Mohon tunggu...
Humaniora

“Mainkan” Keluarga untuk Cegah Kekerasan Anak

10 Juli 2016   19:40 Diperbarui: 10 Juli 2016   19:55 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“The best toys a child can have is a parents who gets down on the floor and plays with them” begitulah sebuah kutipan yang rasanya patut untuk menjadi refleksi bagi orang tua dewasa ini. Tren orang tua baik ayah dan ibu yang sama-sama sibuk bekerja berimplikasi pada sedikitnya quality time dan waktu bermain yang mereka miliki untuk anak-anaknya. Asrorun, Komisioner KPAI membenarkan tren tersebut sekaligus menambahkan, “orang tua yang memiliki kesibukan di luar rumah dan tidak mendampingi anaknya sepanjang hari kemudian cenderung memberikan anak fasilitas tertentu seperti gadget, smartphone dan akses internet.” Senada dengan pernyataan Komisioner KPAI di atas, pemberian “persegi ajaib” alias gadget, smartphone, dan tablet diperkuat oleh survei di tahun lalu oleh National Geographic dengan angka 73% anak usia 6 bulan hingga 4 tahun dimana masuk usia golden age telah disediakan tablet di kamarnya.

Di momentum bulan puasa seperti ini, rasa-rasanya games akan menjadi teman akrab yang popular bagi anak untuk “ngabuburit”. Apalagi sifat games yang omnipresent, atau mampu dimainkan di berbagai platform seperti laptop, PC, tablet, smartphone, dan hp serta mampu diakses kapan saja baik di rumah, di jalanan, bahkan di dalam kendaraan. Kenikmatan bermain games pun dapat dilakukan secara berjamaah baik individu maupun berkelompok dengan internet connection. Benar memang, games adalah salah satu implementasi dari dunia anak-anak yaitu bermain. Namun apabila kita berkaca pada Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989 yang sudah begitu lama eksis dibanding kepopuleran gadget, tablet, dan smartphone, disebutkan bahwa salah satu hak wajib anak adalah hak untuk bermain. Ya, bermain secara nyata tentunya dan saling berinteraksi melakukan two way communications baik dengan keluarga atau bahkan teman.

Dalam laporannya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan games sebagai salah satu stimuli dari kekerasan anak. Kajian hulu KPAI menemukan games sebagai salah satu yang berpotensi diimitasi konten kekerasannya oleh anak. American Psychological Association (APA) pun turut menyatakan, usai me-review 100 penelitian disimpulkan bahwa bermain video games dapat meningkatkan perilaku dan pemikiran agresif serta berkurangnya empati sentifitas. Tidak mengherankan beberapa headline pemberitaan nasional kini kerap diwarnai oleh kasus pembunuhan dan kekerasan yang melibatkan anak-anak baik itu sebagai korban, pelaku, dan saksi

Terkait dengan pengawasan video games, pemerintah yang dalam hal ini melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan sistem rating video games. Tepatnya pada 6 Mei 2016, rating ini dirilis oleh kementerian dibawah Anies Baswedan, menurutnya orang tua harus mengerti sistem rating ini dan mendampingi anak memilih judul games yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Adapun rating terbagi menjadi 6 tingkatan berdasarkan konten games dan usia anak. Inisiasi ini memang perlu dilakukan mengingat kasus kekerasan anak seolah meningkat dari hari ke harinya. Saran yang disampaikan program kementerian ini di antaranya adalah meletakkan perangkat games di ruang bersama terbuka, usahakan games dimainkan secara bersama, dan atur agar dapat bermain games asal kewajiban anak telah terpenuhi. Orang tua dalam hal ini harus paham betul 6 rating dan konten games tersebut, jangan sampai kode tersebut memancing rasa penasaran anak-anak untuk mengakses games dan terus menerus mengaksesnya.

Sebagai seorang pakar psikologi pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Jati Ariati, S.Psi, M.Psi, dalam wawancaranya menyebutkan kekerasan anak merupakan fenomena kompleks yang bisa disebabkan oleh banyak stimuli seperti bahan bacaan, berita media, games, dan lainnya. Kekerasan anak secara sistematis terjadi karena anak belum memiliki kontrol diri yang baik yang apabila didesak oleh stimuli bermuatan kekerasan berpeluang untuk me-re call dan mengimitasi konten kekerasan yang ia dapatkan. “Jika dilihat dari teori asalnya intinya itu adalah agresi dimana perilaku yang tujuannya menyakiti orang lain. Kemudian dikembangkan oleh tokoh psikologi, yakni kekerasan verbal dan fisik sedangkan jika berdasarkan konteksnya ada bullying, cyber crime, dan kekerasan seksual.” papar Jati secara mendalam.

Orang tua perlu memiliki bekal untuk mendeteksi apakah anaknya berkemungkinan menjadi pelaku atau bahkan korban kekerasan. Menurutnya anak-anak yang di rumah sudah menampilkan diri sebagai difficult person seperti membangkang, susah dikasih tahu, sengaja melanggar aturan, dan menarik diri dari pergaulan berpotensi menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Sedangkan indikasi apabila anak tengah mengalami atau menjadi korban kekerasan harus lebih dikuasai, mengingat sukar bagi anak untuk menceritakan dan mengakui pengalaman yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Narasumber yang juga ibu rumah tangga ini memaparkan secara detail indikasi anak korban kekerasan adalah perubahan perilaku yang semula ceria menjadi pendiam, tidak mau berangkat sekolah dan mengikuti kegiatan-kegiatan, enggan untuk mengobrol dan bahkan makan bersama orang tua, serta cenderung mengurung diri di kamar.

Dari perspektif psikologi, cara mudah mendeteksi anak korban kekerasan anak adalah dengan mengajaknya menggambar bagaimana perasannya hari ini atau menggambar kegiatan yang telah dilakukan oleh anak tersebut. “Sukar bagi anak untuk bilang aku gak suka om itu, aku takut sama tante itu, atau aku takut sama temannya, dengan menggambar aka nada simbol-simbol yang dapat dibaca secara psikologis.” tambah Jati. Menyoal tentang games, pengamat psikologi pendidikan ini berpendapat bahwa games yang sekadar memencet tombol saja dapat mengarahkan anak menjadi agresif, “misalnya saat hp-nya ngehang bisa saja loh anak langsung marah dan membanting hp ?” Tambah lagi fitur rules dan mission yang disematkan oleh games menjadikan anak-anak makin addict dan tak bisa berhenti.

Dalam akhir wawancaranya, terdapat beberapa langkah pendidikan anak dalam keluarga yang seyogyanya mampu diterapkan semisal adanya durasi bermain, untuk anak dibawah 6 tahun lebih baik tidak berikan akses games sama sekali mengingat masih masuk usia golden age, anak usia SD diberikan akses games saat weekend. Selain pemberian durasi, orang tua tidak boleh kehabisan ide untuk menciptakan waktu bermain dan quality time dengan anak, “sebenarnya pemberian games itu dilakukan mungkin karena orang tua tidak punya ide anak harus diapakan” tutur Jati. Artinya orang tua harus menciptakan kondisi bermain yang nyata dan bisa dinikmati secara bersama misalnya bermain tebak gambar dan role playing. Meskipun konten games yang dimainkan sudah baik mengajarkan ilmu pengetahuan, namun conditioning pembinaan dan pendampingan tetap perlu untuk dilakukan. Terakhir orang tua harus selalu “ngobrol” dengan anak misalnya menciptakan waktu ngobrol khusus keluarga dari jam 18.00 – 21.00 WIB.

Muhammad Gustiasa

Bachelor of Communication Science Diponegoro University

Gustiasa2308@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun