Sebelumnya, saya meminta maaf telah memakai kata “berengsek” untuk tulisan ini, karena saya tak bisa menemukan kata yang lebih tepat untuk menggambarkan kebobrokan pelayanan paspor di kantor imigrasi Palembang ini. Sudah barang tentu, ini adalah “opname” (snapshot) dari apa yang saya alami pada hari ini. Saya tidak mungkin menggambarkan apa yang terjadi seminggu yang lalu atau sebulan yang lalu di kantor imigrasi tersebut. Namun asumsi saya, pasti tak akan jauh berbeda dengan kondisi yang saya alami pada hari ini. Hari ini, saya menemani isteri untuk memperpanjang paspornya.
Sebelum bercerita tentang pengalaman buruk yang saya alami hari ini, saya akan menuturkan terlebih dahulu pengalaman saya memperpanjang paspor saya kira-kira lima atau enam bulan yang lalu. Saya tiba di kantor imigrasi kira-kira pukul 7.15 dan memencet tombol antrian. Di situ sudah ada pengumuman bahwa mesin karcis antrian dibuka sampai jam 10 pagi. Saya mendapat nomor antrian 17. Pelayanan dimulai jam 8 pagi. Saya sudah “menyiapkan mental” (brace myself) bahwa urusan paspor ini pasti akan bertele-tele, bolak-balik ke kantor imigrasi beberapa kali tanpa ada kepastian, dipungli ini dan itu.
Ini didasarkan pada penuturan seorang kerabat yang melakukan pengurusan paspor secara online. Pengurusan paspor secara online tentunya dimaksudkan untuk mempermudah kita supaya tidak perlu mengantre berlama-lama. Kerabat saya ini sudah berhasil registrasi secara online dan sudah mentransfer biaya melalui bank yang ditunjuk dan kemudian mendapat email kapan dia dapat datang ke kantor imigrasi untuk diambil foto dan wawancara. Apa yang terjadi? Dengan entengnya petugas mengatakan bahwa pendaftaran online belum diterima di kantor, sehingga belum bisa diproses lebih lanjut. Selang beberapa hari kemudian, kerabat saya juga harus pulang dengan tangan hampa karena alasan yang sama. Pada kunjungan yang ketiga, petugas mengatakan bahwa pendaftaran online sudah diterima, namun belum bisa dilakukan pemotretan dengan alasan kamera sedang mengalami gangguan kerusakan teknis.
Emosi kerabat saya sudah mau meledak di ubun-ubun. Terlebih-lebih karena dia melihat dengan mata kepala sendiri ada sebagian orang yang ternyata bisa masuk ke ruangan pemotretan dan wawancara untuk diambil fotonya. Setelah bersitegang dan tarik otot leher dengan petugas, akhirnya kerabat saya “diizinkan” untuk diambil foto. Mengapa pendaftaran online dipersulit? Rasanya tidak sulit untuk mencari jawabannya. Yaitu karena semua transaksi dilakukan secara online, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk ditarik uang pungli. Karena itu, petugas melakukan gerakan balas dendam dengan mempersulit pendaftar paspor secara online.
Dari cerita-cerita “horor” ini, saya mendatangi kantor imigrasi dengan hati yang pesimistis sekitar lima atau enam bulan yang lalu. Tetapi, apa yang saya alami pada hari itu betul-betul suatu “surprise”. Hanya dalam satu kali kunjungan (dan hanya memakan waktu sekitar dua jam) urusan sudah selesai. Saya ingin memberi gambaran bagaimana proses ini berlangsung. Pertama, bila nomor antrian kita dipanggil, maka kita akan menghadap ke salah satu konter (ada empat konter) untuk menyerahkan berkas-berkas persyaratan (fotokopi KTP, KK, surat kelahiran/ijasah).
Pemeriksaan hanya berlangsung 2-3 menit dan (kedua) kita diminta untuk menunggu panggilan ke ruangan pemotretan dan wawancara. Saya menunggu sekitar 20 menit dan setelah diambil foto dan sidik jari, maka (ketiga) diberitahu untuk pergi ke loket resi pembayaran beaya paspor ke bank. Setelah saya menerima resi untuk pembayaran ke bank BNI (di mana saja di kota Palembang), maka selesailah sudah urusan saya. Disebutkan pada pengumuman bahwa buku paspor dapat diambil 3 (tiga) setelah pembayaran ke BNI sudah dilunasi. Sungguh melegakan dan hampir tak bisa dipercaya pelayanan begitu bagus.
Hari ini, lima atau enam bulan kemudian, saya mendatangi kembali kantor imigrasi untuk perpanjangan paspor istri saya dengan harapan yang tinggi (high expectation). Namun kemarin anak saya sempat menyindir bahwa pelayanan bagus yang saya alami beberapa bulan berselang, tak lain karena pada waktu itu sedang gencar-gencarnya dilancarkan operasi “saber pungli” (di mana Jokowi langsung turun tangan). Saya masih menyimpan harapan, at least pelayanan paspor ini masih cukup bagus kendati tak semulus lima atau enam bulan yang lalu.
Ternyata, sindiran anak saya ini menjadi kenyataan seperti mimpi buruk. Saya tiba di kantor imigrasi pada pukul 8 pagi karena saya tahu mesin karcis antrian ditutup pada pukul 10 pagi. Tapi sungguh mencengangkan, pada jam itu mesin karcis antrian dinyatakan sudah ditutup. Saya kecewa dan sudah akan pulang kembali. Tapi, dari bisik-bisik pendaftar yang memang sudah membeludak ternyata kita memperoleh karcis antrian dari orang dalam melalui petugas satpam dengan sedikit uang rokok. Dan ternyata bisikan ini benar adanya, saya berhasil mendapat karcis antrian dengan nomor antrian 118.
Belum lama duduk di kursi antrian, ada pengumuman dari speaker bahwa penerbitan resi pembayaran ke bank mengalami gangguan offline sehingga belum bisa diberikan kepada pendaftar pada hari ini. Rupanya gangguan offline ini sudah terjadi sejak hari Jumat lalu. Diperkirakan gangguan offlinedapat diatasi dua hari lagi, namun ini belum bisa dipastikan. Jadi, seandainya istri saya bisa menyerahkan berkas persyaratan dan menjalani pemotretan dan sidik jari, tetap harus datang kembali ke kantor imigrasi di lain hari.
Dari mengobrol dengan pendaftar di kursi sebelah, ternyata katanya pemidai sidik jari juga mengalami kerusakan. Waduh, alangkah sengsaranya kalau ini memang benar adanya. Berarti, sekalipun proses pemotretan bisa kita laksanakan pada hari ini, tetap harus datang kembali untuk proses pengambilan sidik jari.
Waktu beringsut dari jam ke jam dan saya beserta istri masih menunggu. Disebutkan pada pengumuman bahwa jam pelayanan dari pukul 8 sampai 12, sedangkan jam 12 sampai 13 istirahat makan siang. Dari petugas yang melayani penyerahan berkas persyaratan sebanyak empat loket, satu per satu berkurang hingga akhirnya tinggal satu orang saja menjelang pukul 11. Padahal pengantri masih membeludak.
Pada loket penyerahan buku paspor orang berjubel mengantre. Rupanya printer untuk mencetak buku paspor juga mengalami kerusakan sejak beberapa hari yang lalu. Mereka yang sudah memasukkan resi tanda pelunasan bank sejak pagi masih tetap menunggu panggilan hingga menjelang jam makan siang.
Seorang ibu-ibu yang sudah memasukkan resi pelunasan bank ini sejak pagi, tahu-tahu dipanggil oleh petugas penyerahan buku paspor. Bukan untuk menerima buku paspor, tapi untuk menerima kembali resi pelunasan bank. Kata petugas, mereka akan istirahat makan siang dan nanti resi itu disuruhnya dimasukkan kembali setelah jam 13. Tampak sekali kekesalan wajah ibu. Seorang bapak-bapak di sebelah saya yang juga sudah mengantri untuk mengambil paspor sejak pagi berkata sarkastik “Inilah pelayanan publik di Indonesia”.
Jam dinding menunjukkan pukul 11.45 dan nomor antrean yang sudah dipanggil menunjukkan angka 112. Karcis antrean di tangan saya adalah 118. Satu-satunya petugas yang masih tersisa di konter penerimaan berkas-berkas persyaratan mengangkat pantatnya tanda dia akan menyusul rekan-rekannya untuk istirahat makan siang. Saya bertukar pandang dengan istri seolah saling bertanya bagaimana sebaiknya langkah kita ini. Istri mengatakan bahwa dia siang ini ada appointment dengan seorang pasiennya. Berarti kita tak mungkin menunggu sampai jam 13. Berarti kita harus hengkang dengan tangan hampa. Sia-sia sudah berjam-jam kita menunggu tanpa hasil.
Apakah segala dalih perangkat ini dan itu mengalami kerusakan itu cuma akal-akalan petugas imigrasi untuk mempersulit kita? Menuduh tanpa bukti memang tidak bisa kita lakukan. Tapi aroma pungli terasa sangat keras tercium. Seorang ibu yang sangat kesal berkata “kalau tahu begini ribetnya mengurus paspor, lebih baik dia ikut nasehat suaminya yang katanya dengan 750 ribu melalui calo bisa cepat beres”. Tarif resmi paspor adalah 355 ribu.
Apakah keberengsekan pelayanan paspor ini cuma ada di kantor Palembang? Beberapa waktu silam, saya mendengar bahwa pelayanan paspor di DKI Jakarta sekarang sangat bagus. Tak ada pungli dan sangat singkat waktunya. Ini semua berkat kiprah Gubernur Ahok yang sangat tegas. Namun, saya sangat skeptis setelah Gubernur Ahok dinonaktifkan beberapa bulan ini, pelayanan paspor masih tetap sama primanya seperti dulu.
Boleh jadi, dia sudah sama berengseknya seperti kantor imigrasi Palembang. Di kantor imigrasi ini bertaburan spanduk besar “kawasan bebas korupsi”, jangan menggunakan jasa calo”, “bebas pungli”, namun semuanya hanyalah kata-kata hampa karena adagium pegawai negeri sipil “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” masih kuat bercokol dalam benak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H