Mohon tunggu...
Gustika Jusuf-Hatta
Gustika Jusuf-Hatta Mohon Tunggu... Mahasiswi -

22 tahun. Mahasiswi S1 jurusan Studi Perang di King's College London, Inggris. Tertarik pada isu gender dan peran wanita dalam perang, juga hukum perlindungan seni budaya dalam konflik bersenjata.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menjadi Duta Besar di Negara Kecil

31 Juli 2016   11:44 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 38005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele dan nyaris tidak terdengar di telinga kita seperti misalnya upaya mengajari penduduk negara kecil ini cara memanjat pohon kelapa (ya, betul, ternyata mereka tidak tahu caranya), disambut dengan penuh gembira oleh rakyat Fiji, sehingga Indonesia selalu dipandang dengan penuh hormat. Ditambah lagi, sudah beberapa tahun silam, Kepolisian Fiji memilih menggunakan rompi polisi buatan Indonesia dibanding buatan negara lain termasuk Australia, dikarenakan kualitasnya yang dipercaya dan harganya yang terjangkau.

Sebelumnya pada tahun 2014, Indonesia juga menjadi 1 dari 4 negara yang mengulurkan tangan kepada Republik Kepulauan Fiji dalam membantu proses demokratisasi, yaitu dengan menjadi penasehat dari negara tersebut untuk kelancaran dan transparansi pelaksanaan pemilu pertama dalam sejarahnya setelah terjadinya kudeta pada tahun 2006. 

Tentunya, dibutuhkan seorang duta besar untuk menjembatani dan memperbarui jalinan komunikasi dan kerjasama yang baik antara dua negara yang lebih dari sekedar di atas kertas saja. Tanpa kreatifitas seorang duta besar yang memiliki niat bekerja dalam memimpin perwakilan, Indonesia tidak bisa melangkah maju sebagai negara yang berpengaruh.

Hasilnya, saat ini kehadiran Indonesia di Fiji bisa dibilang lebih unggul dibandingkan Australia dan Selandia Baru. Selain itu, atas usaha dan perjuangan keras para diplomat di negara kecil ini, kehadiran grup separatis Organisasi Papua Merdeka juga menjadi teredam. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi bahwa negara besar seperti Australia dan Selandia Baru jadi agak merasa terintimidasi dengan kekuatan Indonesia di Pasifik, sehingga selain menjadi perbincangan antara para diplomat asing di kawasan Pasifik, juga dibahas dalam jurnal akademik (lihat tautan ini).

Duta besar bukan sekedar hadiah semata yang diberikan kepada seorang mantan pejabat negara yang sudah tidak lagi memiliki peran dalam struktur pemerintahan agar mereka bisa mendapatkan pengalaman bermukim di luar negeri. Duta besar adalah pejabat negara yang diamanatkan langsung oleh presiden untuk membawa misi Indonesia ke luar negeri, di mana ada obyektif tertentu yang harus dicapai sesuai target, di mana taruhannya adalah kehormatan dan martabat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh. 

Seorang duta besar baru akan mewariskan 'tongkat estafet' dari perjuangan duta besar yang sebelumnya, di mana harus dikembangkan terus sebelum nantinya diteruskan lagi kepada duta besar yang berikutnya. Indonesia tidak akan membuka perwakilan di negara besar maupun kecil jika tidak memiliki sebuah misi.

Pernyataan dari seorang Guru Besar seperti Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi yang secara keliru menggampangkan tugas duta besar, menandakan bahwa ia sama sekali belum siap mengemban amanat dan tanggung jawab dari tugas seorang duta besar. Secara pribadi, saya pun jadi mempertanyakan etika kerja dan integritas yang ia miliki. 

Seorang duta besar yang berkomitmen penuh tidak akan mungkin memiliki waktu mengajar, melainkan hanya sesekali menulis artikel-artikel pendek dalam jurnal atau media. Sesekali, seorang duta besar dapat hadir sebagai narasumber di universitas dalam acara-acara tertentu, namun selaku duta besar, opini yang diberikan tidak boleh mewakili dirinya sendiri, melainkan mewakili sikap yang dimiliki Indonesia dalam hal tersebut.

Duta besar tidak bisa disamakan seperti partai politik di mana salah satu dari banyak fungsinya adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi ambisi segelintir orang. Intinya, dunia diplomasi jauh berbeda dari ekspektasi kebanyakan orang yang menurutnya seperti apa yang terjadi pada serial TV Gossip Girl, misalnya. Yang terpenting, seorang duta besar tidak memiliki ruang untuk membuat polemik dari kesalahan kata seperti contohnya pernyataan Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi tersebut, karena selain bisa berujung fatal, di situ-lah letak dari seni diplomasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun