Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perkara Bahasa Bisa Menjadi Ide Tulisan yang Menarik, Lho!

6 Juli 2016   12:16 Diperbarui: 6 Juli 2016   14:39 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: penningtonlibrary.org

Setiap penulis, profesional maupun amatir, selalu mendambakan setiap hari diberi ilham dan gagasan untuk membuat tulisan yang bagus. Namun dambaan itu tak selalu sesuai dengan harapan. Tak jarang otak terasa buntu, kering atau berkarat. Untuk mereka yang hobi menulis, episode ini memang membuat hati jadi frustrasi. Padahal sudah banyak penulis kondang yang mengatakan bahwa “writer’s block” ini normal-normal belaka, bahkan dialami juga oleh penulis-penulis yang sudah punya nama.

Sebetulnya, menurut saya, ide itu tidak seratus persen buntu atau tersumbat. Pepih Nugraha pernah mengatakan kebiasaan melakukan “freewriting” setiap hari akan mengasah kemampuan kita membuat sebuah tulisan. Saya setuju itu. “Freewriting” alias “menulis apa saja, tak perlu terikat pada suatu tema, tak perlu diliputi rasa cemas bahwa tulisan ini tak bagus”. Tapi, seperti saya katakan di atas, ide itu tak sepenuhnya mampet bak got di DKI yang kemarin tersumbat kulit kabel bertruk-truk banyaknya. Ide ini bisa muncul tanpa kita duga dari keseharian yang sangat rutin, mungkin waktu mengobrol dengan anggota keluarga atau teman kerja, mungkin waktu membaca koran atau membaca sebuah novel, mungkin waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga (sedang memasak di dapur, sedang mencuci mobil, sedang menyikat kamar mandi).

Bagi saya, kalau ide ini muncul, haruslah segera dicatat, apakah pada secarik kertas, atau pada status di Facebook. Pasalnya, kalau saya menunda mencatat ide tersebut sampai selesai mengerjakan “tugas pokok” biasanya ide itu akan hilang seperti ditelan bumi atau menguap seperti embun diterpa matahari pagi. Itulah sebabnya, saya sering membuat status di Facebook yang nampaknya tidak relevan dengan situasi pada hari itu. Yang banyak saya tulis di status adalah soal bahasa yang menjadi “passion” saya. Nanti kalau saya sudah ada waktu yang lebih longgar, barulah catatan yang ada di status Facebook itu saya tuangkan pada tulisan di Kompasiana. Apakah saya tidak khawatir, ide itu dicuri oleh penulis lain kalau saya paparkan secara terbuka di FB? Saya tak terlalu memusingkan hal itu, karena seperti adagium “lain koki, lain masakan”, bahan mentah yang sama apabila diramu oleh dua penulis berbeda, pasti akan menghasilkan tulisan yang berbeda cita rasanya.

Sekarang, saya membuktikan sebuah contoh bagaimana ide tulisan bisa muncul pada saat kita sedang membaca sebuah novel. Beberapa waktu yang lalu, saya membaca novel “My Name Is Red” karya pemenang hadiah Nobel dari Turki, Orhan Pamuk. Di suatu paragraf dari buku ini, saya menjumpai kata “Karun”. Tepatnya, kutipan dari paragraf tersebut berbunyi sebagai berikut [Maybe you’ve noticed that my father adores me. He had three sons before me, but God took them one by one and left me, his daughter. My father dotes on me, though I married a man not of his choosing. I went to a spahi cavalry soldier whom I’d noticed and fancied. If it were left to my father, my husband would not only be the greatest of scholars, he’d also have an appreciation for painting and art, be possessed of power and authority, and be as rich as Karun, the wealthiest of men in the Koran].

Terjemahan bebasnya: Barangkali Anda sudah melihat bahwa ayahku memujaku. Dia mempunyai tiga anak laki sebelum aku, namun Tuhan mengambil mereka, satu demi satu, dan menyisakan aku, anak perempuannya. Ayah selalu memanjakan aku, kendati aku mengawini lelaki yang bukan pilihannya. Aku bertemu dengan seorang tentara kavaleri dan jatuh cinta. Kalau kuserahkan pilihan jodohku pada ayah, suamiku bukan saja seorang cendekiawan yang paling hebat, dia juga akan mempunyai cita rasa pada lukisan dan seni, memiliki kekuasaan dan wibawa, dan sekaya Karun, lelaki paling kaya pada kitab suci Alquran.

