Umat Katolik sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah berperan aktif sejak masa pergerakan perjuangan sampai kemerdekaan NKRI. Kalau umat Islam ada kegiatan rutin berskala nasional, yakni MTQ, yang tahun ini adalah yang ke-27 dan bertempat di Medan; dan umat Protestan ada Pesparawi, kini umat Katolik diberi wadah oleh pemerintah berupa ajang lomba paduan suara ini.
Kebetulan juga, acara Pesta Paduan Suara Katolik yang pertama di Ambon ini diselenggarakan menjelang SUMPAH PEMUDA yang ke-90. Sumpah Pemuda kita kenal dan pahami dengan trilogi semboyannya: satu nusa, satu bangsa, dan SATU BAHASA. Seharusnya momentum Pesta Paduan Suara Katolik yang pertama ini menunjukkan kecintaan pada bahasa Indonesia, salah satunya untuk memakai kata yang resmi dan baku di ruang publik, yakni "gerejawi".
Ada pepatah Latin berkata: QUI BENE CANTAT, BIS ORAT, yang bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali. Semoga pesta paduan suara di Ambon berlangsung dengan lancar dan sukses.
Febry Silaban
Itulah isi tulisan Febri Silaban yang menggugat penggunaan istilah "gerejani" oleh agama Katolik. Saya tersentak sebagai pemerhati bahasa karena selama ini sudah "take for granted" (menganggap sudah lumrah) istilah "gerejani" ini. Dari penelusuran di Google Books bahkan istilah ini sudah ada setidaknya pada tahun 1951. Tentunya ada latar belakang budaya mengapa ada akhiran "-ni" yang menurut penulis di atas salah secara kebahasaan. Cukup lama saya berpikir tentang fenomena bahasa ini. Dan akhirnya saya sampai pada kesimpulan ini.
Akhiran "-ni" adalah bentukan adjektiva (kata sifat) dalam bahasa Jawa. Contoh yang bisa kita lihat antara lain "munpuni", "madani", "medeni" dan "njawani". Kata "mumpuni" dibentuk dari "mpu" (atau 'empu') + akhiran "-ni". Kata "madani" dibentuk dari kata "pada" (dilafalkan 'podo' yang makna 'equal' atau 'setara') + akhiran "-ni". Kata "medeni" dibentuk dari "wedi" (artinya 'takut') + akhiran "-ni". Kata "njawani" dibentuk dari "jawa" + akhiran "-ni". Kosakata "mumpuni", "madani", njawani" bahkan sudah masuk ke dalam KBBI.
Jadi, kalau penulis di atas mengatakan bahwa sufiks (akhiran) yang diadopsi dalam bahasa Indonesia adalah dari bahasa Arab dan bahasa Sanksekerta, saya pikir mengapa tidak kita juga mengadopsi akhiran dari bahasa Jawa. Bagaimana menurut pendapat Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H