Bolehkah media massa melakukan eufemisme (penghalusan istilah) pada saat menerjemahkan berita berbahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia? Akan ada yang menjawab 'ya' dan 'tidak' terhadap pertanyaan ini. Yang pasti, dengan dilakukan eufemisme ini, kejelasan (clarity) berita akan terkaburkan, sedikit atau banyak. Akibatnya pembaca akan mendapat informasi yang melenceng (misleading information). Kita lihat dua contoh penerjemahan yang memakai eufemisme di bawah ini.
Son of a Whore
Kemarin, saya membaca berita di Kompas. presiden terpilih Filipina, Duterte, akan pergi ke Vatikan untuk meminta maaf secara pribadi. Inilah kutipan berita dimaksud:
[Presiden Filipina terpilih, Rodrigo Duterte, berencana berkunjung ke Vatikan. Duterte secara personal akan meminta maaf kepada Paus Fransiskus secara langsung atas ucapannya yang tidak pantas saat kampanye lalu.
Sebagaimana diwartakan media massa global, Wali Kota Davao di Pulau Mindanao itu pernah menyebut Paus sebagai sosok anak perempuan penghibur. Sontak ungkapan itu membuat kaget warga Filipina. Sebanyak 80 persen warga negeri itu adalah penganut Katolik. Paus sendiri adalah pemimpin umat Katolik sedunia.]
Dan juga pada alinea 5 dan 6:
[Duterte dalam kampanyenya memang beberapa kali menggunakan bahasa cukup kasar, entah disengaja atau pun tidak oleh dirinya. Hal itu acap kali dilakukannya untuk menunjukkan kekuranghormatannya kepada sejumlah tokoh. Terhadap sosok Paus, misalnya, ucapan kasarnya keluar ketika kemacetan melanda Manila saat Paus berkunjung ke kota tersebut tahun lalu. Ucapan serupa pernah ditujukannya kepada Presiden Benigno Aquino.
"Perlu lima jam untuk keluar dari hotel menuju bandara. Saya tanyakan siapa yang datang. Mereka bilang Paus. Saya ingin berteriak kepadanya, 'Hei Paus, anak perempuan penghibur, pulanglah. Jangan datang lagi ke sini'," ujar Duterte.]
Dari kata-kata apa keluar terjemahan “anak perempuan penghibur” ini?
Inilah kurang lebih versi bahasa Inggrisnya:
[The Philippines’ controversial new president, Rodrigo Duterte, wants to visit the Vatican to apologize for calling Pope Francis the “son of a whore” on his campaign trail.
Referencing the papal visit to the strongly Catholic country in January 2015, Duterte said: “It took us five hours to get from the hotel to the airport. I asked who was coming. They said it was the pope. I wanted to call him: ‘Pope, son of a whore, go home. Don’t visit anymore.’”].
Membandingkan keduanya kita bisa langsung mengetahui bahwa telah terjadi 'penghalusan terjemahan' dari kata-kata 'son of a whore' menjadi 'anak wanita penghibur'. Tentu saja penerjemahan ini sudah keluar dari konteksnya. Kita semua sudah mafhum bahwa kata 'whore' adalah kata umpatan/penghinaan yang berpadanan dengan 'pelacur' atau 'lonte' dalam bahasa kita.
Dan itulah yang keluar dari mulut presiden terpilih, Duterte, pada masa kampanye pilpresnya. Jadi, menurut pendapat saya, ucapan kasar ini seyogianya diterjemahkan apa adanya saja yaitu 'anak pelacur' atau 'anak lonte'. Tak diperlukan eufemisme (penghalusan) supaya pembaca mendapat gambaran secara utuh tentang perilaku kasar presiden terpilih Filipina ini. Sekurang-kurangnya, masukkan ujaran asli Duterte ini yaitu 'son of a whore' kemudian diberi terjemahan dalam tanda kurung 'anak pelacur' dalam pemberitaan. Dengan begitu, pembaca akan memperoleh gambaran yang lengkap tentang duduk perkara yang sebenarnya.
Ransom = Mahar
Beberapa hari berselang, saya membaca berita pembebasan empat anak buah kapal Indonesia dari tangan Abu Sayyaf di suatu media online. Judul yang dituliskan di situ adalah 'Pembebasan 4 WNI Disebut Libatkan Mahar 50 Juta Peso'.