Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Gara-gara Diakritik Dihapuskan dalam Wacana Indonesia

14 November 2013   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:10 3349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13844210311515501054

[caption id="attachment_292231" align="aligncenter" width="538" caption="contoh diakritik (ilust books.google.co.id)"][/caption]

Di zaman sebelum tahun 1960an, dalam wacana tulis, kita selalu menjumpai ’noktah mungil’ yang biasanya dibubuhkan di atas huruf hidup (huruf vokal), seperti huruf ”e” dan ”o”. Contohnya, penulisan kata ’mèrah, merèka, gerèja, Amérika, témpé, idé, Madé (nama orang Bali), tókó, pidató, fótó dan sebagainya. Dia adalah satu dari sekian banyak noktah-noktah yang dinamakan dengan diakritik. Akan halnya simbolisasi huruf ”e” ada sebutan ”e pepet” dan ”e taling”. ”E pepet” tak diberi atribut apa-apa, dan ”e taling” diberi atribut garis miring, ada yang miring ke kiri (è) dan ada yang miring ke kanan (é).

”E taling” ini dalam istilah lingustik dinamakan dengan ’accent’ dan dibedakan antara ”e taling dengan garis miring ke kiri” (dinamakan grave) dan ”e taling dengan garis miring ke kanan” (dinamakan acute). Sama pula hal, dahulu kita menerapkan pembedaan pada ”o pepet” dan ”o taling”. Contoh ”o pepet” misalnya ”bola, dosa, tokoh”, sedangkan ”o taling” (ó), terwakili pada kata ”tókó, pidató, fótó”. Tentu saja pembubuhan diakritik ini ada tujuannya yaitu supaya kita dapat melafalkan kata bersangkutan dengan benar. Namun atas nama kepraktisan, diakritik ini dihapuskan dari khazanah bahasa Indonesia (dan juga bahasa Melayu), dengan berasumsi orang Indonesia sudah tahu kapan memakai e pepet, kapan e taling, kapan o pepet, kapan o taling.

Bentuk diakritik lain yang sudah sirna dari wacana tulis adalah ”tanda koma di atas” yang dalam istilah bahasa dinamakan apostrophe (baca: apostrofi). Di zaman dahulu, kita akan menjumpai penulisan ”Jum’at, manfa’at, reka’at, sesa’at” dan sebagainya. Simbol ini untuk menyatakan bahwa suku kata yang dipisahkan oleh apostrophe ini harus dilafalkan secara sendiri-sendiri. Dahulu juga pernah dipakai diaresis (simbol titik dua di atas huruf) dengan maksud pelafalan yang sama. Jadi, tempo dulu ’perkataan’ diaksarakan dengan ’perkataän’, ’kooperatif’ diaksarakan dengan ’koöperatif’, ’naif’ diaksarakan dengan ’naïf’ dan seterusnya. Dewasa ini, karena apostrophe dan diaresis dihapuskan, maka orang beranggapan bahwa semua huruf vokal ganda (aa, oo, ee) dilafalkan sebagai dua suku terpisah.

Kerunyaman terjadi pada saat melafalkan nama orang, nama tempat yang masih menganut ejaan gaya Belanda. Contoh yang paling nyata bagi saya adalah nama pribadi saya sendiri yaitu Gustaaf. Pelafalannya tentu bukan ’gus-ta-af’ (tiga suku kata), melainkan cukup ’gus-taf’ saja dengan suara ”a” yang sedikit dipanjangkan. Hal ini berlaku pula untuk nama marga orang Minahasa seperti Martha Tilaar (bukan dilafalkan ”ti-la-ar”) atau Pantje Pondaag (bukan dilafalkan ”pon-da-ag”). Namun menggelikannya, sebutan keliru ”Ti-la-ar” ini malah sekarang menjadi brand name yang mapan. Saya juga teringat nama sebuah kota di Nusa Tenggara Timur yang bernama Soe. Pembaca berita di televisi selalu menyebutnya dengan ”su”, karena berasumsi ’oe’ harus dilafalkan dengan ’u’. Padahal kota ini dahulu kala ditulis dengan Soë yang berarti harus dilafalkan dengan ”So-E” (dua suku kata).

Dalam bahasa Inggris diakritik memang termasuk sangat jarang dipakai, meskipun tetap ada beberapa yang dituliskan untuk membedakan dua kata yang tereja persis sama, misalnya kata resume (yang bermakna ’melanjutkan’) dan resumé (yang bermakna ’ringkasan). Orang asing yang sedang belajar bahasa Indonesia saya pikir paling repot menebak apakah sebuah kata yang ada huruf vokal ’e’ atau ’o’ selayaknya dilafalkan dengan ’e pepet’ atau ’e taling’, terlebih yang menyerap dari bahasa Jawa, misalnya kata ’melèk’, ’seret’ (bisa ’sèrèt’ = to drag, bisa ’seret’ = constricted), ’pèsèk’, ’bèdèng’, ’tèdèng aling-aling’, èdan’ dan sebagainya. Yang lebih memprihatinkan orang Indonesia sendiri sering ’salah’ melafalkan kata-kata yang mengandung huruf ’e’ ini, misalnya kata ’ide’ yang seharusnya dilafalkan dengan ’i-dé’ malah diucapkan dengan ’i-de’ (e pepet), nama orang Bali ’Made’ yang seharusnya dilafalkan dengan ’ma-dé’ diucapkan dengan ’ma-de’ (e pepet). Memang menggelikan. Sepertinya lebih bagus pengaksaraan zaman dulu, sekalipun rada ribet harus membubuhkan diakritik ini. Yang jelas, dengan diakritik ini kita tak akan salah ucap di mana pun dan kapan pun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun