Ini tentunya desas-desus yang saya dengar, bukan kesaksian yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Perampasan gedung-gedung yang disangkakan berafiliasi dengan PKI saya saksikan, termasuk gedung-gedung sekolah China yang umumnya bagus-bagus. Kebanyakan gedung-gedung ini berubah menjadi instalasi militer (masa itu bernama ABRI).
Rasa takut ini sedemikian akutnya sehingga orang tidak rasional lagi. Ada lagu pop yang cukup tenar waktu itu berjudul “Sapu Tangan Merah Jambu”. Liriknya menggambarkan ucapan selamat ulang tahun kepada sang kekasih dan memberikan hadiah sapu tangan berwarna merah jambu. Penyanyi lagu ini S. Warno. Entah dari mana sumbernya, tahu-tahu lagu ini disebut-sebut berafiliasi dengan PKI. Akhirnya, untuk amannya orang tidak berani lagi menyanyikan lagu ini.
Buku-buku ajaran Bung Karno dienyahkan dan dibuang jauh-jauh. Saya masih ingat, buku yang berisi foto-foto koleksi lukisan dan benda seni Bung Karno dan dicetak di atas kertas luks, dipereteli orang dan dijual ketengan per lembar dengan harga murah. Ada lukisan Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong yang indah-indah. Lumayan lembar foto lukisan ini bisa dipigura dan dipasang di dinding kamar. Kalau dipikir aneh sekali, buku lukisan yang tak ada sangkut pautnya dengan PKI juga ditabukan.
Dan kemudian, keluarlah sejumlah ketetapan MPRS yang bertalian dengan pemerintahan Orde Baru (Orba). Cukup banyak Tap MPRS ini dan oleh guru civics kami diwajibkan untuk menghafalkannya. Kalau dipikir-pikir kembali, anak-anak sekolah zaman dulu banyak sekali harus menghafalkan pelajaran. Tap MPRS harus hafal di luar kepala, Mukadimah UUD 45 harus hafal, semua pasal-pasal UUD 45 harus hafal.
Tapi, gara-gara G30S PKI, semua sekolah dari SD, SMP sampai SMA tahun ajarannya menjadi molor. Yang seharusnya berakhir bulan Agustus diperpanjang menjadi bulan Januari. Bagaimana dengan murid-murid eks sekolah China yang ditutup? Mereka ditampung di sekolah swasta/partikelir namun kelasnya diturunkan satu atau dua tingkat. Jadi yang tadinya sudah mengenyam duduk di bangku kelas 2 atau 3 diturunkan kembali menjadi kelas 1.
Inilah sekelumit memori yang masih saya ingat di seputar masa peristiwa G30S PKI. Kini ada wacana untuk mengadakan rekonsiliasi dengan membuka kembali lembaran hitam dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Saya mendukung gagasan ini, bukan untuk mengungkit-ungkit kembali siapa yang bersalah. Tetapi ibarat anak pungut yang dirahasiakan asal-usulnya selama berpuluh tahun, kita perlu mendapat fakta sejarah yang sebenar-benarnya tentang periode kelam itu.
Tak mengapa siapa saja yang terlibat di sana, baik sebagai korban langsung maupun tak langsung mengeluarkan isi hatinya yang terpendam selama ini. Sama sekali tak beralasan kalau upaya ini dianggap sebagai gerakan untuk menghidupkan paham komunisme. Dengan dibuka seluas-luasnya kesempatan untuk mengungkap peristiwa ini, saya yakin kita akan semakin solid dan tanpa beban sejarah menapak jalan ke depan sebagai bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H