Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Make Love, Treadmill dan Spinster

24 Juli 2011   08:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:25 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_121286" align="aligncenter" width="622" caption="Make love hi...hi...hi.... (ilust visualphotos.com)"][/caption]

Ucapkan kata ‘make love’, maka tak pelak lagi orang akan mengasosiasikannya dengan ‘berhubungan seks’ atau ‘bersenggama’. Apakah istilah ini sedari semula dipakai sebagai eufemisme (bahasa penghalus) dari kata bersebadan? Ternyata tidak demikian adanya, dan sejarah bahasa memperlihatkan bahwa make love ini mengalami evolusi makna dari zaman ke zaman. Ungkapan ini tercatat mulai digunakan di seputar tahun 1590 dan hingga tahun 1900 mengandung makna ‘bercengkerama, berbalas pantun atau saling menggoda antara muda dan mudi yang dirundung kasmaran’. Dalam bahasa Inggrisnya dinamakan flirtation. Jadi di zaman itu, make love ‘aman-aman saja’, paling banter cuma saling berpegangan tangan, atau kalau situasi mengizinkan saling berciuman.

Ada cerita menarik tentang buku harian seorang gadis bernama Ilene Powell yang menuangkan isi hatinya pada tahun 1925. Dia menulis tentang pesta dansa dan perkenalannya dengan seorang pemuda ganteng berinisial JG sebagai berikut : “Jack... took me to the White Ladies. Danced with all the lads as usual... Ticked off JG for making love to me on the roof garden. Home at 1.30.” (Jack membawaku ke White Ladies. Berdansa dengan para jejaka seperti biasa. Menepis JG karena merayuku di kebun atap rumah. Pulang pukul 1.30). Atau kutipan laporan berita yang ditulis pada tahun 1840 berikut ini: “So the Governor’s daughter’s going to be married; at least I suppose so, for I met her riding with a young gentleman; and nowadays the quality always make love on horseback.” (Jadi puteri Gubernur akan menikah, setidaknya itu yang saya duga, karena saya bersua dengannya berkendara kuda bersama seorang pemuda, dan pengamatan saya sekarang ini mereka saling bercengkerama di atas pelana kuda).

Pengertian make love yang mulai menjurus ke arah ‘hubungan seks’ ini mulai terjadi sekitar 1928 waktu terbitnya buku ‘Lady Chatterley’s Lover’ karangan DH Lawrence. Buku ini sempat dilarang di banyak negara karena bahasanya yang pornografis pada zaman itu. Pada tahun 1940an istilah make love semakin menguat dimaknai sebagai hubungan badan ini dan antara lain bisa ditemui pada novel karangan George Orwell Nineteen Eighty Four yang tertulis “When you make love you’re using up energy; and afterwards you feel happy and don’t give a damn for anything.” (Manakala Anda bersenggama energi Anda akan terkuras, dan sesudahnya Anda akan merasa bahagia dan tidak akan memedulikan hal-hal yang lainnya).

Sekali pun sudah bersalin makna secara drastis, sampai kurun masa tahun 1960 make love masih sering dipakai dengan permaknaan yang lama yaitu ’bercengkerama atau berkasih-kasihan’ khususnya oleh generasi tua.

Istilah yang juga cukup mencolok mengalami perubahan permaknaan adalah treadmill. Kalau kita mendengar kata ini pasti akan terbayang perangkat olahraga berjalan yang banyak dijumpai pada pusat kebugaran (fitness center) atau di rumah sakit untuk mengukur kesehatan jantung. Padahal sampai 25 tahun yang lalu, kata ini mengacu kepada perlengkapan di penjara untuk menghukum para napi. Alat yang berbentuk jentera ini akan diputar oleh para napi dengan diawasi oleh sipir penjara. Sudah barang tentu kegiatan fisik ini sangat menyiksa dan mempermalukan. Namun cukup mengherankan, kini manusia modern melakukan hal yang sama dengan sukarela ’disiksa’ berlarian di atas ban berjalan treadmill ini.

Bahasan berikutnya adalah cerita tentang pupusnya sebuah kata digilas oleh kemajuan zaman yaitu spinster. Pada pelajaran bahasa Inggris di sekolah barangkali kita masih sempat menemukan kata spinster ini yang maknanya kurang lebih ’perawan tua’. Jadi secara bahasa halusnya perempuan yang belum menikah sampai melampaui batas umur 25 tahun dan umumnya sampai pada usia lanjut juga tidak menikah. Mengapa dia dinamakan spinster? Sejarah kelahiran kata ini menuliskan bahwa konon di zaman baheula, pekerjaan perempuan yang terbanyak dilakoni di dunia yang dimonopoli oleh para lelaki adalah ’memintal benang wol’ (spin the wool). Karenanya si pemintal wol ini disebut dengan spinster. Saking seringnya petugas pencatat sipil dan penghulu mencantumkan pekerjaan si calon pengantin perempuan sebagai spinster ini, sampai akhirnya kata ini berubah makna menjadi ’wanita yang belum menikah atau masih lajang’.

Penggunaan kata spinster ini memang menjadi mencibirkan dan merendahkan (derogatory), seakan-akan mau mengatakan sebagai wanita yang tidak laku dan pemberian stigma yang lainnya. Pada Desember 2005, secara resmi pemerintah Inggris menyatakan istilah spinster ini tidak dipakai lagi. Ini khususnya menyangkut penggunaan istilah perjaka dan perawan (bachelor dan spinster) pada waktu pencatatan pernikahan. Sebagai gantinya digunakan istilah yang netral yaitu single. Dengan dihapuskannya kata spinster ini, ikut sirnalah cibiran (yang merendahkan) di masa lalu sebagai ’wanita yang tidak laku (woman left on the shelf), perawan tua (old maid), wanita seksi sibuk (busybody) yang pekerjaannya mengurusi kebun dan kucing. Ya kata ini memang sudah sepantasnya dihapuskan karena sangat melecehkan harkat wanita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun