Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mendambakan Kartun Jokowi yang "Nyelekit"

3 Mei 2015   16:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup mengherankan bagi saya, media cetak dan media online tak pernah membuat kartun Jokowi, sebagai presiden, yang satiris atau sarkastik. Padahal, di media sosial, Jokowi sudah kenyang dihujat, dimaki, dicerca, dipisui sedemikian vulgarnya. Apakah karena “mainstream media” merasa gamang dan “takut” membuat kartun Jokowi yang “nyelekit”? Rasanya bukan itu alasannya, karena semenjak Presiden Soeharto lengser, kebebasan pers tidak diberangus lagi. Di masa pemerintahan Presiden SBY, cukup sering saya jumpai kartun SBY yang lumayan sarkastik di media-media cetak nasional. Berbeda sekali dengan Jokowi (paling tidak hingga saat ini). Kalau pun ada kartun yang menggambarkan sosok Jokowi, pada umumnya “memuji-muji” dan “mengagung-agung” dirinya. Ada kartun Jokowi di Kompas yang menggambarkannya sedang menarik kereta yang bermuatan portofolio Kabinet Kerja menuju ke masa depan Indonesia yang cemerlang. Ada lagi kartun goresan GM Sudarta yang menggambarkan Jokowi memutuskan rantai belenggu yang bertuliskan “Tekanan” dan “Kepentingan” di kedua pergelangan tangannya. Pokoknya, kartun yang bernada puja dan puji kepada Jokowi. Padahal, kita semua mafhum bahwa pakem sebuah kartun adalah pada “ketajaman kritik dan sindiran” yang dimetaforakan. Mungkinkah pers mainstream masih ewuh-pekewuh (sungkan) dan tidak sampai hati mengkritik Presiden Jokowi dalam editorial cartoon mereka?

[caption id="attachment_381621" align="aligncenter" width="640" caption="ilust canberratimes"][/caption]

Saya lantas mencoba mencari kartun Jokowi pada pers di luar negeri. Tidak banyak kartun Jokowi yang saya temukan pada pers luar negeri, meskipun Jokowi sangat populer di negeri sendiri. Kartun-kartun Jokowi yang saya temukan berasal dari media Australia, karena selain kita bertetangga dan ada sejumlah issue yang cukup menonjol dalam hubungan kedua negara. Dan yang paling mengemuka tentunya issue hukuman mati yang dikenakan pada dua warga negara Australia, Andrew Chan dan Sukumara. Pada kartun di suratkabar “Canberra Times” tergambar Jokowi sedang berbincang dengan Menlu Australia Julie Bishop di samping regu tembak yang siap mengeksekusi terpidana mati. Jokowi nampak mengenakan peredam kuping (earplug) dan berujar kepada Julie Bishop: “Nothing personal,Julie...General aversion to loud noises” (terjemahan bebasnya: ‘Jangan salah sangka, Julie... Saya tutup kuping karena tidak tahan dengan suara keras’) mengacu pada letusan senjata api yang akan memuntahkan peluru. Tentu ini sindiran keras kepada Jokowi yang menutup kuping (turn a deaf ear) terhadap semua imbauan dan upaya diplomatik yang dilakukan oleh Menlu Australia tersebut. Nampak pada kartun ini, wajah Julie Bishop yang berang dan meradang mendapat jawaban yang “nyeleneh” dari Jokowi tersebut. Kartun ini digambar oleh Pat Campbell, salah satu kartunis kenamaan Australia.

[caption id="attachment_381624" align="aligncenter" width="621" caption="ilust canberratimes"]

1430646365185344359
1430646365185344359
[/caption]

Pada kartun yang lain, tergambar Jokowi sedang mengadakan pembicaraan telepon dengan Perdana Menteri Australia, Toni Abbott di kantor kepresidenan. Issue-nya masih terkait dengan imbauan Toni Abbott tentang pembatalan hukuman mati duo Bali Nine. Di dalam rekaman suara telepon Toni Abbott tertulis “Don’t forget the aids” yang mengacu pada bantuan kemanusiaan yang sudah diberikan Australia pada bencana tsunami di Aceh. Ucapan ini dibalas dengan telak oleh Jokowi dengan “Don’t forget the boat”. Ya, Australia memang juga berutang budi kepada Indonesia menyangkut masalah “pengungsi perahu” yang banyak ditampung oleh Indonesia. Di dalam negeri Australia sendiri, kebijakan Toni Abbott sering diperolok dan dianggap sebagai kebijakan orang dungu. Belum lagi kalau melihat sosok kartun Abbott yang digambarkan hidung runcing dan mulut seperti setangkup hotdog dan selalu dicitrakan telanjang hanya mengenakan cawat berwarna merah.

[caption id="attachment_381623" align="aligncenter" width="640" caption="ilust canberratimes"]

14306460272093019563
14306460272093019563
[/caption]

Dan satu lagi kartun yang digambar oleh kartunis Pope, melukiskan Jokowi dan Abbott yang sedang melukis seorang model yang sedang terikat pada kursinya dan matanya ditutup. Pada palet Jokowi tertulis “Stop The Drugs” sedangkan pada palet Abbott tertulis “Stop The Boat”. Kedua slogan ini memang merupakan “jualan” politik yang paling seksi di negara masing-masing. Tersebut di situ ucapan Jokowi “But can we afford to let individual figures distract the eye, Tony, from imposing sweep of a political narrative? (terjemahan bebas: Tapi kira-kira, bisakah kita membuat angka-angka ini mengelabui mata, sesuai dengan skenario politik?) Saya memang mendambakan pers nasional juga bisa menampilkan kartun Jokowi yang nyelekit seperti kartun-kartun di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun