Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Catatan Kecil Peristiwa G30S di Mata Seorang ABG

26 Mei 2016   15:35 Diperbarui: 30 September 2021   07:00 4432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang mengalami dan mampu memahami peristiwa G30S PKI pada tahun 1965? Pada tahun 1965, saya berusia 13 tahun. Saya mengalaminya, namun saya belum mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Menurut pendapat saya, untuk bisa memahami dengan baik, pada saat kejadian tragedi berdarah itu, sekurang-kurangnya kita harus sudah berusia 18 atau 19 tahun. Jadi, pada saat sekarang, generasi mereka ini sudah berusia 70 tahun.

Sudah cukup sepuh, malahan sebagian lagi sudah meninggal dunia. Ribut-ribut soal PKI dewasa ini, mendorong hati saya untuk menulis tentang periode gelap itu, meskipun seperti yang saya utarakan di atas, pemahaman saya sebagai anak puber di masa itu sangat superfisial (dangkal) dan sangat naif. Namun, tak ada salahnya saya tuangkan pada sebuah tulisan ringkas, paling tidak untuk memoir saya pribadi.

Di usia 13 tahun, saya sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Prolog tragedi G30S saya alami dalam suasana penuh gejolak. Banyak rapat raksasa diadakan yang menghimpun massa dalam jumlah besar, termasuk memobilisasi anak-anak sekolah. Yel-yel “ganyang Malaysia” diteriakkan orang di mana-mana. Poster karikatur PM Malaysia Tengku Abdurahman dengan dengan ciri khas kacamata tebal dan kumis model Hitler dijadikan bulan-bulanan untuk dihujat sebagai antek imperialis Inggris. 

Anak-anak sekolah juga dikerahkan pada rapat raksasa untuk bisa mendengarkan “indoktrinasi” ajaran pemimpin besar revolusi (PBR), Paduka Jang Mulia (PJM) Bung Karno. Tentu saja, pelajaran sekolah banyak yang ketinggalan karena seringnya kita diharuskan ikut pawai. Saking seringnya jargon “indoktrinasi” ini didengung-dengungkan, sampai orang membuat pelesetan dengan “endok teri nasi” artinya kalau ikut pawai kita bakal dapat endok (telur), ikan teri dan nasi. Tentu saja ini hanya ungkapan satiris dan sarkastis belaka.

Sebagai anak remaja, pada masa itu saya tidak melihat dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Atau lebih tepat tidak menyadarinya. Yang hanya terekam dalam benak saya, adalah pada suatu perayaan hari nasional (mungkin peringatan 17 Agustus) ada pawai berbagai elemen masyarakat yang melewati jalan besar (orang Surabaya menyebutnya dengan ‘embong’) di depan rumah saya. 

Yang masih jelas terbayang di memori saya adalah barisan pria berkostum busana khas Madura, baju hitam tanpa kerah dan celana komprang hitam menari massal sambil mengacungkan celurit di tangan mengikuti irama lagu “Genjer-genjer” yang dibawakan oleh kelompok drum band. 

Pada saat itu, saya bahkan tidak tahu bahwa mereka adalah representasi dari partai komunis. Setelah sekarang ribut-ribut dengan isu “kebangkitan komunisme” saya baru tahu bahwa lagu “Genjer-genjer” ini malah pernah dinyanyikan oleh Bing Selamet dan Lilies Surjani sebagai lagu rakyat.

Lagu yang sangat populer untuk membangkitkan semangat nasional adalah “Nasakom Bersatu”. Nasakom adalah akronim dari “Nasionalis Agama Komunis” yang menurut Bung Karno bersatu-padu untuk kejayaan Indonesia. Anak-anak sekolah kala itu pasti hafal menyanyikan lagu ini karena dikumandangkan setiap hari di Radio Republik Indonesia (RRI).

Saya masih ingat refrein lagu ini berbunyi “Nasakom bersatu/Singkirkan kepala batu/Nasakom satu cita/Sosialisme pasti jaya”. Di masa itu, lagu-lagu daerah seperti “Burung Tantina”, “Mande-mande”, “Ayam Den Lapeh” yang dinyanyikan oleh biduan/biduanita sering menghiasi siaran RRI.

Sesuai dengan instruksi Bung Karno untuk memberantas segala produk kesenian dan kebudayaan nekolim (neo kolonialisme imperialisme) yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, segala lagu ngak-ngik-ngok dirazia dan diberangus. Piringan hitam lagu-lagu Barat disita dan dihancurkan. 

Demikian pula gaya busana rok span dan rambut sasak pada wanita diganyang. Saya masih ingat, pada suatu malam, kami sekeluarga sedang berjalan-jalan di Taman Hiburan Rakyat (THR) ternyata ada kegemparan orang-orang pada berlarian. Rupanya di THR sedang dilakukan razia oleh tentara terhadap wanita yang berbusana rok span. 

Tentara ini membawa gunting besar dan wanita yang kedapatan mengenakan rok span langsung digunting roknya. Kebetulan waktu itu ibu saya mengenakan rok span berwarna biru Ben Hur, sehingga begitu mendapat informasi dari orang-orang bahwa petugas razia sedang bergerak menuju ke arah kami, tunggang-langganglah kami meninggalkan THR.

Masa pra-G30S juga ditandai dengan hidup susah. Untuk membeli keperluan hidup sehari-hari (zaman itu sudah ada istilah ‘sembilan bahan pokok’, namun belum diakronimkan menjadi ‘sembako’) orang harus mengantri. Beras mengantri, minyak tanah mengantri (di Surabaya minyak tanah disebut ‘lengo gas’), tepung terigu mengantri, itu pun jumlah yang boleh dibeli dibatasi. 

Maka tak heran pada masa itu banyak tukang catut bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Bahkan yang aneh, untuk menonton bioskop pun kita harus beli karcis lewat tukang catut. 

Kelangkaan barang-barang kebutuhan sehari-hari ini, membuat Bung Karno geram dan menuduh pedagang menimbun barang. Istilah yang dipakainya adalah “manipulator”. Masa itu begitu sulit mendapatkan beras, sampai disosialisasikan agar masyarakat beralih makan bulgur. 

Saya masih beruntung tidak sempat makan bulgur, meskipun masih ingat beras yang kita beli banyak kutunya dan gabahnya. Radio Malaysia yang menjadi seteru kita dalam konfrontasi ganyang Malaysia dalam propagandanya mengolok-olok dengan slogan “Horas bah, habis beras makan gabah”.

Tibalah hari kelam peristiwa pemberontakan G30S PKI. Sebagai anak remaja, saya tidak begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hanya terasa ada suasana mencekam. Dikabarkan ada penculikan dan pembunuhan jenderal. Para pemberontak kemudian menguasai RRI. 

Kalau diproyeksikan ke masa sekarang, terasa lucu sekali ya, orang kudeta pertama kali menguasai RRI. Siapa yang mau repot-repot menduduki RRI, wong yang mendengarkan siarannya juga kagak ada. Tapi pada masa itu memang RRI adalah salah satu obyek vital. Semua orang memasang kuping pada radio pemerintah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Penamaan kudeta ini juga berubah-ubah. Sempat disebut dengan “Gestapu” (akronim ‘Gerakan September Tiga Puluh’) untuk menyerupai nama Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam. Tapi terus dikoreksi lagi menjadi “Gestok” (akronim “Gerakan Satu Oktober’). 

Namun tak berlangsung lama istilah Gestok ini dikoreksi kembali, karena menurut versi pemerintah tanggal 1 Oktober 1965 adalah hari penggagalan kudeta yang dilakukan oleh PKI, sehingga istilah dikembalikan lagi menjadi Gestapu. Yang saya banyak mendengar di radio dan membaca di koran sebagai dalang gerakan ini adalah Letkol Untung, komandan pasukan Cakrabirawa (kalau sekarang adalah Paspampres). Saya malah tidak mengikuti berita.

Hari-hari berikutnya pascakudeta G30S diliputi dengan banyak kebingungan dan kekacauan. Tak ada berita yang bisa diverifikasikan karena kita diliputi oleh rasa ketakutan. Ketakutan ini bersumber pada rumor bahwa banyak orang PKI yang dikejar-kejar dan dibantai. Saya mendengar cerita bahwa tidak sedikit orang yang dipanggil pulang ke desa asalnya. 

