Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setya Novanto dan Pura-pura Sakit

18 November 2017   14:04 Diperbarui: 18 November 2017   18:53 4120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari-hari ini, rasanya tak ada yang tak tahu drama Setya Novanto dan kembali dirawatnya beliau di rumah sakit. Pada opname sebelumnya dinyatakan dia menderita sejumlah penyakit (vertigo, tekanan darah tinggi, gangguan jantung, diabetes).

Pada kali keduanya dia masuk ke rumah sakit disebutkan karena mengalami kecelakaan mobil menabrak tiang listrik (dikoreksi menjadi tiang lampu jalan), sehingga dahinya benjol sebesar bakpao dan berpotensi gegar otak hingga mengalami amnesia.

Seandainya kasus ini terjadi bukan pada Setya Novanto yang terkenal dengan segala kecerdikannya dan kelicinannya (cerdik seperti kancil, licin seperti belut, kata orang), orang mungkin tak ada yang peduli. Masuk rumah sakit dipraanggapkan biasa-biasa saja, karena namanya manusia mungkin saja mendadak sakit dan dokter mengharuskan yang bersangkutan dirawatmondok. 

Mungkin sedikit orang yang tahu bahwasanya "malingering" (berpura-pura sakit untuk menghindar dari masalah hukum dan tanggungjawab pekerjaan) sudah banyak dilakukan orang sejak dahulu kala. Ini adalah senjata yang ampuh untuk mengecoh dan memperdaya.

Di ranah militer, akal-akalan abunawas berpura-pura sakit sering dipakai oleh tentara yang ditugaskan di garis depan. Dengan bekal surat keterangan sakit dari dokter militer maka dia akan dievakuasi ke garis belakang. Dan untuk beberapa minggu dia dapat bersantai-santai "makan dan tidur" di rumah sakit. 

Umumnya, komandan pasukan "take for granted" (percaya dan menerima saja) surat keterangan dokter yang mengharuskan si prajurit ditarik ke garis belakang guna dirawat di rumah sakit.

Namun, ada kisah legendaris yang merupakan kekecualian di mana komandan pasukan tidak memercayai akal bulus pura-pura sakit anak buahnya. Tercatat Jenderal Patton, komandan tertinggi pada Perang Dunia II yang menggampar dua prajurit di rumah sakit lapangan karena dianggapnya hanya berpura-pura sakit saja. 

Karena mendapat laporan dari komandan bawahannya bahwa kekuatan pasukannya menipis sehubungan dengan banyaknya serdadu yang masuk rumah sakit, maka dia datang langsung ke rumah sakit untuk mengecek.

Di situ, didapati seorang prajurit yang duduk-duduk selonjor di kursi di antara teman-temannya yang mengalami cedera tempur. Patton segera menghampiri prajurit yang bernama Kuhl dan bertanya "kamu sakit apa". Sang prajurit yang nampaknya segar bugar tak ada cedera tempur menjawab seadanya bahwa dia menderita "nervous". 

Patton yang terkenal sebagai jenderal yang keras tak bisa menerima jawaban itu. Si Kuhl ini ditempelengnya dengan sarung tangan, krag bajunya dijambaknya dan dengan sekuat tenaganya ditendanglah bokong prajurit itu keluar pintu rumah sakit lapangan. Dengan suara menggelegar dia berkata "Jangan kasi bangsat ini dirawat di sini" dan dilanjutkan dengan "Kau dengar ya, bajingan tengik, kau segera kembali ke front!"

Belakangan, ditemukan oleh dokter militer bahwa si prajurit sesungguhnya bukan berpura-pura sakit dan memang terkena malaria dan juga "battle fatigue" (stres karena lama berada di medan tempur). Patton tetap tidak bisa menerima penjelasan dokter dan menganggap si prajurit hanya berpura-pura sakit untuk menghindari tugas.

Di ranah hukum, siasat berpura-pura sakit juga tak kalah sering dilakukan orang. Oknum yang tersangkut kasus pidana penipuan dan berpotensi ditangkap oleh polisi dengan akal liciknya akan minta dokter untuk diopname di rumah sakit. Apakah ada dokter yang bisa disetir untuk membuat diagnosa palsu sehingga si tersangka bisa bersembunyi dari kejaran hukum di rumah sakit?

Fakta membuktikan bahwa hal semacam ini cukup sering dilakukan. Dokter yang sejatinya mempunyai integritas dan kredibilitas tinggi, juga bisa dikooptasi dengan iming-iming uang. Demikian juga rumah sakit yang menerima si "fugitive" (orang yang lari dari kejaran hukum) untuk diopname selama mungkin. Apalagi kalau yang bersangkutan mengambil kamar perawatan kelas super vip yang berbilang jutaan rupiah per hari. 

Manajemen rumah sakit akan "tutup mata" dengan akal-akalan sakit ini, selama masih bisa dilindungi dengan rekam medis yang sahih. Andaikata pula digugat untuk membuka medical record ini, rumah sakit masih bisa menolaknya apabila tidak ada perintah dari pengadilan.

Bukan itu saja. Orang yang sudah dipidana masuk penjara pun bisa memanfaatkan "loophole" untuk pura-pura sakit sehingga bisa dibantarkan di rumah sakit. Selama dibantar di rumah sakit, dia bisa bergerak ke mana saja, asalkan tidak mencolok. 

Kalau kebetulan ada sidak di rutan atau lapas, sepanjang surat pembantaran dan keterangan dari rumah sakit lengkap, dia akan aman-aman saja. Nyaris mustahil si penyidak akan repot-repot mengecek langsung keberadaannya di rumah sakit, apalagi menelisik benar tidaknya diagnosa yang dibuat oleh dokter.

Terkait dengan kisah dramatik mobil yang ditumpangi Setya Novanto menabrak tiang listrik (atau tiang lampu jalan, whatever), saya jadi teringat dengan cerita akal-akalan prajurit yang berada di medan tempur. Bagaimana cara agar dia bisa mendapat surat sakti dari dokter yang menyatakan bahwa dia mendapat luka tempur yang mengharuskan untuk segera dievakuasi ke rumah sakit? 

Ada tipuan yang bernama "self-inflicted wound"(cedera yang ditimbulkan oleh diri sendiri). Biasanya si prajurit akan menembak diri sendiri di bagian tubuh yang tidak fatal, misalnya pada kaki.

Tentu saja dia tidak mengaku bahwa luka tembak itu akibat perbuatannya sendiri, tetapi mengarang cerita bahwa dia tertembak oleh musuh pada jam J di sektor X. Karena ada bukti luka di kakinya, maka dokter militer akan mengirimkan dia ke rumah sakit di garis belakang. Di situ, paling tidak dia bisa terbebas dari tugas tempur selama beberapa minggu. 

Kalau nasibnya baik, setelah dia sembuh dari lukanya, dokter bisa membuat surat keterangan "unfit to be deployed" (tidak memenuhi syarat untuk dikembalikan ke daerah operasi) dan bisa melenggang pulang ke kampung halaman dan menerima tunjangan cacat veteran seumur hidup.

Apakah Setya Novanto terinspirasi dengan siasat "self-inflicted wound" ini? Tentu ini tugas aparat penegak hukum untuk membuktikannya. Misalnya, skenario"nubruk mobil e alon-alon wae, ben bathuk e benjut sitik".Soal narasi "bathuk e" (jidatnya) benjol segede bakpao, malah berpotensi gegar otak (concussion) itu kan mudah diatur dengan pihak dokter dan rumah sakit yang menanganinya. 

Singkat cerita, waspadailah para pelanggar hukum yang memanfaatkan celah "pura-pura sakit" di dalam lolos dari kejaran penegak hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun