Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kapan Pintarnya Kita Berbahasa Inggris?

18 Oktober 2014   20:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:32 4892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_348433" align="aligncenter" width="615" caption="(ilust kompas epaper)"][/caption]

Kadang-kadang saya berpikir mungkin kekeliruan berbahasa Inggris yang selama ini kita lakukan memang disengaja. Artinya, sudah tahu keliru, tetapi tak mau kita perbaiki. Ada kecenderungan membandel, degil dan tutup kuping. Akibatnya kekeliruan berbahasa Inggris (entah dalam pengejaan, pelafalan, penerjemahan dsb) bolak-balik terus berulang terjadi, utamanya di media cetak dan media online. Salah satu contohnya dapat kita lihat pada kesalahan penulisan yang sudah “mengakar” (bahasa Jawa: ngoyot) seperti pada judul berita di kompas.com yang berbunyi “Buat Apa Pesta Rakyat? Jangan Bikin Hurt Feeling..” (lihat pada gambar di atas).

Saya yakin sebagian besar dari kita tahu bahwa penulisan bentuk idiom ini yang benar adalah “hard feelings” yang maknanya “perasaan sakit hati yang masih berbekas biasanya setelah kita bertengkar atau berselisih paham dengan seseorang”. Istilah “hurt feeling” sekalipun secara tatabahasa tidak keliru (kalau diterjemahkan secara harfiah berarti ‘perasaan yang terluka’), tak pernah ada pada wacana bahasa Inggris (artinya tak lazim diucapkan oleh native speakers). Perhatikan pula bahwa penulisan “hard feelings” ini ditulis dalam bentuk jamak (plural), jadi bukan “hard feeling”. Menjelaskan nuansa (perbedaan tipis) antara feeling dan feelings, memang sedikit rumit. Pasalnya, kedua-duanya kita indonesiakan menjadi “perasaan”. Feeling dipakai untuk menyiratkan “firasat”, sedangkan feelings untuk menyiratkan “emosi jiwa”. Contoh dalam kalimat untuk merasakan perbedaannya adalah “I have a good feeling that the economy will improve” dan “I have good feelings about him”.

Beberapa hari berselang, saya membaca sebuah judul di suratkabar Kompas sebagai berikut: “Reorientasi Polugri: Back to Basic”. Polugri adalah akronim dari “politik luar negeri”. Yang ingin saya permasalahkan adalah penulisan “back to basic” (yang maknanya saya yakin sudah kita pahami bersama). Di mana kekeliruannya? Sama seperti ‘kasus’ di atas, bentuk plural harus kita pakai di sini, jadi yang akurat adalah “back to basics” (sekali lagi ‘basics’ bukan ‘basic’). Kesalahan yang nampak sepele ini membuat kita “tidak jera-jeranya” mengulangi blunder yang sama.

Ada kasus menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia yang saya anggap lucu dan konyol. Beritanya masih hangat, yaitu tentang bencana badai salju di pegunungan Himalaya, Nepal, yang sampai hari ini tercatat telah menewaskan 32 orang, sementara yang hilang masih berjumlah puluhan. Yang membetot mata saya pada saat membaca berita ini adalah kalimat yang ganjil berikut ini: Badai salju dan longsor yang disebabkan ekor topan Hudhud yang menerpa anak benua India juga menewaskan tiga yak, sejenis kerbau Himalaya yang diternakkan warga lokal. Apakah “layak berita” (newsworthy), tiga ekor kerbau yang mati ikut disebutkan dalam bencana longsoran salju ini, apalagi dipakai istilah “menewaskan” (yang biasanya dipakai untuk manusia)? Saya pun mencari referensi berita berbahasa Inggrisnya dan inilah salah satunya: Three yak herders were killed after being swept away by a separate avalanche at Nar village in Manang. (Tiga gembala yak tewas setelah tersapu longsoran salju berbeda di desa Nar, Manang). Oh, baru clear persoalannya, yang tewas bukan tiga yak (kerbau Himalaya), melainkan tiga gembala yak. Setelah melihat kekonyolan ini, saya mau tak mau jadi tertawa geli. Bagaimana bisa terjadi, si wartawan penerjemah tak bisa membedakan antara “kerbau” dan “gembala kerbau”? Mungkin dia harus belajar lagi adagium pers tentang newsworthiness.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun