Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengatakan 'Stigma Negatif', Sudah Tepatkah?

23 Desember 2012   11:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:09 4178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_223485" align="aligncenter" width="590" caption="(ilust dokumentasi pribadi)"][/caption]

Bulan yang lalu, di sebuah suratkabar nasional terbaca judul ’Menghapus Stigma Negatif Bung Karno’ dalam kerangka wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno. Saya ingin mengkaji pemakaian istilah ’stigma negatif’ ini dari pendekatan bahasa. Pada KBBI ’stigma’ dimaknai dengan ’ciri negatif yg menempel pd pribadi seseorang krn pengaruh lingkungannya’ (definisi ke 7). Pada kamus Oxford ’stigma’ dimaknai dengan ’a mark of disgrace associated with particular circumstances, quality, or person’ (suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang).

Dari dua definisi kamus yang saya rujuk ini, sudah jelas tergambar bahwa bahwa kata ’stigma’ secara inheren selalu bersifat negatif. Oleh karenanya, penggunaan istilah ’stigma negatif’ pada suratkabar tersebut, menurut saya sudah tergelincir pada gaya bahasa pleonasme (menggunakan kata-kata yang berlebihan untuk menggambarkan sesuatu hal). Sebelum mengupas sedikit soal pleonasme, saya ingin berbagi pengetahuan mengenai kata ’stigma’ ini.

Kata ’stigma’ ini mulai dipakai orang pada tahun 1593, untuk merujuk pada cap besi panas yang diterakan pada hewan ternak untuk menandakan kepemilikan. Selanjutnya kata ’stigma’ ini juga diartikan sebagai ’cap dari besi panas yang dibubuhkan pada kulit para budak dan penjahat untuk menandai bahwa mereka adalah kelompok orang yang ternista (negatif) yang perlu dijauhi masyarakat. Bentuk ganda (plural) dari ’stigma’ adalah ’stigmata’. Yang menarik, kata ’stigmata’ itu sendiri kini mempunyai makna yang spesifik yaitu ’tanda bekas luka di tangan dan kaki dan juga di lambung seperti yang dialami oleh Yesus Kristus pada waktu disalibkan’. Sejumlah orang kudus dicatat dalam sejarah pernah mengalami ’stigmata’ ini, antara Santo Franciscus de Assisi.

Kembali kepada persoalan pleonasme, dalam semua bahasa di dunia memang tak dimungkiri selalu ada. Terasa lucu dan aneh, tetapi karena sudah menjadi kelaziman orang biasanya tak menyadari lagi sudah ’keliru’ mengatakannya. Ambillah contoh kata ’kipas angin’. Tanpa melihat pada kamus pun, semua dari kita mahfum bahwa ’kipas’ adalah alat untuk menghasilkan angin. Dan lebih lebih menggelikan lagi, ternyata istilah ’kipas angin’ dipakai untuk merujuk kepada kipas yang digerakkan oleh listrik, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan ’electric fan’. Istilah bahasa Inggris ini sudah pas dan akurat, karena maknanya secara harfiah adalah ’kipas listrik’. Namun itulah, karena sudah terlanjur kelirumologi, kita sekarang selalu menggunakan kata ’kipas angin’ untuk mengacu pada kipas yang dijalankan oleh tenaga listrik itu.

Bentuk pleonasme yang lucu lainnya adalah istilah ’berjalan kaki’, misalnya pada kalimat: Kemarin dia pulang berjalan kaki dari kantor. Yang dinamakan ’berjalan’ sudah pasti dengan kaki, bukan? Dan tak pernah dengan dengan tangan. Kata lain yang menurut saya juga masuk golongan pleonasme adalah istilah ’daur ulang’. Dalam KBBI kata ’daur’ dimaknai dengan ’sistem keadaan (fase) yang keadaannya sekarang dapat berulang pada suatu saat di masa mendatang’. Jadi secara tersirat dalam kata ’daur’ sudah ada makna ’ulang’. Jadi, kalau kita disebutkan dengan ’daur ulang’ terdengar seperti berlebihan (lebay kata anak muda masa kini). Sama dengan kebiasaan ayah saya dahulu yang sering menggunakan gaya bahasa ’dibunuh mati’. Semua orang juga tahu, kalau ’dibunuh’ pasti orangnya ’mati’, hahaha....

Ini sekadar tulisan ringan penghantar minum kopi di Minggu malam yang sejuk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun