Seorang ibu muda di Semarang yang tengah menempuh pendidikan S2 dalam wawancaranya menyebutkan, “anak saya hampir setiap minggu saya belikan roti, coklat, permen, dan donat. Dia bilang bunda beliin itu doong ini doong, dan memang saya belikan karena menurut saya sih itu enak, bersih, dan tidak berbahaya.”. Hal tersebut memang merupakan salah satu wujud kecil dari kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Itu baru urusan konsumsi mingguan, terlebih untuk urusan konsumsi bulanan rumah tangga khususnya seperti saat ini di bulan puasa, dimana anak yang tengah berlatih puasa kerap dijanjikan panganan favoritnya. Tak jarang kita temui keranjang belanja bulanan suatu keluarga dalam pusat perbelanjaan sering penuh dengan stock panganan favorit anak seperti biskuat, permen, cokelat, dan lainnya.
Dalam aktivitas konsumsi, anak-anak dikenal sebagai influencer yang memengaruhi keputusan pembelian dan end user yang tinggal melakukan konsumsi di keluarga. Secara alami, anak-anak telah dibekali bargaining power kuat, seperti merengek, menangis, berteriak pada orang tuanya saat berada di mall atau supermarket terdekat ketika menginginkan sesuatu. Seorang ibu di Bekasi dalam wawancaranya membuktikkan, “anak saya suka minta wafer dengan cara merengek dan menangis.” Lantas ? Rasa-rasanya bisa diprediksi tidak sedikit pula orang tua yang “luluh” karena besarnya kasih sayang mereka kemudian mengabulkan permintaan pembelian anak-anak untuk membeli jajanan manis tersebut.
Sebuah survei oleh Research Division, Frontier Consulting Group, di tahun 2015 menyebutkan pengaruh anak dalam pembelian/pemilihan sebuah merek cukup signifikan utamanya pada produk biscuit (72,2%), candy (73,7%), and food (50,3%). Pada kondisi keluarga dengan ekonomi mapan, anak-anak tidak hanya punya bekal merengek, menangis, dan berteriak untuk meminta, mereka bahkan dipercayakan memiliki purchase power berwujud uang saku untuk membelanjakan uangnya sendiri yang sifatnya dari hari ke hari terus merangkak naik hingga menyentuh angka Rp 9.443,- per harinya berdasarkan hasil survey yang sama di atas.
Saat purchase power dimiliki oleh anak tentunya posisi mereka tak lagi menjadi influencer dan end user, namun bergeser menjadi purchaser yang membelanjakan uangnya sendiri. Tidak salah memang bagi orang tua untuk memberi kasih saya berbentuk kepercayaan bagi anak untuk mandiri mengelola uang. Hanya saja apabila kondisi-kondisi “kasih sayang” konsumsi di atas terus diabaikan tanpa adanya pendidikan keluarga pada anak nakan ada bom waktu di masa depan yang mungkin membahayakan anak kelak yakni obesitas.
Pada level dunia, sebuah data memperlihatkan dari 2,1 miliar penduduk dunia atau hampir 30% dari populasi global mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Global Burden of Disease Study lebih lanjut dalam jurnal kesehatan Inggris “The Lancet” menunjukkan jumlah tersebut hampir dua setengah kali jumlah orang dewasa dan anak-anak yang kekurangan gizi. Bagaimana dengan Indonesia ? Sayangnya, Indonesia merupakan contoh negara yang telah mengalami beban ganda nutrisi, sebuah fenomena dalam suatu negara dimana terdapat kelompok masyarakat yang mengalami kekurangan gizi dan terdapat pula kelompok masyarakat yang mengalami kelebihan gizi.
Untuk pengentasan kekurangan gizi, Indonesia telah sukses mengurangi capaian proporsi penduduk yang kekurangan gizi dari 10% di tahun 1999 untuk menurunkan menjadi 9% pada 2013. Pada tahun yang sama, lima di antara anak usia 5-12 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Kantor berita BBC bahkan menempatakan Indonesia sebagai peringkat ke-10 negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Fenomena obesitas pada anak makin diperkuat dengan Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 yang memperlihatkan prevalensi obesitas anak usia sekolah (6-12 tahun) di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan dengan angka sebesar 18,8% yang mana 10,8% di antaranya masuk dalam kategori gemuk dan 8,8% masuk dalam kategori sangat gemuk atau obesitas.
Lantas bagaimana persebaran fenomena kelebihan gizi anak di Indonesia sejauh ini ? Apakah sama menyebarnya dengan fenomena kekurangan gizi anak ? Obesitas pada anak di Indonesia sudah cukup menyebar di beberapa provinsi, angka menyebutkan terdapat 15 provinsi di Indoensia yang memiliki prevalensi sangat gemuk seperti Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, dan DKI Jakarta. Melihat banyaknya separuh dari total provinsi Indonesia di atas maka “penyakit sosial” ini harus ditangani dengan langkah yang kecil namun tepat. Disinilah peran keluarga sebagai unit terkecil pertama yang berfungsi melakukan sosialisasi pada anggota di dalamnya untuk melalui kaidah dan nilai agar dapat menjadi bagian dari warga masyarakat yang besar dan baik.
Menyebarnya fenomena prevalensi obesitas menurut Nurmasari Widyastuti, S.Gz. MSi.Med selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro bukanlah hal yang mengherankan. Ia berpendapat fenomena tersebut tidak hanya berpotensi dialami oleh anak dari keluarga dengan ekonomi mapan tetapi juga dari keluarga menengah ke bawah. Hal ini diakibatkan oleh pola konsumsi yang mengonsumsi makanan dan minuman yang padat energi, tinggi gula dan lemak yang tersedia dimana saja dengan harga terjangkau. Jenis makanan dan minuman yang dapat memberi andil obesitas anak diantaranya adalah gorengan, minuman manis, cokelat, dan permen. Nurmasari menambahkan, “kalau seminggu makanan tersebut dikonsumsi tidak setiap hari sih no problem, sayangnya karakter anak cenderung makan tidak cukup hanya dengan sekali satu waktu.”
“Kita harus menggeser paradigma bahwa anak yang gemuk dan montok itu imut dan menggemaskan, hal tersebut berbahaya karena ketika anak sudah kegemukan nanti cenderung akan menetap hingga remaja bahkan dewasa.” tambahnya dalam wawancara. Salah satu cara mendeteksi obesitas pada anak menurut narasumber yang juga ibu rumah tangga yaitu dengan adanya gejala sindrom metabolic pada anak. Sebuah sindrom dengan sekumpulan kelainan dalam tubuh seperti kadar lemak dan gula darah yang tinggi. Tidak hanya itu saja pengukuran status gizi dan indeks masa tubuh menurut usia juga harus diperhatikan pada anak.
Dalam akhir wawancara, Nurmasari menyebutkan penguatan peran keluarga sebagai obat bagi fenomena obesitas anak dengan cara memperkenalkan makanan sehat. Hal ini dianggap penting karena keluarga juga memiliki fungsi perlindungan secara sosiologis. Anggota keluarga seperti ayah dan ibu harus menjadi role model yang baik untuk pola konsumsi anak baik itu konsumsi sayur dan buah, bahkan aktivitas konsumsi “ngemil” harus selalu diamati dan dipertimbangkan nutrition fact-nya setiap akan membeli produk cemilan untuk anak dan keluarga. Menurutnya keluarga perlu mengenalkan prinsip B2SA (beragam, bergizi, seimbang dan aman) dan menyediakannya sebagai makanan sehari-hari seperti telur, ayam, ikan, tahu dan tempe, sayur serta buah-buah.
Sebagai obat sosial fenomena obesitas anak ini, ia menawarkan dua solusi preventif yaitu menghindari makananan tinggi energi dan gula serta aktivitas fisik, adapun solusi kuratif pada anak yang sudah ada dalam kondisi obesitas anak adalah membatasi takaran makanan padat energi dan gula, “Membatasi disini lebih ke mengurangi takaran yaa, hal ini bisa dilakukan mengingat ada anak yang doyannya hanya minum susu dan tidak mau makan. Nah, mungkin bisa dikurangi takarannya terlebih dahulu perlahan-lahan dari 3 mungkin jadi 2 dan mengenalkan ke makanan alternatif yang tinggi serat, sayur, dan buah.” tambahnya. Terakhir ia juga menyebutkan peran guru dan dokter kecil sebagai agen komunikasi lainnya yang mampu memengaruhi pola konsumsi anak dan mencegah kondisi obesitas pada anak di Indonesia.