Kata “karun” inilah yang mencetuskan ide saya. Dari sekolah dasar, kita sudah akrab dengan istilah “harta karun”, biasanya pada dongeng-dongeng tentang kekayaan yang disembunyikan di gua atau ditanam pada pulau terpencil. Tapi sejujurnya, saya tak mengetahui mengapa disebut “karun”. Ternyata, “Karun” ini adalah nama tokoh super kaya yang ada disebut pada Alquran. Dalam bahasa Arab dia ditulis dengan “Qarun” dan dalam bahasa Turki “Karun”. Pada kitab suci Perjanjian Lama (Old Testament), nama orang super kaya ini ditulis dengan “Korah” atau “Croesus”. Dulu, sewaktu masih duduk di bangku SMP, saya menghafalkan metafora bahasa Inggris “as rich as Croesus”. Siapa itu Croesus, saya tak tahu sama sekali. Sebagai anak sekolah, saya menghafal mati saja. Sekarang, saya baru tahu, mengapa ada istilah “harta karun” dan kiasan “as rich as Croesus”. Rupanya, Karun adalah Croesus dan Croesus adalah Karun.

Ide lainnya yang berkaitan dengan bahasa saya temukan pada saat membaca novel karya Leila S. Chudori terjemahan bahasa Inggris “Home”. Judul aslinya adalah “Pulang”. Ini novel yang mengambil latar belakang tragedi 1965 Gerakan 30 September. Novel ini menggambarkan orang-orang yang terbuang ke negara Eropa karena disangkakan terlibat pada komunisme. Terjemahan bahasa Inggrisnya luar biasa bagusnya, malah saya cenderung mengatakan dia lebih asyik dari aslinya yang berbahasa Indonesia. Pada salah satu paragraf, ada narasi tentang dua orang eksil di kota Paris, yang karena keahliannya memasak, berkongsi membuka restoran Indonesia di Paris. 

Inilah kutipannya [The difference between Mas Nug and me was pragmatism. Just as Mas Nug could imagine Agnes Baumgartner to be Rukmini, he could also see peanut butter an adequate substitute for freshly ground peanuts, the basic ingredient for gado-gado and satay sauces. I, on the other hand, insisted on culinary authenticity, the peanut sauce for gado-gado or satay could only be made from peanuts that first had been fried with grilled cashew nuts and then hand ground together with red and green chili peppers and a dash of kaffir lime juice].

Paragraf ini bertutur tentang perbedaan antara Nugroho dan Dimas, dua orang eksil yang sama-sama jago masak. Nugroho, ingin yang praktis dan pragmatis, misalnya untuk bumbu gado-gado dan sate, cukup memakai “peanut butter” sebagai pengganti. Dimas, sebaliknya ingin membuat bumbu kacang untuk gado-gado dan sate sesuai dengan pakemnya, sekalipun bahan bakunya (ingredient) cukup sulit didapat di Paris. Pertama, kacang tanah itu disangrai dengan kacang mente yang sudah dipanggang, lalu diulek (hand ground) bersama-sama dengan cabai merah dan cabai hijau plus perasan kaffir lime (a dash of kaffir lime juice). Hah, saya terkejut, apakah itu “kaffir lime”? Jeruk orang kafir?

Ternyata, setelah mencari rujukan di Google, barulah saya tahu dan “ngeh” bahwa “kaffir lime” adalah “jeruk purut”. Ikhwal asal muasal kenapa ada sebutan “kaffir” pada jeruk yang tekstur kulitnya berenjolan ini, masih ada silang pendapat. Ada yang mengatakan ini sebutan untuk penduduk asli Afrika Selatan, ada yang berpendapat ini nama daerah di Sri Lanka. Tak terlalu penting untuk diperdebatkan, namun yang unik buat saya adalah penamaan “kafir” untuk jeruk yang notabene tak punya agama itu.

Banyak lagi saya jumpai kata-kata yang nampaknya biasa-biasa saja (taken for granted) ternyata menyimpan kejutan yang mencerahkan. Misalnya istilah “money changer” (gerai untuk menukar valuta asing) di negara Malaysia dinamakan “Pengurup wang”. Saya teringat pada bahasa Jawa “urup” yang maknanya “tukar”. Kok bisa-bisanya Malaysia mengadopsi kata Jawa di kosakatanya. Ya, bisa saja, karena orang Jawa sudah berbilang abad merantau ke tanah Melayu. Atau, istilah “puasa” yang baru saja ditunaikan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Dari bahasa Arabkah istilah “puasa” ini? Ternyata bukan. Dia diserap dari bahasa Sansekerta “upavasa”, dus pengaruh dari agama Hindu. Kenapa bisa? Karena dalam agama Hindu pun ada puasa. Malahan praktis pada semua agama di dunia ada puasa. Istilah “puasa” ini selain dipakai di tanah air kita, juga digunakan oleh orang di Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina dan Thailand. Mengulik bahasa memang tak ada habis-habisnya dan selalu menarik. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun