Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tentang Arti Kata "Monster" yang Berbeda

10 Desember 2017   14:32 Diperbarui: 10 Desember 2017   17:39 3654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam satu minggu ini, ndilala (serendipitously) saya dua kali jumpa dengan "monster". Maksudnya sebagai seorang pemerhati bahasa, bukan pemerhati politik atau pemerhati agama. Dan nanti akan menjadi jelas bagi sidang pembaca apa yang dimaksud dengan "monster" di sini. Yang pasti, saya tidak sedang membahas "makhluk berukuran raksasa yang buruk dan menakutkan" bernama monster.

Bermula pada status Ivan Lanin di tembok Facebook yang menuliskan (atau mengingatkan kita) bahwa istilah "sample" (bahasa Inggris) khususnya dalam ilmu statistik sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia yaitu "percontoh". Jadi untuk istilah "sampling" padanannya adalah "pemercontohan". Beliau juga melampirkan screenshot definisi dari "percontoh" dari KBBI edisi 5 yang tertulis sebagai berikut [1. bagian kecil atau butir tunggal yang mewakili kelompok atau keseluruhan yang lebih besar; sampel. 2. bagian kecil data penelitian yang dianggap dapat mewakili keseluruhan data, dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai seluruh data penelitian].

Tulisan ringkas ini membangkitkan ingatan saya akan sebuah istilah yang di seputar tahun 1950-1960an banyak dipakai orang yaitu "monster". Maknanya sama dan sebangun dengan "sampel". Di masa itu, saudagar yang mau menawarkan barang dagangannya akan membawa "monster" yaitu contoh kecil dari komoditasnya. Kalau dia berniaga bahan kain, maka monster yang dibawa adalah potongan kecil dari bahan-bahan kain yang ada di tokonya. Kalau dia berniaga beras, misalnya, maka monster yang dibawa untuk ditunjukkan kepada pelanggannya adalah sejumput beras.

Istilah "monster" ini kita serap dari bahasa Belanda "monster" dan maknanya persis sama dengan istilah Inggris "sample". Mengingat istilah ini sudah lama sekali tak diucapkan orang lagi, saya penasaran untuk mengeceknya pada KBBI. To my surprise, ternyata kata "monster" ini masih tercantum pada KBBI edisi 5. Definisinya adalah "contoh barang dagangan untuk dinilai mutunya (bobotnya, warnanya, dsb)".

Kalau ditilik dari definisi yang diberikan oleh KBBI ini, terjadi penyempitan makna dari kata "monster" tersebut. Dia hanya boleh dipakai pada ranah perniagaan saja. Padahal pada bahasa aslinya (bahasa Belanda), "monster" bisa dipakai untuk banyak ranah, bisa ranah perdagangan, ranah kedokteran, ranah statistik, ranah keuangan dsb.

Dalam ranah kedokteran (medis), ada sebutan "bloedmonster" (bloed = darah, monster = sampel) yang bermakna "sampel darah", juga "urinemonster" (urine = kencing, monster = sampel) yang bermakna "sampel air kencing). Dalam ranah statistik, "monster" yang juga disebut dengan "steekproef" diartikan sebagai "seleksi dari populasi keseluruhan dengan tujuan untuk mengukur karakteristik spesifik dari populasi tersebut". Dalam ranah keuangan, "monster" sama makna dengan "specimen" (contoh uang kertas/banknotes).

Lantas, dipertanyakan kenapa istilah "monster" yang pada hakekatnya persis sama makna dengan "sampel" menyurut seiring dengan berjalannya waktu. Ada banyak hipotesa yang bisa dikemukakan di sini. Mungkin karena sebutan "monster" ini di bawah alam sadar mengingatkan orang akan makhluk yang horor dan mengerikan, jadi lebih baik dicarikan istilah lain yang lebih netral. Mungkin juga karena istilah ini serapan dari bahasa Belanda dan ada perasaan risi untuk diganti dengan serapan dari bahasa Inggris "sample". Anyway, ini suatu fenomena yang biasa dalam khazanah bahasa mana pun, ada yang lahir dan ada pula yang punah.

Suatu kebetulan, seperti saya utarakan pada awal tulisan ini, saya bertemu dengan "monster" yang lain pada saat sedang berselancar mencari referensi tentang istilah "rapat raksasa". Sebutan "rapat raksasa" ini sangat marak di koran-koran pada masa awal kemerdekaan hingga sebelum berakhirnya kepemimpinan Bung Karno. Yang paling terkenal misalnya "rapat raksasa di Lapangan Ikada" tanggal 19 September 1945 di mana rakyat menyatakan kebulatan tekad untuk mempertahankan kemerdekaannya. Dan setelah itu, tak terhitung rapat raksasa yang digelar di seantero tanah air.

Pada saat menyelisik asal kata "rapat raksasa" pada koran-koran jadul digital, saya tersua dengan penjelasan bahwa "rapat raksasa" berpadanan dengan istilah Inggris "monster meeting". Terus terang, awalnya saya pikir si redaktur koran jadul ini cuma bercanda saja dengan "menerjemahkan" rapat raksasa menjadi monster meeting. "Monster" memang "raksasa", "meeting" memang "rapat", tapi apa iya ada istilah "monster meeting"?

Penelusuran saya lebih jauh ternyata menunjukkan bahwa istilah "monster meeting" memang benar ada, setidak-tidaknya di masa lalu. Pada suatu artikel ada tulisan sebagai berikut [O'Connell had been leading large rallies, referred to as monster meeting, to advocate the end of the Act of Union. The word "monster" was a distortion of the French word monstre, meaning "mass"]. Terjemahannya, "O'Connell memimpin sejumlah demonstrasi besar2an yang disebut dengan "monster meeting" untuk menuntut dihapuskannya Undang-undang Perburuhan. Kata "monster" adalah pemelesetan dari kata bahasa Perancis monstre, yang bermakna "massal".

Oh, jadi persoalannya menjadi terang benderang bagi saya, kenapa ada sebutan "rapat raksasa" yang dulunya membuat khayalan saya melantur membayangkan ada sekumpulan raksasa yang berkumpul entah untuk tujuan apa. Saya dulu juga pernah berasumsi bahwa istilah "rapat raksasa" ini ciptaan dari Bung Karno sendiri. Biarpun ternyata istilah "rapat raksasa" ini menyadur dari istilah "monster meeting" saya tetap mengacungkan jempol. Because it is an awesome translation.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun