Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yahoo, Pusat Bahasa! Are You Asleep?

25 November 2009   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:12 1678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau saya berseru ‘yahoo’ disini bukan dimaksudkan untuk pergi ke search engine beken itu. Yahoo adalah salah satu usulan sapaan orang didalam menyambut telepon pada saat alat komunikasi itu mulai marak digunakan di dunia. Pada waktu itu berbagai pakar bahasa dan pakar komunikasi membentuk panel untuk membahas sapaan apa yang paling pas pada waktu kita menerima telepon. Dari sekian banyak usulan akhirnya diputuskan untuk memakai kata hallo.

Jadi pada tulisan ini saya mau membangunkan Pusat Bahasa yang lagi liyer-liyer (apa ya bahasa Indonesianya). Seperti kita saksikan sendiri dewasa ini negara kita kebanjiran TKI (Terminologi Kata Inggris) baik yang masuk secara legal maupun illegal. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menerima kenyataan ini. Pertanyaannya, pendatang haram ini mau kita apakan, soalnya kita sangat membutuhkan mereka. Jadi tidak bisa dideportasi ke negara asalnya dan lantas kita hidup seperti katak dalam tempurung.

Saya sebenarnya mengimpikan kembalinya suatu masa dimana disitu ada pendekar bahasa yang perkasa, seperti Anton Moeliono atau Jus Badudu. Buat generasi muda sekarang, nama-nama itu mungkin masuk dalam kotak yang diberi label EGP (emangnya gue pikirin). Memang pada zaman itu cuma ada TVRI sehingga kalau mau nonton TV ya saluran itulah yang dibuka. Namun di layar kaca pada masa itu wibawa kedua pakar bahasa ini begitu besarnya didalam menyampaikan fatwa-fatwanya untuk memberikan padanan kata yang umumnya diserap dari bahasa Inggris, sehingga menjadi panutan masyarakat luas.

Ada satu dua kata yang masih saya ingat dari pengusulan Anton Moeliono ini. Satu diantaranya adalah menggantikan istilah relax dengan ’santai’. Dan yang lain lagi adalah pemakaian awalan ’nir’ untuk merujuk istilah non atau less (jadi kedua-duanya artinya ’tanpa’). Jadi non commercial menjadi ’nirlaba’ dan wireless menjadi ’nirkabel’. Dua kata yang dalam perjalanan waktu dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Lalu bagaimana dengan masa sekarang ini? Saya mendapat kesan kita ’diumbar’ saja.Maka berseliweranlah kata-kata bahasa Inggris yang diberi baju semau orang. Lihatlah salah satu diantaranya adalah gerund yaitu bentukan kata benda yang diberi akhiran ing. Kata-kata ini deras menyerbu dalam konversasi masyarakat tanpa kendali, seperti : catering, booking, boarding, booting, browsing, roaming, scanning, booming, sweeping, cloning, clubbing, polling, launching, voting, chatting, ranking, lobbying, laminating, casing, lending, acting, meeting, racing, lighting, clearing dan masih banyak lagi.

Sebagian kecil memang sudah memperoleh padanan kata seperti kata ranking menjadi ’peringkat’ atau kata polling menjadi ’jajak pendapat’ Tetapi ada kecenderungan masyarakat enggan menggunakan kata Indonesianya ini. Bahkan yang runyam ada kata yang sudah terpadani tetapi lantas dibelokkan maknanya. Sebagai contoh adalah kata engineering yang saya tahu persis disulih menjadi ’rekayasa’ untuk memberi padanan terminologi genetic engineering. Tapi apa boleh buat ’rekayasa’ sekarang lebih suka dipakai untuk menggambarkan fabrication (perbuatan jahat yang mengelabui orang).

Istilah bahasa Inggris lain yang banyak merasuk adalah bahasa komputer. Seorang Kompasianer mengatakan orang tidak menganggap penting dan tidak peduli benar tidaknya penggunaannya, asalkan paham, misalnya (saya kutip sebagian dari tulisannya) : ’hape, blutut, waifai, waimeks, wairles, netbuk, notbuk, empetri, jepeg, modem, sede-em-a, yues-bi, jipi-es, fles disk, webkem, profaider, spiker, anlimited, skrin, elsidi, kursor, … dst’. Memang dalam bahasa lisan kita tidak menemui masalah dengan istilah-istilah tadi. Tapi bagaimana dengan bahasa tulisannya ? Mata saya kok sepet melihatnya.

Kalau saya tidak salah ingat, Pusat Bahasa pernah mengatakan bahwa kata-kata bahasa asing tidak dibenarkan ditulis (di Indonesiakan) seperti ’bunyinya’. Jadi misalnya deadline tidak dibenarkan dijadikan ’dedlain’ Tapi kenyataan yang berbicara sudah cukup banyak kata-kata yang diserap sesuai dengan homonymnya ini.

Lihatlah contohnya kata : bisnis,desain,diskon,instan,komplain,riset,sains,detil,suplai, malpraktik dan lain lain.

Menjadi PR bagi Pusat Bahasa untuk setidak-tidaknya memberikan guideline bagaimana menyikapi kata-kata baru seperti : voucher, remote, charger, online, password, mark-up, breaking news, bahkan kata-kata yang sebetulnya sudah lama ada di perbincangan masyarakat seperti : offside, tomboy, recall, stocking, tissue, fashion dan sebagainya.

Yes, I’m dreaming of the re-emergence of linguistic guru like Anton Moeliono among us.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun