Mohon tunggu...
Gusti Kresna Wisnusiwi
Gusti Kresna Wisnusiwi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - ...still trying to find God in all things.

a 'canis'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serupa Tisu

4 April 2022   11:48 Diperbarui: 4 April 2022   12:04 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saat itu, hubunganku dengan Nara mulai jauh. Chattingan saja tidak. Benar-
benar jauh. Hingga suatu sore sepulang sekolah, Nara mengajakku bertemu di sebuah warung
dekat sekolah.
“Gimana, Ra?” tanyaku.

Nara tidak mengucapkan sepatah kata pun.Sampai pada akhirnya dia mengatakan
bahwa dia ingin sembuh dari traumanya.Ia bercerita panjang lebar sambil sesekali menghapus
air matanya. Ya, seperti biasa, aku hanya bisa mendengarkan.
“Aku pengin ke psikolog,” katanya tiba-tiba.
Sore itu juga, aku mengajaknya ke psikolog kenalanku. Bu Nana namanya.
Sesampainya di rumah sang psikolog, Nara langsung diajak masuk ke sebuah ruangan
untuk wawanhati berdua. Aku diminta untuk tetap di luar. Satu jam berlalu. Dua jam berlalu.
Akhirnya mereka berdua keluar juga. Tampak ekspresi Nara berubah sekali.Dari yang
sebelumnya murung, setelah wawanhati, tampak sangat ceria. Entah apa yang dikatakan Bu
Nana kepadanya di dalam.
Setelah itu, aku mengucapkan terima kasih pada Bu Nana dan mengajak Nara pulang.
Sepanjang perjalanan, Nara tampak sangat bersukacita. Ia tidak lagi memiliki trauma terhadap laki-laki, sebaliknya, ia ingin segera memiliki pacar.

***

Keesokan harinya, ketika aku sudah melihat bahwa ini adalah aura positif dari Nara,
aku mengajaknya bertemu di depan perpustakaan sekolah, bermaksud untuk nembak. Seperti
biasa, Nara datang dengan es krim di genggamannya dan rambut kuncir kuda. Raut mukanya
tampak jauh lebih ceria daripada biasanya. Entah benar atau tidak, namun aku merasa
demikian. Aku menyambutnya dengan sapaan yang sama, “Hai, Ra.”
Nara duduk di sampingku. Tidak sempat aku mengatakan sepatah kata pun, Nara
memulai,
“Aku jadian sama Kobe.” Kobe adalah teman sekelasnya. Dia adalah anak basket di
sekolah kami yang punya segudang prestasi.
Mendengar hal itu, hatiku langsung hancur.
Nara melanjutkan, “Makasih, ya, karena kamu udah bantuin aku ngilangin traumaku.”
Nara begitu jaya menceritakan keberhasilannya. Juga Kobe, ia ceritakan dengan
begitu bersemangat. Selagi Nara bercerita, aku hanya bisa mendengarkan, namun kali ini
dengan hai yang sungguh terluka. Aku tidak berani menceritakan apa yang kurasakan
sebenarnya dan mungkin, sampai saat ini, Nara tidak tahu apa yang kurasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun