Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

'Kaki Seroja', Sejarah Kejamnya Sebuah Budaya

15 Februari 2011   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:35 2610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu senja di dusun provinsi Yunnan, Wu Liuyin, wanita berusia 90 tahun mengambil sepasang sepatu kecil berwarna biru laut dengan sulaman bunga merah jambu dari kotak sepatu. Sepatu berbentuk kuntum bunga seroja atau teratai ini berukuran tidak lebih besar dari sepatu anak balita, namun Wu dengan mudah dapat memasukkan kakinya ke dalam sepatu ini. Wu adalah seorang dari generasi yang akan segera sirna, di mana atas nama budaya dan adat, setiap anak perempuan di China harus dibebat kakinya sehingga pada saat dewasa akan memiliki kaki yang mungil yang dinamakan lotus feet (kaki seroja).

Budaya yang bertahan selama seribu tahun ini dimulai sekitar abad ke 10 dan mula-mula hanya dijalankan pada gadis-gadis kecil keluarga bangsawan kaya dengan pandangan kaki yang kecil melambangkan keindahan dan kemakmuran (karena wanita ini tidak perlu bekerja dan semua pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh pembantu). Kaki yang mungil ini juga melambangkan idaman seksual bagi pria priayi di zaman itu. Oleh karena status sosial yang dipandang tinggi ini, maka pada abad ke 17, semua gadis dari suku Han mulai dari golongan kaya sampai miskin dibebat kakinya (foot binding). Waktu China dikuasai oleh kerajaan Manchu tahun 1644, foot binding ini sudah dilarang, namun secara diam-diam adat ini terus dilakukan. Pada tahun 1912, setelah dinasti Qing runtuh, juga diterapkan pelarangan pembebatan kaki pada gadis-gadis kecil ini. Namun seperti yang dituturkan oleh nenek Wu, kalau siang mereka melepaskan bebatan kain pada kaki mereka, namun pada malam hari akan diikat erat kembali. Baru setelah berkuasanya partai Komunis pada tahun 1949, adat lotus feet dapat dihapuskan dari masyarakat China.

Proses membentuk kaki seroja dilakukan semenjak anak gadis ini masih berusia antara empat sampai tujuh tahun. Pembebatan kaki ini biasanya dilakukan di musim dingin, agar rasa sakit dapat dikurangi karena pengaruh suhu dingin yang membuat kebas. Pertama-tama, kaki akan dioles dengan ramuan tumbuh-tumbuhan dan darah hewan supaya lemas dan kuku jari kaki dipotong sedalam mungkin. Setelah itu seluruh jari-jari kaki (toes) akan ditekuk ke arah telapak kaki (sole of the feet) dengan kekuatan penuh sampai tulang-tulang jarinya patah. Ini dilakukan tanpa obat bius, sehingga bisa dipastikan gadis cilik akan mengalami kesakitan yang luar biasa. Jari kaki yang sudah menempel di telapak kaki selanjutnya diikat erat dengan kain. Tindakan berikutnya kaki ini akan ditekuk ke bawah sejajar dengan tungkai kaki sampai tulang punggung kaki (arch) patah dan dibebat kembali dengan kain panjang.

Hasil kaki seroja yang ideal dengan panjang 7-9 sentimeter didapatkan setelah dilakukan pembebatan selama dua tahun. Si gadis memang masih dapat berjalan meskipun dengan perlahan-lahan. Dia akan lebih banyak bertumpu pada tumit (heel) dan gaya berjalannya akan sedikit menekuk lututnya dan berlenggak-lenggok (sway). Gaya berjalan ini dinamakan Lotus Gait dan dianggap menggemaskan secara seksual oleh para pria. Meskipun kaki mungil ini sering dianggap seksi oleh pria, penampilan fisik sesungguhnya dari kaki ini justru jauh dari menarik. Kaki yang sudah cacat ini sering mengalami infeksi dan mengeluarkan bau yang busuk. Oleh karenanya dalam bercinta si wanita tetap mengenakan kaus kaki dan sepatu lotusnya.

[caption id="attachment_89295" align="aligncenter" width="473" caption="queue alias kuncir"]

12977541191394317595
12977541191394317595
[/caption] Peraturan budaya yang membelenggu manusia di China pernah terjadi juga pada para pria. Pada masa pendudukan kerajaan Manchu, semua pria diharuskan memelihara kuncir (rambut panjang yang dikepang). Kuncir ini dinamakan queue dalam bahasa Inggris dan sanksi bagi yang melanggar adalah hukuman mati. Ketentuan queue ini adalah dengan mencukur pelontos rambut di sisi pelipis dan di atas dahi setiap sepuluh hari dan memanjangkan rambut sisanya dengan dikuncir. Baru pada tahun 1912 setelah keruntuhan dinasti Qing, peraturan memakai queue dihapuskan dan pria China zaman modern sekarang justru lebih banyak memakai gaya rambut cepak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun