Kata-kata itu menggema di dalam hati Gustava. Ia terdiam, meresapi makna mendalam dari ucapan ayahnya. "Iya, Yah. Doakan ya supaya Gustava bisa menjadi orang yang diharapkan. Gustava ingin, ketika wisuda nanti, ada Ayah dan Mama yang menemani."
Ayahnya mengangguk. "Ya, Gus. Doakan ya supaya Ayah bisa menemani ketika kamu wisuda nanti."
Waktu berlalu, dan Gustava melanjutkan pendidikannya di universitas. Ia berusaha keras untuk memenuhi harapan ayahnya. Setiap hari, ia belajar dengan tekun, berpartisipasi dalam organisasi kampus, dan menjalin hubungan yang baik dengan dosen serta teman-temannya. Namun, di tengah perjalanan, kehidupan Gustava mengalami cobaan yang sangat besar.
Suatu malam, ketika Gustava pulang dari pertemuan organisasi, ia menerima kabar mengejutkan. Ayahnya telah jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Gustava merasa gelisah dan langsung menuju rumah sakit. Saat tiba, ia melihat wajah-wajah cemas keluarga yang berkumpul. Ayahnya terbaring lemah, dan dokter menjelaskan bahwa kondisinya kritis.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Gustava dan keluarganya berjaga di samping ranjang ayahnya, berharap dan berdoa agar Tuhan memberikan keajaiban. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu semakin memudar. Suatu pagi yang kelam, ayahnya menghembuskan napas terakhir. Dunia Gustava seolah runtuh. Ia merasa hampa dan kehilangan arah.
Momen wisuda yang diimpikan Gustava kini terasa sangat jauh. Dalam kesedihannya, ia teringat akan janji yang diucapkannya kepada ayah. "Gustava harus terus berjuang," pikirnya. Ia tidak ingin ayahnya merasa kecewa di alam sana. Dengan tekad yang bulat, Gustava kembali ke bangku kuliah dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan studinya.
Setiap kali ia belajar atau menghadapi ujian, bayangan ayahnya selalu hadir. Gustava sering membayangkan bagaimana ayahnya akan tersenyum bangga saat melihatnya mengenakan toga. Ia juga teringat nasihat ayahnya yang penuh kebijaksanaan. "Walaupun Ayah sudah tidak ada, kamu tetap bisa menjadi pelindung keluarga ini," begitu bisikan di dalam hatinya.
Di tengah kesedihan, Gustava menemukan dukungan dari Mama dan adik-adiknya. Mereka saling menguatkan, berbagi cerita tentang kenangan indah bersama ayah. Dinda pun selalu ada di sampingnya, memberikan semangat dan penghiburan. Ia tahu betapa berat beban yang dipikul Gustava, dan ia bertekad untuk mendampinginya sampai akhir.
Hari demi hari, Gustava terus berjuang. Ia belajar dengan tekun, mengerjakan tugas-tugas, dan mengikuti berbagai kegiatan di kampus. Ia tidak hanya ingin lulus, tetapi juga ingin menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Gustava mengambil peran lebih dalam keluarga, membantu Mama dalam berbagai hal dan menjadi pendukung bagi adik-adiknya dalam belajar.
Saat ujian akhir semester tiba, Gustava merasa gelisah tetapi tetap fokus. Ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya. Dengan penuh usaha, ia belajar semalaman dan akhirnya berhasil melewati ujian dengan baik. Setiap pencapaian kecil membuatnya merasa lebih dekat dengan ayahnya, seolah ayahnya selalu mendukungnya dari jauh.
Setelah berbulan-bulan berlalu, Gustava akhirnya menerima kabar baik. Ia dinyatakan lulus dengan predikat yang memuaskan. Hari wisuda pun tiba, dan meskipun hatinya terasa berat karena kehilangan, ia tahu bahwa ini adalah momen yang sudah ditunggu-tunggu.