[caption id="attachment_189556" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Mengurus surat kelahiran atau akte kelahiran sejatinya bukan masalah yang sulit dan rumit. Pemerintah bahkan mendorong setiap warganya yang baru mendapat kelahiran anak untuk segera mengurus akte kelahiran dan tak menunda-nunda terlalu lama. Namun anjuran ini justru bertolak belakang dengan praktek di lapangan. Segudang hambatan akan menghadang, apakah itu peraturan dan ketentuan resmi dari pemerintah ataukah peraturan tak tertulis yang ‘diciptakan’ oleh petugas catatan sipil, semuanya bersinergi membuat kita stres tujuh keliling.
Entah mulai kapan undang-undang atau perda baru tentang akte kelahiran diberlakukan, (umumnya kita buta sama sekali, kendatipun UU ini pasti sudah diumumkan di lembar negara), yang jelas dia lebih mempersulit. Kalau dahulu kala dengan bukti surat nikah, surat keterangan kelahiran dari dokter, RS atau bidan dan KTP orangtua saja, kita sudah dapat memperoleh akte kelahiran, maka sekarang disamping persyaratan di atas, juga harus dilampirkan Kartu Keluarga (KK), akte kelahiran ayah, akte kelahiran ibu, pengantar dari kelurahan, bahkan bukti pelunasan PBB.
Kesulitan akan terjadi apabila Kartu Keluarga tidak bersesuaian dengan data si ayah dan si ibu. Dan inilah penghambat terbesar dalam pengurusan akte kelahiran anak yang baru lahir. Kalau KK ini tidak sesuai, maka pengurusan akte kelahiran akan macet total, karena akan ditolak. Padahal bermacam kemungkinan bisa terjadi pada KK yang tak sesuai. Si ayah atau si ibu (atau kedua-duanya) mungkin belum masuk dalam daftar KK karena namanya masih tercatat dalam KK (domisili) lain sebelum dia menikah. Mungkin juga pasangan suami isteri ini mengalami pemindahan tugas ke kota/provinsi lain dan belum sempat mengurus KTP dan KK yang baru.
Saya teringat akan ’mudahnya’ mengurus akte kelahiran anak saya pada tahun 1980an. Sebagai anggota TNI, pada waktu itu saya sedang menjalani pendidikan militer di Jakarta, sedangkan domisili saya di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Karena pendidikan saya cukup lama, maka isteri saya yang sudah hamil ikut tinggal sementara di Jakarta. Anak saya lahir di RS Cikini dan cukup berbekal surat nikah, KTP dan surat keterangan lahir dari RS, akte kelahiran anak saya keluar. Padahal domisili saya (KTP dan KK) di Kupang dan anak lahir di Jakarta. Tak ada kesulitan apa pun dalam pengurusan akte kelahiran ini.
Anggota TNI pada umumnya, relatif mempunyai mobilitas yang cukup tinggi. Dalam jangka dua atau tiga tahun, dia sudah akan mengalami alih tugas (tour of duty atau tour of area) ke tempat yang baru. Belum ditambah lagi dengan tugas pendidikan militer yang bisa berkisar antara 4 bulan sampai setahun. Mobilitas yang tinggi ini membawa konsekuensi isteri dapat melahirkan di kota/provinsi di luar domisili KTP dan KK itu dikeluarkan. Katakanlah anggota TNI ini ber-KTP di Palembang dan isterinya melahirkan di Jakarta, bagaimana cara memperoleh akte kelahiran kalau dipersyaratkan KK harus bersesuaian? Mau diurus di Jakarta akan ditolak karena KTP dan KK orangtua sang bayi di Palembang, mau diurus di Palembang juga akan ditolak karena domisili kelahiran sang bayi di Jakarta.
Inilah yang saya maksudkan dengan birokrasi yang sangat menyengsarakan orang. Akhirnya, mau tak mau, suka tak suka, kita akan menempuh jalan ’menembak’. Istilah ’menembak’ ini sudah sangat akrab di telinga orang Indonesia, karena untuk memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi), paspor, Surat Ijin Usaha dan sebagainya wajib hukumnya ’menembak’ kalau ingin lancar dan tidak mau pusing. Jadi undang-undang atau perda yang sejatinya untuk ketertiban administrasi ini, malah menjadi ladang korupsi bagi pamongpraja. Atau seandainya istilah ’ladang korupsi’ ini terdengar terlalu kasar, mungkin akan saya ganti dengan istilah ’win-win solution Indonesian style’.
Inti yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah mudah-mudahan para pembuat legislasi di DPR masih memiliki sejumput hati nurani di dalam menelurkan segala macam undang-undang, peraturan pemerintah, perda dan sebagainya, sehingga rakyat kecil yang sudah berbeban hidup yang berat ini tidak ditambah dengan kesulitan karena peraturan yang ribet (tetapi sesungguhnya tak perlu). Saya juga berdoa mudah-mudahan para legislator ini bisa melupakan adagium saktinya ’kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H