Di Bulan Bahasa ini, secara tak dirancang saya menulis sejumlah catatan kecil tentang puspa ragam (miscellany) bahasa di laman Facebook saya.Â
Secara umum, tulisan ini ringan-ringan belaka dan saya tuangkan manakala dia terlintas dalam benak saya agar tidak terlupa. Tak terasa ada lima atau enam curhat bahasa yang saya posting di Facebook dan tahu-tahu terpikir untuk merangkumnya pada blog saya di Kompasiana. Inilah nukilan beberapa posting bahasa yang saya tulis di bulan Oktober.
Di penjara dan Dipenjara
Sudahkah Anda bisa membedakan antara "di penjara" (dipisah) dan "dipenjara" (dirangkai/disambung)? Kalau Anda sanggup menjelaskannya (sekalipun tak perlu terlalu ilmiah linguistik), mudah-mudahan ke depan, tak akan ada lagi kekeliruan kapan "di" dirangkai dan kapan "di" dipisah. Itulah yang saya tulis pada status Facebook tertanggal 23 Oktober 2017.Â
Saya tidak terlalu optimistis kekeliruan klasik ini bisa masuk ke jalur rel yang benar dalam waktu dekat, karena praktis semua lapisan masyarakat melakukannya. Baik generasi milenial maupun generasi kolonial, baik kelompok intelektual maupun non-intelektual semuanya mempunyai andil di dalam memperparah kekacauan penerapan "di" ini. Yang seharusnya disambung, malah dipisah, yang seharusnya dipisah malah disambung. Bahkan ada yang ambil jalan pintas, secara gebyah uyah semuanya disambung atau semuanya dipisah.
Kornet
Disamping bahasa Belanda yang paling dominan kita serap ke dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris juga lumayan menonjol masuk ke dalam kata serapan Indonesia di masa lampau. Kalau di zaman now, tak diragukan ribuan kosakata Inggris yang diserap sebagai kata baru dalam khazanah bahasa Indonesia. Di masa lampau, kata Inggris yang diserap misalnya "keeper" menjadi "kiper", "scooter" menjadi "skuter", "cowboy" menjadi "koboi", "hostess" menjadi "hostes", "gear" menjadi "gir".Â
Namun ada satu istilah Inggris yang amat unik diserap ke dalam bahasa Indonesia yaitu "corned beef". Orang di masa jadul itu beranggapan bahwa pelafalannya adalah [kornet bif]. Tak ada yang tahu bahwa pelafalan yang benar seharusnya adalah [korn bif]. Akibatnya, kata ini diserap menjadi "kornet bif" dan akhirnya dipersingkat menjadi "kornet". Pada KBBI edisi 5 (edisi termutakhir) lema "kornet" ini tercantum dan diberi definisi "daging sapi yang diawetkan dalam kaleng".Â
Pada kamus bahasa Malaysia yang saya praanggapkan pengaruh pelafalan Inggris lebih kuat, ternyata kata "kornet" ini juga ada dan diberi definisi "daging lembu dalam tin". Karena sudah mapan (established) diterima dalam khazanah bahasa kita, ya tak perlu disomasi atau digugat lagi. Hanya perlu kita camkan, kalau sedang berbincang dengan English-speaking person, janganlah kita lafalkan dengan "kornet bif" melainkan "korn bif". Kalau tidak, maka si bule akan melongo kebingungan tanda gagal paham.
Kesatrian
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 5 (edisi termutakhir) mengandung 127 ribu lema. Ini merupakan peningkatan jumlah lema yang cukup signifikan, karena pada edisi KBBI sebelumnya (edisi 4) dia hanya mengandung 90 ribu lema. Dengan jumlah 127 ribu itu, saya perkirakan sudah tak ada lagi kata yang lolos dari radar pusat bahasa untuk dijaring masuk ke dalam KBBI. Namun, ternyata sekurang-kurangnya ada satu kata yang tak saya jumpai pada kamus teranyar ini yaitu kata "kesatrian". Padahal kata "kesatrian" ini bukanlah kata yang usang (obsolete) atau archaic sehingga boleh dicampakkan keluar dari daftar kosakata. Pengertian "kesatrian" kurang lebih sama dengan "military base" yaitu markas militer beserta perumahan anggota militer.Â
Saya menelisik ke "ksatrian" barangkali saja itulah ejaan yang dipakai, namun tetap hasilnya nihil. Saya hanya berhenti menemukan kata "kesatria" yang diberi definisi " 1. orang (prajurit, perwira) yang gagah berani; pemberani dan 2. kasta kedua dalam masyarakat Hindu; kasta bangsawan atau kasta prajurit". Sebagai bukti bahwa kata "kesatrian" ini masih tetap hidup (bukan kata yang mati), bilamana kita akan memasuki kompleks militer maka di gerbang selalu ada papan peringatan bertuliskan "Tata Tertib Masuk Kesatrian: Kaca mobil, jaket dan kacamata harap dibuka". Mudah-mudahan pada edisi KBBI mendatang kata "kesatrian" ini dapat dimasukkan.
Move On
Salah satu frasa bahasa Inggris yang paling masyhur dituliskan orang di medsos dewasa ini adalah "move on". Frasa ini nyaris tak kita kenal dan akrabi sebelum masa pilpres tahun 2014. Diawali dengan celotehan para selebriti pada acara infotainment televisi yang baru putus cinta atau baru bercerai dan menyatakan dia sudah "move on", frasa ini semakin semarak dipakai dalam wacana sehari-hari untuk saling mengejek dan mengolok di antara dua kubu yang berlawanan preferensi politik dan figur yang didukung. Nyaris tak ada hari berlalu tanpa kita membaca olokan "move on" di media sosial. Sebetulnya apa sih makna "move on" dan apakah dia tak ada padanannya dalam bahasa kita sehingga mau tak mau harus dipakai istilah asingnya?
Makna secara umum dari "move on" adalah "bergerak/berpindah dari suatu tempat/situasi/kondisi ke tempat/situasi/kondisi yang selanjutnya". Dan sesungguhnya kita sudah lama memiliki padanan yang bagus untuk "move on" ini yakni "beranjak". Ada sesuatu yang menarik dari kata "beranjak" ini. Dalam perjalanan waktu, kata "beranjak" ini secara salah kaprah dibelokkan menjadi "menginjak".Â
Kita pasti pernah mendengar ucapan pembawa acara (MC) dalam suatu rapat atau perhelatan yang berkata "Menginjak ke acara berikutnya, kita akan mendengarkan sambutan dari Bapak Polan". Padahal yang benar seharusnya adalah "Beranjak ke acara berikutnya, kita akan mendengarkan .... dst". Saya memperhatikan kini sudah banyak MC yang menyadari kekeliruan menggunakan kata "menginjak" dan mulai diluruskan. Kembali soal "move on", kita bisa mempertanyakan mengapa orang lebih suka mengatakan "move on" ketimbang "beranjak"? Tak pelak, karena kata "move on" ini jauh lebih menggigit dan lebih greget ketimbang "beranjak". Jadi, kita terima saja kenyataan ini.
Ada sesuatu yang sangat lucu dengan kelahiran kata "gabener" ini. Kita semua pasti sudah mafhum bahwa kata yang kental satire dan sarkasme ini adalah pelesetan dari kata "gubernur". Yang menjadi sasaran olok-olokan pelesetan "gabener" adalah Anies Baswedan yang baru dilantik sebagai Gubernur DKI. Kita tersenyum karena "gabener" kalau dilafalkan akan terdengar seperti "gak benar". Tapi apakah ini cuma sekadar pelesetan yang memang merajalela di dunia maya? Hasil penelusuran saya pada kamus bahasa Melayu (Malaysia) ternyata di sana ada istilah "gabenor". Definisinya kurang lebih sama dengan kata "gubernur" dalam bahasa kita. Kalau disandingkan antara "gabener" dan "gabenor" alangkah mirip pengucapannya. Apakah gara-gara pelesetan satiris ini, nanti ejaan kita berubah dari "gubernur" menjadi "gabener", hanyalah rumput yang bergoyang dapat menjawabnya.
Jawapan dan Kewajipan
Ada dua kata dalam bahasa kita yang "lain dieja, lain diucapkan". Dua kata tersebut adalah "jawaban" dan "kewajiban". Saya yakin 98 persen dari kita dalam ujaran lisan akan melafalkannya dengan "jawapan" dan "kewajipan". Terlebih pada mereka yang mempunyai lidah Jawa pasti akan mengucapkannya seperti itu. Saya lantas mencari pembanding bagaimana dengan ejaan dari bahasa Melayu/Malaysia.Â
Ternyata mereka lebih supel dan akomodatif. Mereka merestui penulisan "jawapan" dan "kewajipan" sekalipun kata dasar keduanya tetap adalah "jawab" dan "wajib". Apakah ini anomali yang perlu dipolemikkan? Tentu saja tidak. Bahasa bukanlah ilmu eksakta, jadi kalau banyak inkonsistensi ya tak menjadi soal. Itulah pendapat Ivan Lanin, seorang pemerhati bahasa dan saya juga mengamininya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H