Di sana, sudah siap anasir-anasir yang akan mengalungkan celurit ke leher mereka sembari memerintahkan mengucapkan kalimat syahadat. Kalau tidak sanggup melafalkannya, maka tanpa ampun langsung ditebas lehernya dengan celurit tadi. Juga rumornya kali Brantas sampai berubah warna merah saking banyaknya korban pembantaian yang dilempar ke sungai ini. 

Ini tentunya desas-desus yang saya dengar, bukan kesaksian yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Perampasan gedung-gedung yang disangkakan berafiliasi dengan PKI saya saksikan, termasuk gedung-gedung sekolah China yang umumnya bagus-bagus. Kebanyakan gedung-gedung ini berubah menjadi instalasi militer (masa itu bernama ABRI).

Rasa takut ini sedemikian akutnya sehingga orang tidak rasional lagi. Ada lagu pop yang cukup tenar waktu itu berjudul “Sapu Tangan Merah Jambu”. Liriknya menggambarkan ucapan selamat ulang tahun kepada sang kekasih dan memberikan hadiah sapu tangan berwarna merah jambu. Penyanyi lagu ini S. Warno. Entah dari mana sumbernya, tahu-tahu lagu ini disebut-sebut berafiliasi dengan PKI. Akhirnya, untuk amannya orang tidak berani lagi menyanyikan lagu ini.

Buku-buku ajaran Bung Karno dienyahkan dan dibuang jauh-jauh. Saya masih ingat, buku yang berisi foto-foto koleksi lukisan dan benda seni Bung Karno dan dicetak di atas kertas luks, dipereteli orang dan dijual ketengan per lembar dengan harga murah. Ada lukisan Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong yang indah-indah. Lumayan lembar foto lukisan ini bisa dipigura dan dipasang di dinding kamar. Kalau dipikir aneh sekali, buku lukisan yang tak ada sangkut pautnya dengan PKI juga ditabukan.

Dan kemudian, keluarlah sejumlah ketetapan MPRS yang bertalian dengan pemerintahan Orde Baru (Orba). Cukup banyak Tap MPRS ini dan oleh guru civics kami diwajibkan untuk menghafalkannya. Kalau dipikir-pikir kembali, anak-anak sekolah zaman dulu banyak sekali harus menghafalkan pelajaran. Tap MPRS harus hafal di luar kepala, Mukadimah UUD 45 harus hafal, semua pasal-pasal UUD 45 harus hafal. 

Tapi, gara-gara G30S PKI, semua sekolah dari SD, SMP sampai SMA tahun ajarannya menjadi molor. Yang seharusnya berakhir bulan Agustus diperpanjang menjadi bulan Januari. Bagaimana dengan murid-murid eks sekolah China yang ditutup? Mereka ditampung di sekolah swasta/partikelir namun kelasnya diturunkan satu atau dua tingkat. Jadi yang tadinya sudah mengenyam duduk di bangku kelas 2 atau 3 diturunkan kembali menjadi kelas 1.

Inilah sekelumit memori yang masih saya ingat di seputar masa peristiwa G30S PKI. Kini ada wacana untuk mengadakan rekonsiliasi dengan membuka kembali lembaran hitam dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Saya mendukung gagasan ini, bukan untuk mengungkit-ungkit kembali siapa yang bersalah. Tetapi ibarat anak pungut yang dirahasiakan asal-usulnya selama berpuluh tahun, kita perlu mendapat fakta sejarah yang sebenar-benarnya tentang periode kelam itu. 

Tak mengapa siapa saja yang terlibat di sana, baik sebagai korban langsung maupun tak langsung mengeluarkan isi hatinya yang terpendam selama ini. Sama sekali tak beralasan kalau upaya ini dianggap sebagai gerakan untuk menghidupkan paham komunisme. Dengan dibuka seluas-luasnya kesempatan untuk mengungkap peristiwa ini, saya yakin kita akan semakin solid dan tanpa beban sejarah menapak jalan ke depan sebagai bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun