Beberapa hari belakangan, publik mengalami kehebohan bertalian dengan keputusan IDI untuk memecat sementara (selama satu tahun) dan mencabut izin praktik dokter Terawan Agus Putranto, SpRad karena pelanggaran etik berat. Publik sudah cukup mengenal dokter Terawan yang tersohor dapat mengobati stroke dengan metode terapi yang diberi nama "cuci otak". Kalau pakai bahasa Inggrisnya disebut dengan brain wash atau brain flush.
Segera setelah kabar pemecatan dokter Terawan tersiar, maka seperti dapat diduga maraklah di media sosial komentar-komentar baik yang pro maupun yang anti dengan kebijakan IDI. Bahkan petinggi-petinggi yang selama ini "merahasiakan" pernah dirawat stroke oleh dokter Terawan tampil ke permukaan dengan testimoninya.Â
Komen yang banyak saya baca adalah "dokter Terawan adalah putra bangsa yang sudah berjasa besar menemukan metode terapi stroke dengan "cuci otak". Mereka yang anti dokter Terawan berkilah bahwa metode terapi ini belum melalui pengujian medis (evidence-based medicine) sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medikolegal.
Seperti kegaduhan sosial yang nyaris menerpa kita setiap hari, komen-komen yang berseliweran di dunia maya lebih banyak yang rancu informasi ketimbang fakta.Â
Pertanyaan yang pertama-tama perlu kita ajukan secara cermat untuk mendapat gambaran yang jelas tentang kasus dokter Terawan ini adalah "obat apa yang dimasukkan melalui pembuluh darah vena yang diberi nama keren "cuci otak" itu?" Seingat saya, untuk jangka waktu cukup dokter Terawan merahasiakan preparat obat yang dipakainya dengan alasan hak paten. Baru belakangan karena desakan kolega-kolega dokter yang semakin kuat, beliau menyatakan bahwa obat itu adalah "heparin" (golongan antikoagulan = obat anti penggumpalan darah = pengencer darah)
Apakah pengobatan stroke dengan heparin adalah terobosan baru yang diciptakan oleh dokter Terawan? Dari literatur-literatur medis yang saya sempat baca, ternyata terapi dengan heparin ini sudah 50 tahun diterapkan untuk mengobati penyakit stroke. Yang melaksanakan terapi heparin intra-vena ini adalah para dokter spesialis syaraf (neurolog) di Eropa dan AS. Jadi, tidaklah benar "klaim" bahwa dr. Terawan adalah penemu (atau pelopor) pengobatan cuci otak ini.
Seperti dikemukakan di atas, terapi heparin intra-vena ini dilaksanakan oleh para dokter spesialis syaraf (neurolog) sesuai dengan domain keilmuan medisnya. Tentunya menjadi tidak etis apabila pengobatan heparin intra-vena ini dikerjakan oleh dokter spesialis radiologi seperti dokter Terawan. Sesuai dengan domain keilmuannya, seorang radiolog hanya boleh menyuntikkan heparin ke dalam vena sebagai alat bantu untuk meneropong pembuluh-pembuluh darah dengan mesin x-ray. Jadi ranah seorang dokter radiologi adalah sebatas menegakkan diagnosis saja.
Pada awal diterapkan terapi dengan heparin intra-vena (sekitar 50 tahun silam), dia hanya dilakukan untuk penderita atrial fibrillation (gangguan irama jantung) dan cardioembolic stroke (stroke karena adanya emboli/penggumpalan darah dari jantung). Hasilnya pada waktu itu cukup menggembirakan.Â
Oleh karenanya, selanjutnya terapi heparin ini diperluas untuk acute ischaemic stroke (stroke yang disebabkan adanya penyempitan pembuluh darah di otak). Logikanya, kalau heparin ini manjur untuk mengatasi penyumbatan di pembuluh darah jantung, maka tentunya dia juga manjur untuk penyumbatan pembuluh darah di otak.
Namun, dengan semakin banyaknya pengujian klinis terhadap kemanfaatan (benefit) heparin terhadap stroke iskemik, semakin terbukti bahwa heparin ini kurang berhasil guna. Memang ada jenis-jenis stroke tertentu yang dapat diperbaiki dengan heparin ini. Stroke ini banyak macamnya seperti stroke-in-evolution, Transient Ischaemic Attack(TIA atau 'stroke ringan'), stroke in the carotid and vertebrobasilar circulation dan banyak sub-golongan lainnya.
Itu 13 tahun yang lalu. Bagaimana dengan saat kini? Ternyata kontroversi ini belum berakhir, meskipun sudah semakin sedikit dokter neurolog yang menggunakan heparin dan digantikan dengan antikoagulan yang lebih canggih. Harus pula dicamkan bahwa heparin bersifat anti penggumpalan darah, jadi pemberiannya harus benar-benar terukur. Kalau tidak, karena sifat mengencerkan darah ini akan menyebabkan perdarahan (haemorrhage) yang malah memperparah kondisi stroke iskemik menjadi stroke hemoragik.
Kesimpulan singkatnya, metoda terapi cuci otak dokter Terawan ini bukan penemuan medis yang fenomenal, karena sudah berpuluh tahun diterapkan oleh dokter neurolog di Eropa dan AS. Perihal keabsahan heparin untuk pengobatan stroke sampai hari ini masih kontroversial.Â
Di negara-negara maju, juga seperti di Indonesia banyak anecdotal evidence (testimoni keberhasilan pengobatan). Namun anecdotal evidence ini tidak dapat dipakai sebagai acuan untuk membuktikan keabsahan terapi. Karena sifatnya sangat subjektif dan bias ingatan. Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa memberikan sedikit gambaran yang lebih objektif tentang heboh kasus dokter Terawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H