Pada loket penyerahan buku paspor orang berjubel mengantre. Rupanya printer untuk mencetak buku paspor juga mengalami kerusakan sejak beberapa hari yang lalu. Mereka yang sudah memasukkan resi tanda pelunasan bank sejak pagi masih tetap menunggu panggilan hingga menjelang jam makan siang.
Seorang ibu-ibu yang sudah memasukkan resi pelunasan bank ini sejak pagi, tahu-tahu dipanggil oleh petugas penyerahan buku paspor. Bukan untuk menerima buku paspor, tapi untuk menerima kembali resi pelunasan bank. Kata petugas, mereka akan istirahat makan siang dan nanti resi itu disuruhnya dimasukkan kembali setelah jam 13. Tampak sekali kekesalan wajah ibu. Seorang bapak-bapak di sebelah saya yang juga sudah mengantri untuk mengambil paspor sejak pagi berkata sarkastik “Inilah pelayanan publik di Indonesia”.
Jam dinding menunjukkan pukul 11.45 dan nomor antrean yang sudah dipanggil menunjukkan angka 112. Karcis antrean di tangan saya adalah 118. Satu-satunya petugas yang masih tersisa di konter penerimaan berkas-berkas persyaratan mengangkat pantatnya tanda dia akan menyusul rekan-rekannya untuk istirahat makan siang. Saya bertukar pandang dengan istri seolah saling bertanya bagaimana sebaiknya langkah kita ini. Istri mengatakan bahwa dia siang ini ada appointment dengan seorang pasiennya. Berarti kita tak mungkin menunggu sampai jam 13. Berarti kita harus hengkang dengan tangan hampa. Sia-sia sudah berjam-jam kita menunggu tanpa hasil.
Apakah segala dalih perangkat ini dan itu mengalami kerusakan itu cuma akal-akalan petugas imigrasi untuk mempersulit kita? Menuduh tanpa bukti memang tidak bisa kita lakukan. Tapi aroma pungli terasa sangat keras tercium. Seorang ibu yang sangat kesal berkata “kalau tahu begini ribetnya mengurus paspor, lebih baik dia ikut nasehat suaminya yang katanya dengan 750 ribu melalui calo bisa cepat beres”. Tarif resmi paspor adalah 355 ribu.
Apakah keberengsekan pelayanan paspor ini cuma ada di kantor Palembang? Beberapa waktu silam, saya mendengar bahwa pelayanan paspor di DKI Jakarta sekarang sangat bagus. Tak ada pungli dan sangat singkat waktunya. Ini semua berkat kiprah Gubernur Ahok yang sangat tegas. Namun, saya sangat skeptis setelah Gubernur Ahok dinonaktifkan beberapa bulan ini, pelayanan paspor masih tetap sama primanya seperti dulu.
Boleh jadi, dia sudah sama berengseknya seperti kantor imigrasi Palembang. Di kantor imigrasi ini bertaburan spanduk besar “kawasan bebas korupsi”, jangan menggunakan jasa calo”, “bebas pungli”, namun semuanya hanyalah kata-kata hampa karena adagium pegawai negeri sipil “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” masih kuat bercokol dalam benak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H