[caption id="attachment_151355" align="alignleft" width="300" caption="(ilustrasi abetobing.com)"][/caption]
Ada suatu istilah untuk mengatakan ‘salah ketik’ atau ‘salah tulis’ yaitu typo. Untuk kita sebagai orang awam melakukan typo ini, baik pada saat menulis SMS atau e-mail sangatlah bisa dimaklumi dan bisa dimaafkan. Untuk media cetak atau pers bertaraf nasional demi menjaga kredibilitasnya, typo ini memang hampir-hampir tidak pernah terjadi. Apalagi pada suratkabar sekaliber Kompas sampai mata kita pedas memelototi artikel demi artikel tidak bakalan menemukan typo ini. Hal ini tentu disebabkan karena ketatnya editor dan tim bahasa Kompas mengawal setiap penggunaan kalimat baik ditinjau dari tata-bahasanya,ejaannya dan penggunaan istilahnya.
Namun ternyata infallibility ( tanpa kesalahan sedikitpun) ini masih mempunyai celah kekeliruan. Dan ‘repotnya’ salah ketik ini membuat saya jadi tertawa geli. Jadi seperti tertulis pada judul tulisan ini, mohon Kompas berbesar hati ditertawakan oleh adiknya sendiri yaitu Kompasiana. Pertama-tama kita lihat Kompas terbitan hari ini, Kamis 27 Mei 2010 pada kolom Tajuk Rencana (halaman 6). Disitu ada topik bahasan bertajuk ’Kebrutalan Polisi PNG’. Tulisan ini mengomentari berita tentang kesadisan polisi PNG menangani penjahat kambuhan dengan membuat mereka cacat antara lain dengan menembak kaki atau mengapak pergelangan kaki mereka. Tapi coba kita baca apa yang tertulis di situ : ’Nowak [utusan PBB] dalam laporannya itu juga menulis,polisi menembak kaki atau memotong tandon otot dengan pisau atau kapak agar tahanan tidak bisa kembali melarikan diri’.
Tandon tentu kita maklumi adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna ’persediaan’ atau reservoir seperti pada ungkapan ’tandon air untuk persiapan menghadapi musim kemarau’. Jadi yang benar dari typo ini seharusnya berbunyi tendon yaitu ’jaringan atau urat yang menghubungkan otot dengan tulang seperti misalnya tendon Achilles (tumit). Saya tertawa karena tidak bisa membayangkan bagaimana polisi PNG mengumpulkan otot-otot itu untuk reservoir. Apakah untuk digoreng kalau pas kebetulan paceklik daging sapi disana?
Pada Kompas terbitan hari Selasa tanggal 25 Mei 2010 di halaman 14 pada kolom ’Kilas Iptek’ ada berita kecil mengenai korelasi lemak dalam perut dan resiko mengalami demensia (kepikunan). Disitu dipaparkan adanya penelitian (studi) jangka panjang yang bernama Framingham Heart study Offspring Cohort yang konon diikuti 733 responden. Kita baca saja salah satu kalimat disitu : ’Studi ini dimulai sejak tahun 1971 dan kini respondennya berusia sekitar 60 tahun.’Dengan mengasumsi respondennya adalah offspring (bayi) pada tahun 1971, maka kalau mereka sekarang berusia 60 tahun berarti sekarang kita berada pada tahun 2030 ! Saya jadi kehilangan orientasi. Tapi untunglah hanya sesaat saja, karena rupanya biangnya juga gara-gara typo yang seharusnya tertulis 40 tahun. Tapi saya sebenarnya ada saran agar demensia ini dimaknai saja dengan kepikunan, bukan dengan ’penurunan fungsi kognitif otak’ seperti yang ditulis pada artikel ini, agar supaya pembaca awam lebih menangkap maknanya.
Typo adalah sangat manusiawi karena bagaimanapun ’hebatnya’ tim editor Kompas pasti ada saatnya mata mengantuk atau pikiran sedang melayang-layang memikirkan kredit rumah yang belum lunas terbayar. Jadi terimalah ini bukan sebagai kritikan tapi sekedar canda dari seorang pembaca setia Kompas yang kini bermukim di kota pempek Palembang. Majulah terus Kompas !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H