Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Apa Lacur ...

8 Agustus 2012   10:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:05 3824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_198916" align="aligncenter" width="300" caption="Apa lacur (ilust shamansoulstudios.com)"][/caption]

Di zaman sekarang, sering dikeluhkan bahwasanya bahasa Indonesia ‘keteteran’ di dalam percaturan bahasa-bahasa dunia, khususnya dalam mencapai kesetaraan dengan bahasa Inggris. Seringkali kita gagap mencari padanan dari suatu istilah bahasa Inggris, sehingga ketimbang repot berpikir, kita adopsi saja kata Inggris ini bulat-bulat. Menurut hemat saya, wacana bahasa Indonesia yang dipakai pada kurun waktu 1950-1960an jauh lebih kaya dengan diksi-diksi kosakata asli Indonesia. Entah mengapa, kata-kata yang jitu ini menyurut dan memudar tak dipakai orang lagi.

Salah satunya adalah kata ‘apa lacur’. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia ‘lacur’ memiliki dua definisi yakni 1. malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi dan 2. buruk laku. Kita mungkin sudah hampir lupa definisi yang pertama dan selalu teringat dengan definisi kedua yang secara asosiatif diwakili oleh kata pelacur. Kata ‘apa lacur’ sangat pas dipadankan dengan kata Inggris ‘unfortunately’, misalnya pada kalimat Unfortunately I missed the train. Dengan menerjemahkannya menjadi ‘Apa lacur, saya ketinggalan kereta’ secara bulat nuansa ‘malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi’ terejawantahkan. Namun apa lacur, orang nampaknya berusaha untuk menghindarkan diri di dalam menggunakan diksi ‘apa lacur’ ini, terutama karena salah kaprah (misconception). Alhasil kata unfortunately disadur dengan ‘sayangnya, malangnya, celakanya’ yang menurut saya kurang ‘sreg’ di telinga.

Kata lain yang sesungguhnya sudah sedari dahulu kita pakai namun terpendam dalam ingatan kolektif adalah ‘lancung’. Menurut KBBI ‘lancung’ bermakna 1. tidak tulen, tidak murni, palsu, tiruan, imitasi dan 2. tidak jujur, curang. Di sekolah dasar kita diajarkan kiasan ‘Sekali orang lancung di ujian, orang tak akan percaya lagi’. Dalam kamus ini juga diberikan bentukan kata bendanya yaitu ‘lancungan’ yang bermakna sesuatu yang dipalsukan, barang tiruan. Di zaman sekarang ini di mana berseliweran kata ‘hoax’, ‘fraud’ atau ‘scam’ alangkah eloknya bilamana kita padani dengan ‘lancungan’ ini. Juga ada kata kerjanya yaitu ‘melancung’ yang bermakna ‘memalsukan, meniru dengan maksud menipu’ seperti pada kalimat ‘melancung tanda tangan orang lain’. Anda cermati dalam wacana lisan maupun tulisan orang selalu mengatakan hoax, fraud, atau scam, karena tak tahu apa padanan yang pas dalam bahasa Indonesia.

Bicara soal ‘lancung’ saya lantas teringat dengan kata ‘lancang’ yang tentunya tak sama maknanya. Dalam novel ‘The Help’ (bermakna pembantu rumah tangga) yang bestseller ini ada saya jumpai nasehat ibu pembantu kepada anak gadisnya yang juga akan menjadi PRT dengan kata-kata ‘No sassy mouth’. Ya, sassy adalah slang yang bermakna ‘lancang mulut’. Kata ini merupakan modifikasi dari kata ‘saucy’ dengan makna yang sama. Upaya ‘menghidupkan’ kata-kata Indonesia yang pingsan ini kadang-kadang menimbulkan kegelian. Dalam salah satu rubrik Parodi dari Samuel Mulia di Kompas Minggu saya pernah membaca frasa ‘cincin bertahta berlian’. Anda tahu di mana kesalahannya? Ya, yang benar adalah ‘cincin bertatah berlian’. Itulah, saking lamanya kita tidak memakai kata ini sampai ‘keseleo’ menulisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun