Dari putri saya yang berkarier di hotel berbintang empat di metropolitan Toronto, Kanada, saya mendapat cerita yang menarik untuk saya share-kan di sini. Tentu saja, ini true story, bukan cerita rekaan sekadar untuk mencari efek lucu. Inilah ceritanya: Siang tadi, staf front desk mendapat komplain dari seorang tamu hotel yang berasal dari Tiongkok Daratan (sebutan dalam bahasa Inggris ‘mainland china’). Tamu ini melapor bahwa microwave di kamarnya “stuck” (macet, tidak bisa dibuka). Petugas front desk kebingungan, karena di kamar hotel tidak ada microwave, dan yang ada cuma kulkas kecil. Tapi anyway, petugas ini datang ke kamar untuk memeriksa.
Apa yang didapatinya di situ sungguh merupakan surprise besar. Ternyata si tamu ini memasukkan sandwich ke dalam safe deposit box yang disediakan di kamar, memencet tombol digital sesuai dengan berapa menit yang diinginkan, lantas menutup pintunya. Keruan saja, waktu mau dibuka tidak bisa lagi karena terkunci. Dan parahnya, si tamu ini belum juga sadar bahwa sandwich-nya bukan dimasukkan ke dalam microwave, tetapi masuk safe deposit box. Putri saya ngakak terbahak-bahak mendengar penuturan, sembari berkomentar “di abad 21 ini rupanya masih ada orang yang tidak bisa membedakan microwave dan safe deposit box”.
Bukan bermaksud rasis, namun wisatawan chinese di zaman sekarang benar-benar merambah dunia, karena kemajuan kemakmuran di Tiongkok yang luar biasa. Mereka berwisata dengan membawa banyak uang, namun karena termasuk OKB (orang kaya baru), wawasannya masih norak bin kampungan bin ndeso. Waktu saya berwisata ke Eropa beberapa bulan silam, di mall prestisius Lafayette, Paris, saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa membludak chinese tourists ini. Tas-tas branded yang harganya ratusan juta diborongnya tanpa ditawar lagi. Karena itulah, menurut tour leader kami, orang chinese ini merusak harga, karena tas-tas branded ini semakin lama semakin mahal. Dan semakin sulit didapat, sehingga harus dipesan dalam daftar antrian.
Bicara soal “katrok”, saya mungkin termasuk di dalamnya. Waktu menginap di hotel Novotel Paris, saya dan istri melihat bahwa tempat tidurnya tidak dilengkapi dengan selimut dan bed cover. Yang nampak di kasur adalah sprei yang berwarna putih. Ingin bertanya ke front desk malu takut dianggap katrok. Alhasil, kami berdua tidur sambil menggigil kedinginan sepanjang malam. Ternyata, paginya baru kami tahu, bahwa “sprei putih” itu adalah selimut merangkap bed cover. Jadi seharusnya, kami menyelinap masuk ke bawah “sprei putih” itu. Maklum dalam bayangan saya, biasanya selimut dipasang di bagian kaki dan warnanya juga berwarna, bukan putih polos. Ini kenangan kekatrokan kami yang tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H