Pendahuluan
Di tengah lantunan nada gamelan yang dulunya selalu memenuhi setiap sudut desa Kauman, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Magetan, saat ini semakin terasa keheningan yang mendalam. Desa yang dahulu dikenal sebagai pusat pembuatan gamelan yang tersohor, terutama gamelan Margo Laras, kini menghadapi tantangan zaman yang perlahan-lahan mengancam eksistensi kerajinan tradisional ini. Di balik keindahan nada gamelan yang masih ada hingga saat ini, terdapat kisah perubahan yang terjadi mulai dari jumlah pengrajin yang semakin sedikit hingga berkurangnya minat generasi muda terhadap seni budaya yang sebelumnya berkembang pesat. Di tulisan ini, penulis akan mengupas bagaimana Kerajinan Gamelan Margo Laras yang pernah menjadi kebanggaan desa kini berjuang untuk tetap eksis di tengah derasnya arus modernisasi.
Sejarah Singkat Berdirinya Kerajinan Gamelan Margo Laras di Desa Kauman
"Awalnya dari Mbah Joyobroto yang berasal dari Bantul, Yogyakarta. Beliau kesini karena diambil oleh Mbah Putri dari Mbah Dipokromo yang bertempat di Desa Purwodadi. Beliau adalah seorang pengrajin atau panji yang datang kemari dengan membawa tukang ngukir, tukang nglaras gamelan dan sebagainya. Kemudian turun hingga ke rumah-rumah di Desa Kidal (Desa Kauman), sampai turun ke masyarakat sekitar, itu kira-kira sekitar tahun 1840-an. Berjaya di tahun 1970-an, karena perkembangan seni budaya ditingkatkan, apalagi orang transmigrasi tidak ada hiburan, hiburannya ya gong reog, gong campursari, gong bonang kromong tapi ala Madura, Banyuwangi untuk latihan kelompok-kelompok/komunitas tersebut, tetapi terbuat dari besi, sehingga orang-orang tersebut krasan ada kelompok Reog, jaranan untuk memacu hiburan oleh orang-orang transmigrasi. Dan sekarang sistem, karena punya keterampilan akhirnya ditinggalkan oleh generasi sekarang. Pakai mesin, bisa tapi hasilnya nggak bagus." Wawancara dengan Pak Sugiarto, generasi kedua pendiri Kerajinan Margo Laras Desa Kauman.
Walaupun mesin mampu menjalankan sebagian besar proses produksi, kualitas dan keaslian yang dihasilkan oleh pengrajin tradisional yang terampil tetap tidak tertandingi. Di tengah kemajuan teknologi yang cepat, Pak Sugiarto menyatakan bahwa ketertarikan generasi muda untuk meneruskan keterampilan ini semakin menurun, sehingga mengakibatkan masa depan kerajinan gamelan Margo Laras terancam.
Kenapa namanya Margo Laras?
Pak Sugiarto menuturkan "Kerajinan Margo Laras kita dirikan pada tahun 1979 semua pengrajin harus punya NPWP perusahaan, harus punya ijin usaha. Jadi saya mendirikan ini dulu liar, turut kebon turut gedek, kalau sekarang kan sudah permanen udah pakai tembok, konstruksinya sudah bagus. Nama "Margo Laras" itu merupakan nama pendiri perusahaan saya, jadi saya minta izin. Dulu itu kalau mau beli timah itu dibantu sama pemerintah, oleh pt timah itu harus punya legalitas. Terus kenapa kok namanya "Margo Laras" itu karena kaitan dengan rasa, bunyi gamelan. Jadi bunyi gamelan itu semua sama, tapi titi laras tidak sama."
Sistem Produksi Gamelan di Kerajinan Gamelan Margo Laras