Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Reportasi Warga: Pengalaman Membayar Pajak Kendaraan

14 April 2014   20:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Suasana perpanjangan STNK di Samsat. (Kompas/ Agus Susanto)"][/caption]

Saya tak tahu apakah “kekisruhan” di Kantor Samsat Palembang sudah pernah dilaporkan oleh koran lokal dan apakah kekacaubalauan ini hanya terjadi di Kantor Samsat Palembang semata ataukah secara “endemik” terjadi pada seluruh kantor pembayaran pajak kendaraan di kota-kota besar lain di Indonesia. Tapi harapan saya sebagai warga biasa, mudah-mudahan tulisan ini terbaca oleh pihak yang berwenang untuk kemudian dicarikan pemecahan permasalahan yang sebaik-baiknya.

Saya membayar pajak kendaraan mobil selama empat tahun terakhir ini melalui fasilitas “drive-through” di kantor Samsat. Fasilitas “drive-through” ini diberikan kepada pemilik kendaraan yang akan membayar pajak kendaraan yang bukan “5 tahunan” (yang harus dicek fisik kendaraan dan diganti pelat nomor kendaraan). Fasilitas “drive-through” ini memang sangat nyaman, karena kita cukup membawa mobil ke samping loket yang ada di samping gerbang, lalu menyerahkan BPKB, STNK dan KTP asli untuk dicocokkan, dikalkulasi besarnya pajak dan dicetak bukti pembayaran pajak setelah kita membayar di loket itu juga. Seluruh proses pengurusan pajak kendaraan tahunan ini tak lebih dari empat menit dan beres.

Tetapi tahun ini saya tak bisa membayar pajak kendaraan melalui “drive-through” karena jatuh tempo masa 5 tahunan yang berarti kendaraan harus di-cek fisik ulang dan kemudian mengurus di dalam kantor sesuai dengan prosedur melalui tahapan beberapa loket. Lima tahun berselang, antrian pada masing-masing loket lumayan panjang, namun setelah menghabiskan waktu kira-kira dua jam, saya bisa merampungkan pembayaran pajak ini dan diminta mengambil printout bukti pembayaran pajak plus pelat nomor kendaraan yang baru keesokan harinya.

Pada kali ini, saya benar-benar terkejut melihat begitu berjubelnya orang yang ada di dalam kantor Samsat. Sebelum saya melalui rotating gate, para calo dengan tanpa malu-malu menyapa dan menawarkan jasa pengurusan pembayaran pajak kepada saya. Begitu melewati rotating gate dan masuk ke dalam, hati saya langsung menciut. Begitu membludaknya manusia di dalam, bak kiasan kuno seperti ikan sarden dalam kaleng, sehingga bergerak saja bukan kepalang sulitnya.

Hati dan kepala saya kontan jadi panas. Bagaimana ini, orang yang mau menyetor duit (membayar pajak) kok dibuat sulit begini. Apakah pihak berwenang tak pernah memikirkan bagaimana cara memberi kemudahan bagi pembayar pajak kendaraan, misalnya dengan membuat beberapa kantor cabang atau pembayaran melalui sistem online. Kelihatan sekali keamburadulan ini sengaja dibiarkan, sehingga banyak pihak (orang dalam maupun orang luar) bisa mengail di air keruh.

Dan memang itulah yang terjadi, saya baru berhadapan dengan petugas di loket pertama, tanpa sungkan dia bertanya apakah saya mau dibantu diuruskan dan nanti tinggal mengambil berkasnya tiga hari kemudian. Saya bertanya kira-kira berapa untuk jasa pengurusannya dan dia menjawab 50 ribu rupiah. Memang saya bisa mengatakan mau mengurus sendiri dan berpanas-panasan di ruang pengap dijejali manusia ini sampai sore. Dalam situasi yang dilematis ini, akhirnya saya putuskan untuk memakai jasa calo ini.

Dalam analisa saya, praktek percaloan yang juga merupakan manifestasi dari korupsi pada hakekatnya disuburkan oleh panjangnya rantai birokrasi yang tak perlu. Contohnya, mengenai ketentuan untuk cek fisik kendaraan setiap lima tahun sekali. Dengan stiker kertas nomor chasis dan nomor mesin digosok memakai pensil. Apa tujuannya? Bukannya pada awal kita meregistrasi sebagai mobil baru, nomor chasis dan nomor mesin ini sudah diverifikasi? Juga soal mengganti pelat nomor kendaraan setiap lima tahun sekali, apa tujuannya? Saya mendapat informasi bahwa sudah hampir setahun terakhir ini Kantor Samsat tak menyediakan pelat nomor kendaraan baru dan pemilik kendaraan dibiarkan membuat sendiri di tempat lain. Yang “aneh” biaya pembuatan pelat nomor tetap dicantumkan sebesar Rp50 ribu.

Kalau saja, kantor Samsat bisa meniru kebijakan pemberlakuan e-KTP yang tak perlu diperbarui setiap 5 tahun (berlaku seumur hidup), maka rantai birokrasi akan dapat diperpendek dan yang penting warga akan dipermudah membayar pajak kendaraan. Hapuskan prosedur cek fisik setiap 5 tahun, hapuskan mengganti pelat nomor kendaraan setiap 5 tahun sekali, hapuskan pengisian formulir ulang setiap 5 tahun sekali, maka pemilik kendaraan akan dipermudah melaksanakan pembayaran pajak. Polanya seperti “drive-through” yang saya kemukakan di atas, pemilik kendaraan cukup menunjukkan BPKB, STNK, dan KTP, langsung bayar dan selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun