Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengeja "Durian" dengan "Duren"

17 September 2017   17:28 Diperbarui: 18 September 2017   11:07 2955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mau bertanya kepada Anda, manakah yang lebih sering Anda tulis, ejaan "durian" atau "duren"? Saya yakin, 90 persen dari Anda akan menjawab "duren". Apalagi kalau pertanyaan itu diganti dengan "manakah yang Anda lebih sering ucapkan (lafalkan), "durian" atau "duren". Pasti jawabnya "duren". Jadi, baik secara ragam lisan maupun tulisan, kita lebih cenderung kepada "duren". Padahal, kalau kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "duren" dinyatakan sebagai bentuk tak baku dari "durian". Bentuk yang baku adalah "durian".

Ada hal yang menggelitik bagi saya perihal metamorfosa "durian" menjadi "duren" ini. Saya bertanya dalam hati, mengapa orang mengganti pelafalan/pengejaan "durian" menjadi "duren". Awal mulanya, saya-sebagaimana mungkin Anda juga-berprasangka bahwa kasus durian menjadi duren ini tak berbeda dengan penyimpangan fonetik dari kata-kata "satai" menjadi "sate", "gulai" menjadi "gule", "cabai" menjadi "cabe" dan bahkan "bulai" menjadi "bule". Namun, benarkah di antara keduanya mempunyai persamaan alasan?

Kalau kita cermati lebih teliti, perubahan "satai" menjadi "sate" dan kawan-kawannya mengambil pola penggantian fonetik "ai" menjadi "e". Sedangkan pada perubahan "durian" menjadi "duren" mengambil pola penggantian fonetik "ia" menjadi "e". Anda sudah melihat kan perbedaannya? Apakah boleh kita simpulkan secara jalan pintas, bahwa baik fonetik "ai" maupun fonetik "ia" boleh diubah menjadi fonetik "e"? Setelah saya kaji lebih jauh, ternyata pemahaman yang demikian kurang tepat.

Kalau kita perhatikan perubahan "satai" menjadi "sate", maka huruf "e" di sini sesungguhnya adalah "e taling". Dia bukan "e pepet". Jadi secara pengejaan (spelling) seyogianya ditulis dengan "". Bisa kita lihat di sini bahwa pada huruf "e" ada jambulnya yang miring ke kanan. Itulah yang dalam terminologi kita disebut dengan "e taling". Namun penamaan "e taling" ini sebenarnya tak lengkap benar, karena pada hakekatnya ada dua jenis "e taling" yang menghasilkan suara yang berbeda dan disimbolkan berbeda pula, yaitu "" (jambulnya miring ke kanan) dan "" (jambulnya miring ke kiri). Dalam istilah linguistik, "" disebut dengan diacritic acute sedangkan "" disebut diacritic grave.

Pada penulisan literasi di zaman tempo dulu, orang tak pernah lupa membubuhkan diakritik ini, sehingga kemungkinan salah pengucapan (pelafalan) tak akan terjadi. Di zaman itu orang akan menuliskan "Amerika" dengan "Amrika", "perbedaan" dengan "perbdaan". Kalau saya tak silap, diakritik ini dihilangkan sejak berlakunya pedoman ejaan Suwandi. 

Memang jadi nampak tidak ruwet dan tidak ribet dengan dihapuskannya "e taling" ini. Toh kita orang Indonesia sudah otomatis tahu, kapan harus dilafalkan "e" (e pepet) atau "" dan "" (e taling). Hanyalah penutur asing yang kerepotan (dan akhirnya belepotan) bagaimana mengartikulasikan huruf "e" ini yang benar. Yang berujung pada dia menjadi bahan tertawaan orang yang mendengarnya, karena kata itu menjadi sangat aneh di telinga.

Ada sementara pihak yang mengusulkan (khususnya dari golongan tetua) agar kita menghidupkan kembali penulisan "e taling" dan "e pepet" (diakritik) ini. Argumentasi mereka, agar kita tak keliru melafalkan kata yang mengandung huruf "e" tersebut. Tapi nampaknya usulan ini bak orang berseru di padang pasir, tak mendapat tanggapan sama sekali. Saya yakin, alasan mereka yang mengacuhkan saran ini karena tidak mau ribet dan mencari praktisnya saja.

Saya mau kembali pada perbincangan kita semula. Jadi, kalau diamati perubahan kata "satai" menjadi "sate" ini, di sini kita menggunakan alfabet "" (jambul ke kanan). Dan pola ini konsisten pada perubahan fonetik "ai" menjadi "". Kata "bulai" berubah menjadi "bul", kata "serai" menjadi "ser", kata "katai" menjadi "kat", kata "tapai" menjadi "tap", kata "cindai" menjadi "cind" dan seterusnya. Namun pada perubahan kata "durian" menjadi "duren", e taling yang digunakan berbeda. Bukan "" (jambulnya ke kanan) tetapi "" (jambulnya ke kiri).

Menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah perubahan "durian" menjadi "duren" ini cuma satu-satunya anomali dan tidak ada "konco"nya yang serupa polanya. Ternyata setelah saya teliti lebih mendalam, pola ini lumayan banyak dalam khazanah bahasa kita, meskipun mungkin kurang kita sadari. 

Semuanya bermetamorfosa dari fonetik "ia" menjadi "" (e taling jambul ke kiri). Mari kita lihat beberapa contohnya: "sesajian" menjadi "sesajn", "kebupatian" menjadi "kabupatn", "pesantrian" menjadi "pesantrn", "setalian" menjadi "setaln", "kejawian" menjadi "kejawn" dan masih ada beberapa contoh lainnya yang saya tidak paparkan di sini.

Jadi, terjawab sudah kepenasaran saya mengapa "durian" diubah orang menjadi "duren". Jadi singkatnya, kalau kata tersebut mengandung fonetik "ai" dapat diubah menjadi "", sedangkan apabila kata tersebut mengandung fonetik "ia" dapat diubah menjadi "". Tentu saja ini tidak berlaku untuk segala kata yang mengandung fonetik "ai" dan "ia". "Sungai" tak pernah diganti menjadi "sunge" dan "ujian" tak pernah diganti menjadi "ujen". Dan satu lagi catatan saya, seturut dengan pedoman pusat bahasa, yang baku adalah "satai" bukan "sate", yang baku adalah "durian" bukan "duren". Kita boleh protes mengapa harus demikian, tapi itulah titah dari para pengampu bahasa. Mudah-mudahan bermanfaat bagi Anda, khususnya pemerhati bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun