Panas matahari Surabaya yang begitu terik membuat keringat bercucuran. Apalagi dengan jaket parasut yang saya pakai untuk melindungi kulit semakin menambah panas siang itu. Haus pun datang menghampiri. Yang diinginkan tubuh ini “urgent” adalah air dingin yang dapat memuaskan dahaga yang tak tertahankan ini. Dari banyak penjual yang menjajakan es di pinggir jalan, akhirnya pilihanku jatuh pada seorang penjual es tebu. Pak Hari, demikian penjual es tebu tersebut disapa oleh langganannya. Pedagang bertubuh kecil kurus yang sudah hampir 4 tahun berjualan es tebu dan punya omset kurang lebih 150 ribu per hari. “Satu gelas, pak” demikian pintaku segera setelah memarkir kendaraanku. Pak Hari dengan begitu sigap menyiapkan permintaanku. Memang tidak butuh waktu lama untuk segera menikmati segarnya es tebu tersebut. Es tersebut tinggal dituang dari sebuah wadah kotak berdinding kaca berukuran kubus kurang lebih 40 cm3. Es tebu sudah dicampur dengan es batu sehingga rasa segarnya langsung terasa. “Maaf, mas, harus berdiri, kursinya kemarin disita oleh Satpol PP” begitu kata pak Hari ketika melihatku kebingungan mencari tempat duduk. “Tidak hanya kursi yang disita, tapi payung juga dicopoti dari gerobaknya” sambung pak Hari. Jadilah pak Hari berjualan es tebu hari itu mengandalkan “kursi” sepeda motor orang yang membeli dan “payung” rindangnya pohon yang ada di pinggir jalan. “Lho kok, bapak tidak takut berjualan lagi”menanggapi keberanian atau mungkin lebih cocok kalau disebut kenakatan Pak Hari berjualan padahal barusan saja kemarin diobrak oleh Satpol PP. “Kalo tidak berjualan, saya makan apa mas....” keluh Pak Hari. “Pemerintah tahunya cuma gusur dan menggusur tapi tidak pernah kasi solusi” sambung Pak Hari dengan nada agak kesal. Saya gak tahu apakah dia kesal pada pemerintah ( Satpol PP ) atau justru kesal pada pertanyaanku hehe... “memangnya tidak pernah ada tawaran pindah ke tempat lain, pak ???”pancingku. “Ada sih sebenarnya, tapi tempatnya sepi...siapa yang mau beli begitu keadaannya” jawab Pak Hari. “Di sini tempatnya ramai, gak masalah harus kejar-kejaran dengan Satpol PP. Itu sudah biasa” sambungnya. “Ohhhhhh....” Begitulah perbincangan singkatku dengan Pak Hari, seorang pedagang es tebu yang mangkal di jalan Panjang Jiwo Surabaya. Naluri Pak Hari untuk mempertahankan hidup begitu tinggi walaupun harus selalu berhadapan dengan aparat yang katanya bertugas atas nama hukum dan aturan. Tapi hal itu sudah dianggap biasa. Hari ini diobrak, besok jualan lagi, diobrak lagi, jualan lagi, dan terus begitu. Sampai kapan ??? kita tidak tahu. Tapi begitulah cermin nyata kehidupan masyarakat dan pemerintah. Di satu sisi, mereka berjualan untuk mencari nafkah. Itu benar dan harus. Tapi di lain sisi, mereka melanggar aturan. Pemerintah juga demikian. Membuat aturan tanpa win-win solution. Hampir semua rakyat kecil selalu berada pada pihak yang kalah. Juga membuat aturan tanpa konsistensi untuk menjalankannya. Hari ini obrak, besok membiarkan lagi, obrak lagi, dibiarkan lagi. Begitu terus...terus...terus.... Pertanyaannya....kita memihak yang mana ??? Apakah memihak Pak Hari ??? ataukah Satpol PP ??? Saya serahkan pada hati nurani teman-teman semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H