelah wawanhati, tampak sangat ceria. Entah apa yang dikatakan Bu
Nana kepadanya di dalam.
Setelah itu, aku mengucapkan terima kasih pada Bu Nana dan mengajak Nara pulang.
Sepanjang perjalanan, Nara tampak sangat bersukacita. Ia tidak lagi memiliki trauma terhadap laki-laki, sebaliknya, ia ingin segera memiliki pacar.
***
Keesokan harinya, ketika aku sudah melihat bahwa ini adalah aura positif dari Nara,
aku mengajaknya bertemu di depan perpustakaan sekolah, bermaksud untuk nembak. Seperti
biasa, Nara datang dengan es krim di genggamannya dan rambut kuncir kuda. Raut mukanya
tampak jauh lebih ceria daripada biasanya. Entah benar atau tidak, namun aku merasa
demikian. Aku menyambutnya dengan sapaan yang sama, “Hai, Ra.”
Nara duduk di sampingku. Tidak sempat aku mengatakan sepatah kata pun, Nara
memulai,
“Aku jadian sama Kobe.” Kobe adalah teman sekelasnya. Dia adalah anak basket di
sekolah kami yang punya segudang prestasi.
Mendengar hal itu, hatiku langsung hancur.
Nara melanjutkan, “Makasih, ya, karena kamu udah bantuin aku ngilangin traumaku.”
Nara begitu jaya menceritakan keberhasilannya. Juga Kobe, ia ceritakan dengan
begitu bersemangat. Selagi Nara bercerita, aku hanya bisa mendengarkan, namun kali ini
dengan hai yang sungguh terluka. Aku tidak berani menceritakan apa yang kurasakan
sebenarnya dan mungkin, sampai saat ini, Nara tidak tahu apa yang kurasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H